(Vibiznews- Kolom) IMF mengeluarkan World Economic Outlook: Countering the Cost-of-Living Crisis yang memprediksi ekonomi global dan Indonesia. Apakah ini menjawab bahwa akan ada awan gelap ekonomi global di tahun 2023, dimana Presiden Jokowi pernah mengatakannya? Bagaimana dampaknya dengan ekonomi Indonesia?
Dunia memang sedang dalam krisis, terjadi gejolak demi gejolak yang menghantam perekonomian global, setelah pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, Perang Rusia Ukraina yang tak kunjung henti, pukulan inflasi tinggi, tight money policy yang diterapkan hampir semua negara di dunia.
Normalisasi moneter dan kebijakan fiskal yang memberikan dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selama pandemi permintaan ditahan seperti yang dibidik oleh pembuat kebijakan untuk menurunkan inflasi kembali ke sasaran.
Kesehatan masa depan ekonomi global bertumpu pada keberhasilan kalibrasi kebijakan moneter, kondisi perang di Ukraina, dan kemungkinan pandemic-related supply-side disruptions akan tetap terjadi, misalnya, di Tiongkok.
Pertumbuhan global diperkirakan melambat dari 6,0 persen pada tahun 2021 menjadi 3,2 persen pada tahun 2022 (tidak berubah dari proyeksi bulan Juli) dan 2,7 persen pada tahun 2023. Ini adalah profil pertumbuhan terlemah sejak 2001 kecuali krisis keuangan global dan fase pandemic akut COVID-19 dan mencerminkan perlambatan signifikan untuk ekonomi terbesar.
Kontraksi PDB AS pada paruh pertama tahun 2022, kontraksi area Eropa pada paruh kedua tahun 2022, dan wabah COVID-19 yang berkepanjangan dan lockdown di Tiongkok dengan krisis sektor properti yang berkembang.
Sekitar sepertiga ekonomi dunia menghadapi kondisi pertumbuhan negatif dua kali kuartal berturut-turut 2022-2023. Jumlah ini diperkirakan sekitar 43 persen negara-negara di dunia yang berarti terjadi resesi teknikal di negara-negara ini. Proyeksi yang menurun akan terjadi secara luas baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang.
Inflasi global diperkirakan naik dari 4,7 persen pada tahun 2021 menjadi 8,8 persen pada tahun 2022 tetapi menurun menjadi 6,5 persen pada tahun 2023 – inflation is hight but likely to decline in 2023 – dan ke 4,1 persen pada tahun 2024.
Inflasi telah paling luas terjadi di antara negara-negara maju, dengan variabilitas yang lebih besar di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang. Kebijakan moneter bisa salah menghitung sikap yang tepat untuk menekan inflasi.
Jalur kebijakan di ekonomi terbesar dapat terus menyimpang, memimpin untuk lebih lanjut apresiasi dolar AS dan lintas batas ketegangan. Lebih banyak kejutan energi dan harga pangan mungkin menyebabkan inflasi bertahan lebih lama.
Pengetatan global dalam kondisi pembiayaan bisa memicu meluas tekanan utang pasar negara berkembang. Menghentikan pasokan gas dengan Rusia bisa menekan produksi di Eropa. Kebangkitan COVID-19 atau ketakutan kesehatan global baru mungkin meningkatkan pertumbuhan stunting lebih lanjut. Memburuknya krisis sektor properti China dapat meluas ke sektor sektor perbankan domestik dan sangat membebani pertumbuhan negara.
Dan kondisi geopolitik sekarang ini dapat menghambat perdagangan dan arus modal, juga semakin menghambat kerja sama kebijakan iklim.
Indonesia tetap optimis dengan kehati-hatian
Di tengah gejolak perekonomian global, IMF memproyeksikan Indonesia tetap tumbuh positif 5,0 persen pada tahun 2023. Pertumbuhan lebih kuat dari banyak negara maju seperti Amerika serikat 1,0 persen, Tiongkok 4,4 persen, Australia (1,9 persen), Jepang (1,6 persen), UK (0,3 persen), Italia (-0,2 persen), Jerman (-0,3 persen) dan Rusia (-2,3 persen). Bahkan dari negara Asean tetangga kita seperti Malaysia (4,4 persen), Thailand (3,7 persen), Singapura (2,2 persen).
Sebagai perbandingan berbagai Lembaga keuangan dunia memprediksikan ekonomi Indonesia bertumbuh positif di tahun 2023. Sebut saja World Bank 5,1 persen, Bloomberg Forecast 5,0 persen dan Asian Development Bank 5,0 persen.
