NPL Perbankan Membaik, Pencadangan Meningkat; Bagaimana Risiko Kredit 2025?

418
NPL Perbankan Membaik, Pencadangan Meningkat; Bagaimana Risiko Kredit 2025?
Sumber: Bank Indonesia

 

(Vibiznews – Banking & Insurance) – Berdasarkan Laporan OJK Stabilitas Sektor Jasa Keuangan Triwulan III 2024 tetap terjaga di tengah pelonggaran kebijakan moneter. Hal ini terlihat dari Kinerja industri perbankan domestik terjaga stabil.

Kinerja perbankan didukung oleh tingkat permodalan atau Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan per Agustus 2024 yang tetap kuat sebesar 26,78%.

Kinerja intermediasi Agustus 2024 tumbuh positif dengan kredit perbankan yang masih mencatatkan double-digit yakni 11,40% yoy menjadi sebesar Rp7.508 triliun.

Kinerja KBMI (Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti) 4.
Kabar baik yang menyelimuti industri perbankan, dapat kita lihat pada bank-bank KBMI 4.

Bank KBMI 4 adalah bank yang memiliki modal inti lebih dari Rp 70 triliun. Saat ini, ada empat bank yang tergolong
KBMI 4, yaitu: Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Central Asia (BCA), Bank Negara Indonesia (BNI).

Meski pertumbuhan laba moderat, mereka mampu mencatatkan perbaikan kualitas kredit yang tercermin dalam rasio Non Performing Loan (NPL).

Grafik Perkembangan Kredit NPL Bank Umum Agustus 2023- Agustus 2024

Perkembangan Kredit dan NPL Bank Umum Agst 2023-Agst 2024
Sumber: Infografis Statistik Bank Umum, OJK

Dari grafik tersebut terlihat bahwa NPL bulan Agustus tercatat sebesar 2,26%
Hal tersebut sejalan dengan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mencatat Rasio NPL perbankan pada Agustus 2024 tercatat sebesar 2,26% (bruto).

Angka ini turun tipis dibandingkan NPL Juli 2024 yang sebesar 2,27%.
Hanya saja, penurunan NPL ini bukan berarti bank menutup mata adanya penurunan kualitas kredit yang memburuk ke depan. Oleh karenanya, pembentukan pencadangan yang lebih tinggi pun dilakukan untuk mengantisipasi hal tersebut.

Misalnya, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) yang mencatatkan NPL gross stabil di 2,1% per September 2024. Namun, beban pencadangan BCA membengkak hingga 60,2% secara tahunan (YoY) menjadi Rp 2,4 triliun. Peningkatan pencadangan umumnya dilakukan bank untuk mengantisipasi risiko kredit macet.

Jika dilihat secara rinci dalam laporan keuangannya, ada kenaikan dari kredit yang masuk dalam kategori macet sekitar 43,31% secara year to date menjadi Rp 15,11 triliun. Dari sektor manufaktur mendominasi senilai Rp 8,31 triliun.

EVP Corporate and Social Responsibility BCA Hera F Haryn menjelaskan, pembentukan provisi kredit senantiasa dievaluasi dari waktu ke waktu. Harapannya, itu akan sangat memadai untuk mengantisipasi berbagai dinamika yang akan terjadi.

Ia juga mengatakan BCA senantiasa menerapkan disiplin manajemen risiko dalam penyaluran kredit, sehingga NPL tetap terkendali. Di mana, rasio pencadangan NPL dan LAR berada pada level yang masing-masing sebesar 193,9% dan 73,5%.

Hal serupa juga terjadi pada PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) yang meski NPL turun 20 basis poin menjadi 3,06%. Namun biaya pencadangannya bengkak 39,67% YoY menjadi Rp 32,45 triliun dan membuat NPL Coverage BRI menjadi 215,44%.

Melihat laporan keuangannya, kredit BRI yang mengalami penurunan nilai pada periode September 2024 setelah dikurangi pencadangan naik 5,62% Ytd menjadi Rp 18,24 triliun. Salah satunya dipengaruhi segmen konstruksi yang naik 12,52% Ytd menjadi Rp 7,6 triliun.

