DJP Kemenkeu: Google, Facebook dkk Harus Bayar Pajak ke Indonesia, Kapan?

387
pajak

(Vibiznews – Economy & Business) – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan sedang merencanakan pelaksanaan pilar 1 dan pilar 2 paket pajak internasional OECD/G20 Inclusive Framework.

Dengan dilaksanakannya pilar 1, maka perusahaan seperti Google, Facebook dan lain-lain harus bayar pajak ke Indonesia.

Direktur Perpajakan Internasional DJP, Mekar Satria Utama mengatakan pilar 1 masih dalam tahap pembahasan dan sedang dalam titik kritikal untuk diputuskan. Adapun, pilar 1 adalah Unified Approach atau hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital.

“Pilar satu kita menunggu penandatanganan multilateral convention-nya yang direncanakan seharusnya Juli 2023. Kalau itu sudah ditandatangani dan Indonesia menjadi salah satu yang menandatangani itu, kita akan mulai menyusun aturan-aturan pelaksananya.

Mudah-mudahan bisa di 2024, tapi mungkin lebih realistis kita akan sampai pertengahan 2024 sampai akhir 2024,” katanya dalam webinar MUC Consulting, Kamis (16/2/2023).

Mekar menyebut pilar 2 akan diterapkan terlebih dahulu karena Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) telah menerbitkan panduan teknis, sehingga tinggal menunggu terbitnya kerangka kerja implementasinya.

“Kami tinggal menunggu implementation framework-nya, sudah selesai tapi belum diterbitkan, itu yang jadi basis kita. Kami harapkan kalau kondisinya lancar, kita akan mulai menerapkan di 2024,” ucapnya.

Sebagai informasi, pilar 2 merupakan solusi sebagai upaya mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak. Pilar 2 terdiri atas dua rencana kebijakan yaitu Global Anti-Base Erosion Rules (GloBE) terkait penetapan tarif pajak efektif PPh badan minimum, dan Subject to Tax Rule (STTR) terkait pemberlakuan tarif withholding tax.

Melalui pilar 2 itu, akan ada 2 pendekatan yang bisa dimanfaatkan sebagai dasar untuk menerapkan top up tax terhadap wajib pajak yang mendapatkan insentif pajak, yakni Income Inclusion Rule (IIR) dan undertaxed payment rule (UTPR).

Mekar menyebut dalam panduan yang berkembang saat ini OECD memberi ruang untuk menerapkan Qualifying Domestic-Minimum Top-Up Tax (QDMTT). Menurutnya, Indonesia lebih memilih skema itu ketika ingin menerapkan top up tax jika insentif yang diterima wajib pajak di bawah effective tax rate (ETR) yang sebesar 15%.

“Di bawah 15% memang akan mengakibatkan adanya top up tax yang akan dikenakan di negara di mana ultimate variant entitynya berada. Nah ini kita pahami dalam diskusi-diskusi kita, OECD memang memberikan guidance-nya, kita bisa juga menerapkan yang kita sebut QDMTT,” tutur Mekar.

Mekar menekankan bahwa pilar 2 bersifat common approach atau tidak wajib, berbeda dengan pilar 1 yang wajib atau harus diterapkan (minimum standar) oleh anggota OECD/G20.

Jika ada negara yang tidak memilih menerapkan pilar 2, kata Mekar, malah merugikan negara itu sendiri karena sifat ketentuan dalam pilar 2 ini adalah top up tax. Dan sudah ada 37 negara yang menyepakati adanya pilar 1 dan pilar 2.

Mengutip Komite Pengawas Perpajakan Kementerian Keuangan, pilar 2 merupakan usulan solusi yang berupaya mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak efektif PPh badan minimum secara global.

Desain kebijakan GloBE dilakukan dengan menerapkan tarif efektif pajak minimum sebesar 15% yang ditinjau dari negara domisili. Apabila terdapat selisih antara pajak minimum tersebut dengan tarif pajak efektif di lokasi investasi suatu perusahaan multinasional, ada dua implikasi.

Implikasi itu dapat dipajaki di negara domisili melalui income inclusion rule atau penghasilan luar negeri ditarik ke negara domisili dan/atau melalui undertaxed payment rule atau biaya yang dibayarkan oleh perusahaan multinasional di negara domisili ke perusahaan multinasional di negara dengan tarif pajak rendah menjadi non-deductible.

Selasti Panjaitan/Vibiznews/Head of Wealth Planning