Indonesia Optimis Hadapi Ketidakpastian Global

680
Indonesia Optimis
Sumber: Kemenkeu

(Vibiznews-Kolom) Pandemi adalah sebuah tantangan yang tidak mudah, tantangan kesehatan yang menyebabkan ketakutan terhadap keselamatan jiwa. Tantangan ini sudah dilalui Indonesia optimis dan berhasil, kesehatan menjadi prioritas penting, terutama dengan melakukan pembatasan mobilitas dan interaksi untuk mencegah terjadinya penularan.

Namun hal ini memiliki dampak sosial ekonomi yang sangat besar, pemerintah harus memilih kebijakan yang tepat untuk bisa menangani ancaman pandemi dan implikasi sosial ekonominya.

Dampak pembatasan ini adalah turunnya pendapatan negara dan meningkatnya belanja negara untuk mengatasi pandemi serta bagaimana memberikan bantalan sosial bagi masyarakat yang terdampak, serta insentif untuk kebangkitan ekonomi khususnya UMKM.

Untuk pertama kali selama 20 tahun pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), untuk mengubah keuangan negara. Dimana diperbolehkan adanya defisit dalam APBN lebih dari 3% dari PDB. Hal ini adalah upaya untuk memilih dan menggunakan instrumen fiskal sebagai counter cyclical.

Kebijakan ekonomi counter cyclical adalah kebijakan yang beradaptasi pada turunnya pendapatan dan meningkatnya pengeluaran. Kebijakan ini design kebijakan makro ekonomi yang harus diterapkan juga pada sektoral, regional dan mikro, untuk membantu perekonomian yang sedang menghadapi ancaman resesi.

Dalam konteks ini Indonesia menjadi negara yang mampu pulih secara cepat. pada tahun 2021 Indonesia telah mampu mendekati 2 persen di atas PDB pra pandemi. Artinya secara nominal PDB telah pulih di atas pra pandemi. Tahun 2022 kondisi perekonomian dari sisi PDB sudah di atas 7 persen dibandingkan pra pandemi.

Banyak negara di dunia yang belum mencapai tingkat pra pandemi. Bahkan negara di G20 atau negara Asean sendiri belum mencapai tingkat pra pandemi. Hal ini menggambarkan bahwa respons kebijakan ekonomi Indonesia selain fiskal, moneter maupun sektor keuangan bisa mengatasi dampak negatif dari pandemi terhadap perekonomian.

Langkah-langkah kebijakan fiskal, moneter maupun sektor keuangan diharapkan pemulihan ekonomi Indonesia tetap terjaga. Sekarang ini telah timbul tantangan baru dari situasi pandemi yang menyebabkan disrupsi di sisi demand maupun supply telah menyebabkan kenaikan harga-harga.

Baca Juga : Ekonomi Indonesia di Jalur Menjauhi Resesi: Pendorong dan Prospeknya

Saat pandemi banyak kegiatan produksi barang dan jasa yang terdisrupsi. Demand side yang didukung oleh kebijakan fiskal, moneter maupun sektor keuangan menyebabkan permintaan barang dan jasa melonjak tinggi. Ketidakseimbangan ini yang mendorong inflasi dunia.

Dalam situasi ini terjadilah suasana geo politik yang semakin tegang saat pecah perang Ukraina. Hal ini membuat disrupsi sisi supply semakin parah atau semakin dalam. Kemudian mendorong inflasi – terutama di negara-negara maju- semakin tinggi, Amerika bahkan mencapai inflasi di atas 9 persen pada bulan Juli yang lalu. Eropa dan Inggris juga mengalami hal yang sama.

Amerika Serikat – Tingkat Inflasi

Indonesia Optimis

Sumber : tradingeconomics.com

Hal ini adalah tingkat inflasi yang terburuk selama 40 tahun terakhir sejarah dunia.

Kondisi ini kemudian di respons dalam bentuk kenaikan suku bunga oleh otoritas moneter. Selama ini negara-negara di Eropa menerapkan suku bunga yang relatif sangat rendah, semenjak krisis global. Namun sekarang tiba-tiba dihadapkan pada inflasi tinggi mereka harus banting stir menaikan suku bunga dalam waktu yang singkat dan juga likuiditas untuk memerangi inflasi.

Menanggapi kenaikan inflasi yang mengkhawatirkan, bank sentral di seluruh dunia menaikkan suku bunga pinjaman bank inti mereka. Sejauh ini, bagaimanapun, kenaikan suku bunga di sebagian besar negara belum menyamai laju inflasi, meskipun inflasinya berasal dari supply side.

Kenaikan suku bunga diperkirakan akan mengurangi permintaan dan menurunkan harga untuk dua komponen penting dari inflasi utama: perumahan dan komoditas seperti energi dan logam.

Indonesia Optimis

Harga perumahan naik tajam bahkan sebelum gelombang inflasi 2022, karena pandemi mendorong perombakan besar-besaran real-estate. Di sini kami menunjukkan kenaikan dari tahun 2020 hingga 2021. Harga rumah melonjak jauh melampaui ekspektasi dalam fenomena yang cukup global. Di Eropa, pemilik rumah Turki melihat keuntungan terbesar, diikuti oleh pemilik rumah di Republik Ceko dan Lithuania. Di Asia-Pasifik, Selandia Baru dan Australia mencatatkan keuntungan besar. Di Amerika Utara, Amerika Serikat dan Kanada sama-sama diuntungkan dari lonjakan tersebut; Meksiko tidak. Di Kolombia, salah satu dari tiga negara Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) di Amerika Selatan, perolehannya kecil.

Investor sering mengatakan bahwa di masa inflasi, tempat terbaik untuk berinvestasi adalah komoditas. Itu tentu saja karena harga komoditas mencerminkan permintaan bahan baku yang dibutuhkan untuk ekspansi ekonomi. Pola tersebut berlaku untuk hampir semua komoditas dalam pameran ini: ketika stimulus ekonomi mencerminkan ekonomi global yang telah tertusuk oleh pandemi COVID-19, harga melonjak. Kemudian invasi Rusia mengirim harga lebih tinggi lagi. Kenaikan terbesar terjadi pada pupuk. Didorong oleh kelangkaan gas alam, komponen utama dalam pembuatan pupuk, dan oleh meningkatnya permintaan dari petani, harga pupuk naik tajam.

Kenaikan harga pupuk, bersama dengan dampak lain dari perang di Ukraina, telah mendorong harga bahan makanan pokok jauh lebih tinggi. Sejak tahun 2021, harga pangan telah naik ke level tertinggi sejak Kantor Pangan & Pertanian PBB memulai indeksnya. Harga-harga saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan lonjakan sebelumnya pada 2008 dan 2011, yang dipicu oleh gejolak krisis keuangan global. Dalam dekade sejak itu, harga telah sangat moderat. Tapi mereka berubah tajam lebih tinggi pada tahun 2021, dengan rantai pasokan.

Kondisi inilah yang sedang terjadi secara global, ancaman inflasi tinggi yang memaksa kebijakan counter cyclical dan menciptakan ancaman baru dalam bentuk resesi. Inflasi dan resesi menjadi stagflasi adalah situasi yang sangat kompleks.

Baca Juga : Pemulihan Ekonomi Indonesia di Tengah Risiko Global

Indonesia telah meningkatkan defisit anggaran di atas 3 persen namun dengan adanya permintaan barang dan jasa yang melonjak akibat terjadinya stimulus maka harga-harga komoditas telah mengalami kenaikan yang sangat tinggi. Mulai dari 2021 satu pada semester II. Saat ini harga-harga komoditas masih dalam posisi yang sangat tinggi, menguntungkan bagi Indonesia namun sekaligus beban atapun resiko tersendiri.

Indonesia memiliki respons kebijakan yang supportive dan commodity boom sehingga memiliki pertembuhan ekonomi yang cukup baik. Dimulai kuartal I 2021 dan terus terjadi hingga kuartal II 2022. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,44 persen pada kuartal II tahun 2022. Ini adalah pertumbuhan yang tinggi di saat seluruh dunia menghadapi inflasi yang tinggi dan kenaikan suku bunga yang mengancam resesi. IMF telah merevisi outlook dari pertumbuhan ekonomi dunia. Hampir semua negara mengalami koreksi yang sangat dalam dari proyeksi tahun 2022 hingga tahun 2023.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia optimis hasil dari kebijakan yang tepat antara fiskal, moneter maupun sektor keuangan. Ini adalah bekal bagi Indonesia menghadapi ketidakpastian.

Peningkatan harga komoditas yang cukup ekstrem dapat juga menimbulkan ekses yang harus diwaspadai. Harga komoditas yang tinggi membuat Indonesia optimis menikmati dari sisi APBN windfall revenue hingga 420 triliun rupiah. Dari sisi neraca pembayaran terjadi surplus di current account yang menimbulkan daya tahan terhadap perekonomian kita. Transaksi berjalan mencatat surplus sebesar 3,9 miliar dolar AS (1,1% dari PDB). Hal ini disebabkan karena neraca perdagangan kita yang mencatatkan surplus sebesar mencapai 29,17 miliar dolar AS pada Januari-Juli 2022. Terjadi kenaikan 83 persen dari tahun lalu pada periode yang sama. Ekspor naik 36% sementara impor tumbuh 29%. Semua ini menggambar ekonomi Indonesia meningkat terutama dari sektor manufaktur. Menjadikan Indonesia optimis di tengah ketidakpastian global.

Foreign Direct Investment (FDI) meningkat pada semester I 2022 mencapai sebesar 310 triliun rupiah, yang tumbuh sebesar 35,8 persen dibandingkan periode sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi ini cukup merata disumbangkan oleh kontribusi ekspor yang melonjak tinggi. Namun juga konsumsi dan investasi mengalami kenaikan yang cukup sehat. Dengan demikian tingkat penggangguran dan kemiskinan mulai dapat diturunkan kembali.

Kondisi Indonesia yang positif  tidak berarti bahwa Indonesia tidak mengalami tekanan. Harga-harga energi dan pangan yang tinggi, seperti harga minyak goreng yang meningkat imbas dari produksi minyak goreng dari Sun Flower terdisrupsi karena perang Ukraina. Gandum, pupuk mengalami hal yang sama.

Situasi inilah yang menimbulkan kompleksitas, APBN sebagai instrumen keuangan negara terus menjadi instrumen yang diandalkan. Pada masa pandemi karena kebijakan counter cyclical terjadi defisit di atas 6 persen pada APBN. Namun tahun 2021 telah turun dibawah 5 persen, dan diharapkan tahun 2022 kembali turun karena adanya commodity boom.

Indonesia Optimis

Sumber : Bloomberg

Indonesia optimis bahwa APBN juga adalah instrumen untuk menyerap tekanan dari eksternal, misalnya dari harga-harga minyak, harga-harga pangan, maka APBN perlu menjadi shock absorber.

Tahun ini Indonesia dihadapkan pada situasi yang dilematis kenaikan harga minyak hingga 100 dolar AS per barel. Kondisi ini telah dicoba diatasi dengan menaikan subsidi BBM hingga lebih dari tiga kali lipat. Dari 152 triliun rupiah menjadi 502,4 triliun rupiah. Namun lonjakan subsidi ini ternyata belum mencukupi. Konsumsi energi melonjak tinggi dan harga minyak tetap tinggi. Selain itu kurs rupiah kita mengalami tekanan akibat kenaikan suku bunga di Amerika Serikat yang menyebabkan capital outflow.

Inilah sebabnya pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM, yang memiliki dimensi politik dan sosial. Ada trade off atau opportunity cost, apabila tetap dilakukan subsidi BBM dengan kehilangan kesempatan membangun banyaknya fasilitas produktif, pendidikan, kesehatan yang sedemikian dibutuhkan oleh masyarakat. Sekali lagi sekalipun situasi global dalam ketidakpastian yang besar Indonesia optimis menghadapinya dengan tetap berhati-hati.