Mendekati akhir tahun 2022 diprediksi Indonesia juga akan memiliki pertumbuhan ekonomi yang positif di tahun 2022. Perkiraan Asian Development Bank 5,4 persen, Bloomberg Forecast 5,2 persen, World Bank 5,1 persen.
Baca juga : Indonesia Optimis Hadapi Ketidakpastian Global
Kita patut optimis menghadapi awan gelap perekonomian global ketika menyaksikan prediksi positif dari Lembaga-lembaga keuangan dunia.
Prediksi ekonomi ke depan yang baik tetap memerlukan kehati-hatian, karena koneksi Indonesia dengan ekonomi global yang sedang menghadapi ancaman tingkat inflasi yang masih terus tinggi, Eropa yang masih terus menghadapi krisis energi, Tiongkok yang berhadapan dengan krisis properti. Apresiasi Dolar Amerika Serikat, juga kemungkinan miskalkulasi kebijakan-kebijakan moneter dan kebijakan lainnya.
Kebijakan yang perlu dijalankan
Kebutuhan berkelanjutan akan dukungan sosial untuk kelompok yang terkena dampak dan rentan, pengeluaran kesehatan serta dukungan untuk bisnis untuk menjembatani pandemi, berarti bahwa kebijakan anggaran memiliki tanggung jawab berkelanjutan yang mungkin menghalangi pencapaian defisit fiskal 3% pada tahun 2023. Memfasilitasi restrukturisasi utang perusahaan untuk mengurangi Scarring effect of the Pandemic.
Kebijakan fiskal untuk mendukung permintaan melalui bantuan sosial dan membiayai pengeluaran ini dengan mengenakan pajak atas kelebihan keuntungan pada komoditas. Nanti pada tahun 2022 atau awal 2023, risiko pembalikan harga komoditas akan berarti anggaran dapat terkena dampak negatif, yaitu turunnya penerimaan anggaran.
Kebijakan moneter fokus pada core vs head inflation. Kebijakan suku bunga perlu dinaikkan dan pelemahan rupiah dibiarkan sambil menghindari penyesuaian rupiah yang mengganggu. BI harus mahir dalam menemukan jalur yang stabil sambil menghindari ketidakseimbangan yang tidak berkelanjutan di pasar Valas. Menghindari skema “burden sharing” lainnya.
Pada saat yang sama, pasar keuangan dan investasi perlu diyakinkan akan komitmen kuat berkelanjutan dari pemerintah Indonesia terhadap kebijakan yang hati-hati termasuk jangkar fiskal yang kuat, bank sentral yang independen dan kebijakan keluar (dari krisis) yang kredibel.
Melanjutkan dan memperkuat implementasi reformasi pra-pandemi di sektor riil (melalui Omnibus Law Cipta Kerja) dan sektor keuangan (melalui Omnibus Law mendatang) untuk meningkatkan produktivitas.
Untuk memberikan kredibilitas dan kekuatan komitmen ini kepada masyarakat dan investor Indonesia, pemerintah harus memperkenalkan paket kebijakan tiga arah. Pertama Kebijakan fiskal yang disesuaikan dengan kebutuhan perekonomian dan kembali ke jangkar fiskal 3%. Kedua langkah-langkah untuk memastikan kepercayaan pasar yang berkelanjutan terhadap kredibilitas kebijakan pemerintah. Ketiga langkah-langkah pertumbuhan untuk membantu “penyelamatan dan pemulihan” serta menetapkan jalan untuk membangun kembali dengan lebih baik.
Indonesia optimis di tengah ketidakpastian global
Kombinasi dari (i) pertumbuhan yang melambat di Tiongkok, (ii) kenaikan harga energi dan pangan yang diperburuk oleh perang di Ukraina, dan (iii) kenaikan suku bunga kebijakan di negara-negara maju telah menyeret prospek ekonomi global. Sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya resesi global.
Sumber : World Bank, IMF, ADB, OECD. Average of all latest and pre-war forecasts.
Di beberapa negara maju consumer confindence turun dengan sangat tajam. Tiongkok mengalami penurunan paling tajam, disusul Inggris, Amerika, juga Jepang. Namun consumer confindence di Indonesia justru meningkat.
Baca juga : Navigasi Indonesia Menghadapi Goncangan Global
Terjadi revisi pada prediksi GDP, namun sekali lagi navigasi Indonesia menghadapi gejolak global ada di arah yang benar. Indonesia telah meningkatkan defisit anggaran di atas 3 persen namun dengan adanya permintaan barang dan jasa yang melonjak akibat terjadinya stimulus maka harga-harga komoditas telah mengalami kenaikan yang sangat tinggi. Mulai dari 2021 satu pada semester II. Saat ini harga-harga komoditas masih dalam posisi yang sangat tinggi, menguntungkan bagi Indonesia namun sekaligus beban atapun resiko tersendiri.
