(Vibiznews-Kolom) Jalur ekonomi Indonesia sedang ditransformasikan oleh serangkaian guncangan global. Indonesia tidak memiliki ketidakseimbangan (overheating demand) yang sama dengan ekonomi G7. Scarring effect of the Pandemic (bekas luka akibat pandemi) masih terasa di rumah tangga dan korporasi. Sebaliknya, risiko bagi Indonesia berasal dari implikasi guncangan terhadap G7 dan efektivitas respons kebijakan Indonesia, khususnya kebijakan fiskal dan moneter, terhadap guncangan tersebut.
Global Risk
Inflasi terus meningkat seiring dengan resiko resesi, inflasi yang tinggi terjadi di negara-negara maju. Terjadi kekhawatiran resesi di negara maju, terjadi perlambatan ekonomi China. Geo-Political Instability: Russia-Ukraine; China-Thaiwan; US-Euro Area VS Russia-China.
Harga perumahan naik tajam bahkan sebelum gelombang inflasi 2022, karena pandemi mendorong perombakan besar-besaran real-estate. Di sini kami menunjukkan kenaikan dari tahun 2020 hingga 2021. Harga rumah melonjak jauh melampaui ekspektasi dalam fenomena yang cukup global. Di Eropa, pemilik rumah Turki melihat keuntungan terbesar, diikuti oleh pemilik rumah di Republik Ceko dan Lithuania. Di Asia-Pasifik, Selandia Baru dan Australia mencatatkan keuntungan besar. Di Amerika Utara, Amerika Serikat dan Kanada sama-sama diuntungkan dari lonjakan tersebut; Meksiko tidak. Di Kolombia, salah satu dari tiga negara Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) di Amerika Selatan, perolehannya kecil.
Investor sering mengatakan bahwa di masa inflasi, tempat terbaik untuk berinvestasi adalah komoditas. Itu tentu saja karena harga komoditas mencerminkan permintaan bahan baku yang dibutuhkan untuk ekspansi ekonomi. Pola tersebut berlaku untuk hampir semua komoditas dalam pameran ini: ketika stimulus ekonomi mencerminkan ekonomi global yang telah tertusuk oleh pandemi COVID-19, harga melonjak. Kemudian invasi Rusia mengirim harga lebih tinggi lagi. Kenaikan terbesar terjadi pada pupuk. Didorong oleh kelangkaan gas alam, komponen utama dalam pembuatan pupuk, dan oleh meningkatnya permintaan dari petani, harga pupuk naik tajam.
Menanggapi kenaikan inflasi yang mengkhawatirkan, bank sentral di seluruh dunia menaikkan suku bunga pinjaman bank inti mereka. Sejauh ini, bagaimanapun, kenaikan suku bunga di sebagian besar negara belum menyamai laju inflasi, meskipun inflasinya berasal dari supply side.
Domestic Risk and Opportunities
Pemulihan lintas sektor, mobilitas relaksasi, pandemi berubah menjadi endemik; pertumbuhan terseret oleh kenaikan harga dan tingkat bunga , resesi global. Normalisasi likuiditas BI berlanjut, pelepasan obligasi BI lebih cepat; Stimulus OJK pada restrukturisasi kredit berakhir pada Maret 2023.
Kondisi ini kemudian di respons dalam bentuk kenaikan suku bunga oleh otoritas moneter. Selama ini negara-negara di Eropa menerapkan suku bunga yang relatif sangat rendah, semenjak krisis global. Namun sekarang tiba-tiba dihadapkan pada inflasi tinggi mereka harus banting stir menaikan suku bunga dalam waktu yang singkat dan juga likuiditas untuk memerangi inflasi.
Kenaikan suku bunga diperkirakan akan mengurangi permintaan dan menurunkan harga untuk dua komponen penting dari inflasi utama: perumahan dan komoditas seperti energi dan logam.
Baca Juga : Optimisme Investor Pasar Modal Indonesia
Pertumbuhan ekonomi global melambat pada 2023, dengan kemungkinan resesi. Suku bunga acuan The Fed mencapai puncaknya pada tahun 2023 dan kemudian diturunkan. Normalisasi suku bunga acuan BI, likuiditas, dan istilah kurva struktur. Pemilu Indonesia 2024: kebijakan untuk tetap pro-pertumbuhan, subsidi akan diprioritaskan, transfer tunai langsung akan terus berlanjut. Menurunkan batas harga komoditas pendapatan pemerintah; alokasi belanja akan fokus pada transfer tunai langsung untuk mempertahankan batas defisit anggaran sebesar 3%.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah hasil dari kebijakan yang tepat antara fiskal, moneter maupun sektor keuangan. Ini adalah bekal bagi Indonesia menghadapi ketidakpastian.
Peningkatan harga komoditas yang cukup ekstrem dapat juga menimbulkan ekses yang harus diwaspadai. Harga komoditas yang tinggi membuat ekonomi Indonesia menikmati dari sisi APBN windfall revenue hingga 420 triliun rupiah. Dari sisi neraca pembayaran terjadi surplus di current account yang menimbulkan daya tahan terhadap perekonomian kita. Transaksi berjalan mencatat surplus sebesar 3,9 miliar dolar AS (1,1% dari PDB). Hal ini disebabkan karena neraca perdagangan kita yang mencatatkan surplus sebesar mencapai 29,17 miliar dolar AS pada Januari-Juli 2022. Terjadi kenaikan 83 persen dari tahun lalu pada periode yang sama. Ekspor naik 36% sementara impor tumbuh 29%. Semua ini menggambar ekonomi Indonesia meningkat terutama dari sektor manufaktur.