Direktur Manajemen Risiko BRI Agus Sudiarto mengatakan untuk memperbaiki kualitas kredit, dia mengubah sedikit strategi penyaluran kreditnya sejak awal kuartal II-2024. Di mana, saat mau menyalurkan kredit-kredit baru, pihaknya benar-benar selektif. Hal itu dilakukan karena adanya kenaikan rasio NPL ketika tiga bulan pertama tahun 2024

Selanjutnya, ada juga PT Bank Mandiri Tbk yang mencatat beban provisi naik pada September 2024. Pada periode tersebut, beban provisi Bank Mandiri naik 4,15% menjadi Rp 9,53 triliun.

Meski demikian, bank berkode saham BMRI ini tetap menunjukkan adanya perbaikan NPL dengan 36 basis poin menjadi 1,13%. Di mana, rasio NPL tertinggi ada di segmen komersial untuk kredit-kredit lama yang mencapai 3,99% atau senilai Rp 3,12 triliun. Bank Mandiri tidak hanya mengejar pertumbuhan kredit tetapi juga diimbangi dengan penguatan kualitas kredit yang dimiliki.

“Secara konsisten, Bank Mandiri menjalankan bisnis secara prudent atau memegang teguh prinsip kehati-hatian,” ungkap Direktur Keuangan Bank Mandiri Sigit Prastowo (sumber Kontan, 1 November 2024).

Dari ke 4 bank tersebut maka dapat disimpulkan sekalipun terjadi penurunan NPL namun jika bank melakukan peningkatan cadangan menunjukkan adanya peningkatan kredit macet yang harus diantisipasi dan diwaspadai.

Apa saja faktor penyebab risiko kredit perbankan?

Menurut Analis Vibiz Research Center ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, antara lain:

1. Kondisi Ekonomi:
Ketegangan geopolitik di Timur Tengah telah mendorong meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global. Di bidang ekonomi, pertumbuhan dunia pada 2024 diprakirakan tumbuh sebesar 3,2% dengan kecenderungan yang melambat.

Inflasi global dalam tren penurunan sehingga mendorong konvergensi pelonggaran kebijakan moneter, khususnya di negara maju. Di Amerika Serikat (AS), rilis tingkat pengangguran terkini menunjukkan perbaikan di tengah prospek inflasi yang lebih rendah.

Ini tentunya mendorong ekspektasi pelaku pasar terhadap penurunan Fed Funds Rate (FFR) yang lebih rendah dari prakiraan semula. Hal tersebut menyebabkan kenaikan yield US Treasury tenor 2 dan 10 tahun dan indeks dolar AS (DXY).

Ke depan, tren penurunan suku bunga kebijakan negara maju, khususnya AS diprakirakan tetap berlanjut, meskipun dinamika ketegangan geopolitik perlu terus dicermati.

Pertumbuhan ekonomi global yang melambat inilah yang juga mempengaruhi resesi ekonomi di suatu negara. Sehingga dapat mengurangi kemampuan peminjam untuk membayar utang, terutama bagi usaha kecil dan menengah.

2. Sektor Usaha:
Ada beberapa sektor usaha yang perlu dicermati karena memiliki rasio kredit macet yang cukup besa.
Sebagai informasi, bersumber dari databoks, rasio kredit macet berdasarkan lapangan usaha per Desember 2023, maka sektor perikanan memiliki rasio kredit macet terbesar yaitu 5,3%.
Selanjutnya Lapangan usaha lain yang rasio kredit macetnya tergolong tinggi adalah sektor konstruksi; perdagangan besar dan eceran; serta industri pengolahan, dengan rasio NPL/NPF masing-masing di atas 3%.

Sektor konstruksi menjadi salah satu penyumbang terbesar Non Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah perbankan.