Indonesia memiliki respons kebijakan yang supportive dan commodity boom sehingga memiliki pertembuhan ekonomi yang cukup baik. Dimulai kuartal I 2021 dan terus terjadi hingga kuartal II 2022. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,44 persen pada kuartal II tahun 2022. Ini adalah pertumbuhan yang tinggi di saat seluruh dunia menghadapi inflasi yang tinggi dan kenaikan suku bunga yang mengancam resesi. IMF telah merevisi outlook dari pertumbuhan ekonomi dunia. Hampir semua negara mengalami koreksi yang sangat dalam dari proyeksi tahun 2022 hingga tahun 2023.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia optimis hasil dari kebijakan yang tepat antara fiskal, moneter maupun sektor keuangan. Ini adalah bekal bagi Indonesia menghadapi ketidakpastian.
Peningkatan harga komoditas yang cukup ekstrem dapat juga menimbulkan ekses yang harus diwaspadai. Harga komoditas yang tinggi membuat Indonesia optimis menikmati dari sisi APBN windfall revenue hingga 420 triliun rupiah. Dari sisi neraca pembayaran terjadi surplus di current account yang menimbulkan daya tahan terhadap perekonomian kita. Transaksi berjalan mencatat surplus sebesar 3,9 miliar dolar AS (1,1% dari PDB). Hal ini disebabkan karena neraca perdagangan kita yang mencatatkan surplus sebesar mencapai 29,17 miliar dolar AS pada Januari-Juli 2022. Terjadi kenaikan 83 persen dari tahun lalu pada periode yang sama. Ekspor naik 36% sementara impor tumbuh 29%. Semua ini menggambar ekonomi Indonesia meningkat terutama dari sektor manufaktur. Menjadikan Indonesia optimis di tengah ketidakpastian global.
Foreign Direct Investment (FDI) meningkat pada semester I 2022 mencapai sebesar 310 triliun rupiah, yang tumbuh sebesar 35,8 persen dibandingkan periode sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi ini cukup merata disumbangkan oleh kontribusi ekspor yang melonjak tinggi. Namun juga konsumsi dan investasi mengalami kenaikan yang cukup sehat. Dengan demikian tingkat penggangguran dan kemiskinan mulai dapat diturunkan kembali.
Kondisi Indonesia yang positif tidak berarti bahwa Indonesia tidak mengalami tekanan. Harga-harga energi dan pangan yang tinggi, seperti harga minyak goreng yang meningkat imbas dari produksi minyak goreng dari Sun Flower terdisrupsi karena perang Ukraina. Gandum, pupuk mengalami hal yang sama.
Situasi inilah yang menimbulkan kompleksitas, APBN sebagai instrumen keuangan negara terus menjadi instrumen yang diandalkan. Pada masa pandemi karena kebijakan counter cyclical terjadi defisit di atas 6 persen pada APBN. Namun tahun 2021 telah turun dibawah 5 persen, dan diharapkan tahun 2022 kembali turun karena adanya commodity boom.
Sumber : Bloomberg
Indonesia optimis bahwa APBN juga adalah instrumen untuk menyerap tekanan dari eksternal, misalnya dari harga-harga minyak, harga-harga pangan, maka APBN perlu menjadi shock absorber.
Tahun ini Indonesia dihadapkan pada situasi yang dilematis kenaikan harga minyak hingga 100 dolar AS per barel. Kondisi ini telah dicoba diatasi dengan menaikan subsidi BBM hingga lebih dari tiga kali lipat. Dari 152 triliun rupiah menjadi 502,4 triliun rupiah. Namun lonjakan subsidi ini ternyata belum mencukupi. Konsumsi energi melonjak tinggi dan harga minyak tetap tinggi. Selain itu kurs rupiah kita mengalami tekanan akibat kenaikan suku bunga di Amerika Serikat yang menyebabkan capital outflow.
Inilah sebabnya pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM, yang memiliki dimensi politik dan sosial. Ada trade off atau opportunity cost, apabila tetap dilakukan subsidi BBM dengan kehilangan kesempatan membangun banyaknya fasilitas produktif, pendidikan, kesehatan yang sedemikian dibutuhkan oleh masyarakat. Sekali lagi sekalipun situasi global dalam ketidakpastian yang besar Indonesia optimis menghadapinya dengan tetap berhati-hati.