Foreign Direct Investment (FDI) meningkat pada semester I 2022 mencapai sebesar 310 triliun rupiah, yang tumbuh sebesar 35,8 persen dibandingkan periode sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia ini cukup merata disumbangkan oleh kontribusi ekspor yang melonjak tinggi. Namun juga konsumsi dan investasi mengalami kenaikan yang cukup sehat. Dengan demikian tingkat penggangguran dan kemiskinan mulai dapat diturunkan kembali.
Baca Juga : Navigasi Indonesia Menghadapi Goncangan Global
Kondisi ekonomi Indonesia yang positif tidak berarti bahwa Indonesia tidak mengalami tekanan. Harga-harga energi dan pangan yang tinggi, seperti harga minyak goreng yang meningkat imbas dari produksi minyak goreng dari Sun Flower terdisrupsi karena perang Ukraina. Gandum, pupuk mengalami hal yang sama.
Situasi inilah yang menimbulkan kompleksitas, APBN sebagai instrumen keuangan negara terus menjadi instrumen yang diandalkan. Pada masa pandemi karena kebijakan counter cyclical terjadi defisit di atas 6 persen pada APBN. Namun tahun 2021 telah turun dibawah 5 persen, dan diharapkan tahun 2022 kembali turun karena adanya commodity boom.
APBN juga adalah instrumen untuk menyerap tekanan dari eksternal, misalnya dari harga-harga minyak, harga-harga pangan, maka APBN perlu menjadi shock absorber.
Tahun ini Indonesia dihadapkan pada situasi yang dilematis kenaikan harga minyak hingga 100 dolar AS per barel. Kondisi ini telah dicoba diatasi dengan menaikan subsidi BBM hingga lebih dari tiga kali lipat. Dari 152 triliun rupiah menjadi 502,4 triliun rupiah. Namun lonjakan subsidi ini ternyata belum mencukupi. Konsumsi energi melonjka tinggi dan harga minyak tetap tinggi. Selain itu kurs rupiah kita mengalami tekanan akibat kenaikan suku bunga di Amerika Serikat yang menyebabkan capital outflow.
Inilah sebabnya pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM, yang memiliki dimensi politik dan sosial. Ada trade off atau opportunity cost, apabila tetap dilakukan subsidi BBM dengan kehilangan kesempatan membangun banyaknya fasilitas produktif, pendidikan, kesehatan yang sedemikian dibutuhkan oleh masyarakat.
An unpredictable risk (Black Swan)
Faktor geopolitik: China aneksasi Taiwan, AS-Cina dalam ketegangan tinggi. Resesi China yang diperkirakan bisa terjadi. Pandemi yang muncul kembali sehinga terjadi pembatasan mobilitas seperti pada tahun 2020.
Kebijakan yang perlu dijalankan
Kebutuhan berkelanjutan akan dukungan sosial untuk kelompok yang terkena dampak dan rentan, pengeluaran kesehatan serta dukungan untuk bisnis untuk menjembatani pandemi, berarti bahwa kebijakan anggaran memiliki tanggung jawab berkelanjutan yang mungkin menghalangi pencapaian defisit fiskal 3% pada tahun 2023. Memfasilitasi restrukturisasi utang perusahaan untuk mengurangi Scarring effect of the Pandemic.
Kebijakan fiskal untuk mendukung permintaan melalui bantuan sosial dan membiayai pengeluaran ini dengan mengenakan pajak atas kelebihan keuntungan pada komoditas. Nanti pada tahun 2022 atau awal 2023, risiko pembalikan harga komoditas akan berarti anggaran dapat terkena dampak negatif, yaitu turunnya penerimaan anggaran.
Kebijakan moneter fokus pada core vs head inflation. Kebijakan suku bunga perlu dinaikkan dan pelemahan rupiah dibiarkan sambil menghindari penyesuaian rupiah yang mengganggu. BI harus mahir dalam menemukan jalur yang stabil sambil menghindari ketidakseimbangan yang tidak berkelanjutan di pasar Valas. Menghindari skema “berbagi beban” lainnya.
Pada saat yang sama, pasar keuangan dan investasi perlu diyakinkan akan komitmen kuat berkelanjutan dari pemerintah Indonesia terhadap kebijakan yang hati-hati termasuk jangkar fiskal yang kuat, bank sentral yang independen dan kebijakan keluar (dari krisis) yang kredibel.
Melanjutkan dan memperkuat implementasi reformasi pra-pandemi di sektor riil (melalui Omnibus Law Cipta Kerja) dan sektor keuangan (melalui Omnibus Law mendatang) untuk meningkatkan produktivitas.
Untuk memberikan kredibilitas dan kekuatan komitmen ini kepada masyarakat dan investor Indonesia, pemerintah harus memperkenalkan paket kebijakan tiga arah. Pertama Kebijakan fiskal yang disesuaikan dengan kebutuhan perekonomian dan kembali ke jangkar fiskal 3%. Kedua langkah-langkah untuk memastikan kepercayaan pasar yang berkelanjutan terhadap kredibilitas kebijakan pemerintah. Ketiga langkah-langkah pertumbuhan untuk membantu “penyelamatan dan pemulihan” serta menetapkan jalan untuk membangun kembali dengan lebih baik.
Penutup
Kombinasi dari (i) pertumbuhan yang melambat di Tiongkok, (ii) kenaikan harga energi dan pangan yang diperburuk oleh perang di Ukraina, dan (iii) kenaikan suku bunga kebijakan di negara-negara maju telah menyeret prospek ekonomi global. Sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya resesi global.
Di beberapa negara maju consumer confindence turun dengan sangat tajam. Tiongkok mengalami penurunan paling tajam, disusul Inggris, Amerika, juga Jepang. Namun consumer confindence di Indonesia justru meningkat.
Terjadi revisi pada prediksi GDP, namun sekali lagi navigasi Indonesia di tenga gejolak global ada di arah yang benar.