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti:
• Kontraktor swasta kesulitan mendapatkan pembiayaan perbankan
• Proyek konstruksi didominasi perusahaan pelat merah
• Pembiayaan proyek infrastruktur bersifat jangka panjang

Sehingga sejumlah bank masih selektif dalam menyalurkan kredit pada sektor ini. (Sumber: Kontan, 9 Juli 2024)

Jika dilihat dari laporan Bank Indonesia (BI), penyaluran kredit konstruksi turun 1,1% secara tahunan atau year on year (YoY) menjadi Rp 223,2 triliun pada Mei 2024. Sejak awal tahun, kredit konstruksi memang tercatat minus.

Dari Februari hingga April secara berturut-turut mencatatkan pertumbuhan negatif yakni, -0,1%, -3,2%, -3,3%.

PT Bank Tabungan Negara (BTN) juga mengakui, untuk pembiayaan konstruksi perumahan atau commercial building di segmen menengah atas, disalurkan secara selektif. Khususnya yang memiliki konsep kawasan yang related dengan pembangunan area komersial dengan infrastruktur yang mendukung.

Sedangkan pembiayaan konstruksi untuk high rise building maupun office building sampai dengan saat ini masih dilakukan konsolidasi dan diberikan sangat selektif dengan mempertimbangkan captive market.

Ramon Armando, Corporate Secretary BTN menjelaskan, seleksi debitur dilakukan sesuai ketentuan bank yang normal. Penajaman seleksi dan mitigasi risiko ditekankan pada aspek pasar dan pemenuhan aspek legalitas proyek.

Sektor industri tekstil: Contoh Sritex

Perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau dikenal dengan Sritex, perusahaan tekstil yang besar dinyatakan pailit. Utang menggunung mencapai triliunan rupiah jadi penyebabnya. Sritex mengalami kegagalan membayar utang.

Berdasarkan data OJK, utang Sritex ke Bank menyentuh angka Rp 14,42 Triliun. Adapun utang bank menjadi salah satu pos paling besar yang menyumbang liabilitas jangka panjang PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL). Dengan nilai sebesar US$809,99 juta atau sekitar Rp12.66 triliun.

Dikutip dari CNBC, 3 November 2024, hingga paruh pertama tahun ini, terdapat 28 bank yang memiliki tagihan kredit jangka panjang atas Sritex. Dari 28 bank tersebut, SRIL paling banyak memiliki kredit dari BCA.

Diketahui, utang bank jangka panjang SRIL di BCA mencapai US$71,30 juta atau sekitar Rp1,11 triliun. BCA juga memiliki tagihan utang bank jangka pendek sebesar US$11,37 juta di SRIL.

Sehingga tidak heran kalau beban pencadangan BCA membengkak hingga 60,2% secara tahunan (YoY), salah satunya disebabkan kredit macet dari Sritex

Selain BCA, bank lain yang juga memiliki tagihan kredit jangka panjang atas Sritex adalah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk – sebesar US$ 23,807,151
Selain mengalami kegagalan membayar utang, ada sejumlah masalah yang dialami Sritex seingga mengalami penurunan dan berakhir pailit.

Dilansir dari Kompas.com (24/6/2024), Sritex mengalami penurunan pendapatan secara drastis akibat Covid-19 dan ada persaingan yang ketat di industri tekstil global.

Perseroan menyatakan, kondisi geopolitik perang di Rusia-Ukrania serta Israel-Palestina menyebabkan terjadinya gangguan supply chain dan penurunan ekspor. Sebab, terjadi pergeseran prioritas oleh masyarakat kawasan Eropa dan Amerika Serikat.

Sritex menilai ada over supply tekstil dari China di Indonesia yang menyebabkan terjadinya dumping harga. Produk-produk itu menyasar negara di luar Eropa termasuk Indonesia. China juga tidak menerapkan bea masuk antidumping dan tarif barrier maupun nontarif barrier terhadap produknya yang dijual ke luar negeri. Situasi geopolitik dan gempuran produk China yang terus berlangsung membuat penjualan tekstil Sritex belum pulih hingga kini.

Dengan memahami faktor-faktor ini, bank dapat mengambil langkah-langkah untuk mengurangi risiko kredit macet yang terjadi.

Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting