(Vibiznews – Technology) – Dari aplikasi ponsel hingga otomatisasi rumah, dari perdagangan tanpa uang tunai hingga seterusnya, disrupsi digital adalah hal yang biasa bagi konsumen saat ini.
Hal ini tentunya mengubah apa yang kita lakukan—dan bagaimana kita melakukannya—dalam berbagai cara yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam dunia bisnis, robot bekerja berdampingan dengan manusia untuk merakit mobil, mengantarkan paket, merancang komputer, dan menghasilkan listrik.
Blockchain melacak pasokan berlian dan memantau peralatan konstruksi. Dan mesin pintar mulai mengisi rumah sakit, kontainer pengiriman, apotek, dan banyak lagi.
Apa hubungannya ini dengan masa depan Keuangan? Semuanya ini berhubungan dengan Keuangan.
Boleh dikatakan selama tujuh tahun terakhir, perkembangan teknologi begitu cepat dalam dunia bisnis dan keuangan. Dengan janji untuk membuat Keuangan menjadi lebih baik, lebih cepat, dan mungkin lebih murah. Pekerjaan yang kita lakukan dan bagaimana kita melakukannya sedang dipertaruhkan.
Sejalan dengan hal tersebut, sistem pembayaran terus berevolusi mengikuti evolusi uang dengan 3 unsur penggerak. Yaitu inovasi teknologi & model bisnis, tradisi masyarakat, dan kebijakan otoritas.
Di Indonesia, alat pembayaran terus berkembang dari alat pembayaran tunai (cash based) ke alat pembayaran non tunai (non-cash). Misalnya alat pembayaran berbasis kertas (paper based) dan bilyet giro yang diproses menggunakan mekanisme kliring/settlement.
Selain itu dikenal juga alat pembayaran paperless seperti transfer dana elektronik dan alat pembayaran memakai Kartu ATM, Kartu Kredit, Kartu Debit dan Kartu Prabayar (card-based).
Keadaan Saat Ini
Perkembangan teknologi informasi yang cepat telah membawa kehidupan masyarakat dunia memasuki era baru yang sering disebut era revolusi industri 4.0. Era ini ditandai dengan berkembangnya berbagai inovasi teknologi seperti Internet of Things (IoT), Cloud Computing, Artificial Intelligence (AI), dan Machine Learning.
Dapat dikatakan pada satu dekade terakhir, terjadi gelombang digitalisasi dan penetrasinya ke kehidupan masyarakat yang mengubah secara drastis perilaku masyarakat.
Pemanfaatan berbagai teknologi tersebut di bidang layanan keuangan telah membawa perubahan yang signifikan pada industri keuangan.
Ternyata Deloitte, Lembaga Keuangan Besar di Amerika telah melakukan analisa dan membuat prediksi pada tahun 2018. Bahwa ada 8 hal yang akan terjadi dalam industri keuangan ke depan (Sumber, Deloitte, USA, 2018).
Prediksi Kami
1. Finance Factory (Pabrik Keuangan)
Transaksi akan menjadi tanpa sentuhan seiring otomasi dan blockchain yang semakin mendalam dalam operasi keuangan.
2. The role of Finance (Peran Keuangan)
Dengan otomatisasi operasi, Keuangan akan lebih fokus pada wawasan bisnis dan layanan. Kesuksesan tidak dapat dijamin. Keterampilan yang dibutuhkan oleh profesional keuangan kemungkinan akan berubah secara drastis, karena kombinasi baru antara teknologi dan tenaga kerja manusia mulai meresap ke tempat kerja.
3. Finance Cycles (Siklus Keuangan)
Keuangan akan beroperasi secara real-time. Pelaporan berkala tidak lagi menjadi penggerak operasi dan keputusan – jika itu pernah terjadi.
4. Self-service (Layanan Mandiri)
Layanan mandiri akan menjadi norma. Keuangan mungkin merasa tidak nyaman dengan hal ini.
5. Operating Models (Model Operasional)
Model pengiriman layanan baru akan muncul seiring robot dan algoritma bergabung dengan tenaga kerja keuangan yang lebih beragam – pikirkan integrasi pekerja lepas, pekerja gig, dan crowdsourcing. Perusahaan akan mengevaluasi manfaat otomasi dibandingkan dengan operasi di darat dan luar negeri.
6. Enterprise Resource Planning (Perencanaan Sumber Daya Perusahaan (ERP)
Aplikasi keuangan dan microservices menantang ERP tradisional, vendor besar akan mempersiapkan diri.
7. Data
Penyebaran API akan mendorong standarisasi data, tetapi itu tidak akan cukup. Perusahaan masih akan berjuang untuk membersihkan kekacauan data mereka.
8. Workforce and workplace (Tenaga Kerja dan Tempat Kerja)
Karyawan akan melakukan hal-hal baru dengan cara baru, beberapa di antaranya mungkin membuat CFO merasa tidak nyaman.
Jika kita amati dengan kondisi saat ini maka sebagian besar apa yang diprediksi Deloitte tersebut telah terjadi. Dan dapat disimpulkan tren industri keuangan saat ini serba otomatisasi. Baik dalam proses transaksi, sistem pembayaran, proses kerja, cenderung lebih mengandalkan mesin dari pada tenaga manusia.
Tentu saja proses otomatisasi ini akan mempermudah dan mempercepat pekerjaan dan layanan yang dibutuhkan oleh nasabah daripada melalui proses manual. Selain itu, dengan adanya transformasi perubahan digitalisasi dan otomatisasi membuat peningkatan efisiensi kerja.
Meminimalisir proses kerja manual yang membutuhkan banyak tahapan maupun sumber daya manusia. Selain itu dengan otomasi bisa dengan lebih mudah mendeteksi adanya fraud lebih dini melalui pemrograman yang dilakukan oleh software atau mesin. Sehingga bisa membuat perubahan juga dalam manajemen resiko.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Bank Indonesia telah menyiapkan lima visi Sistem Pembayaran yang terdapat dalam Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025.
Ada 5 visi Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025:
1. SPI mendukung integrasi ekonomi-keuangan digital nasional sehingga menjamin fungsi bank sentral dalam proses pengedaran uang. Kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan, serta mendorong inklusi keuangan.
Melalui visi ini, akan ada upaya membangun konfigurasi ekonomi-keuangan digital yang mendukung pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dan menjamin keterbukaan akses publik atas data digital dalam kerangka proteksi dan governance yang memadai.
Pengelolaan dan pemanfaatan data pembayaran digital menjadi kunci bagi integrasi ekonomi dan keuangan digital di Indonesia.
Tabel Konfigurasi Ekonomi dan Keuangan Digital Indonesia
Dalam tabel di atas terlihat peranan BI dalam melakukan koordinasi dan mendukung integrasi ekonomi-keuangan digital antara sektor ekonomi dan sektor keuangan. Terutama dalam menyiapkan infrastruktur baik untuk Retail Payment maupun Wholesale Payment serta menyiapkan kebijakan terkait hal tersebut.
2. SPI mendukung digitalisasi perbankan sebagai lembaga utama dalam ekonomi keuangan digital melalui open banking maupun pemanfaatan teknologi digital dan data dalam bisnis keuangan.
BSPI ini mengarah pada keterbukaan data dan informasi yang setara antara bank dan fintech. Untuk itu, BSPI 2025 menyoroti secara khusus pilar Open Banking.
Open Banking didefinisikan sebagai pendekatan yang memungkinkan bank membuka data dan informasi keuangan nasabahnya kepada pihak ketiga (fintech). Namun, visi Open Banking dalam BSPI 2025 juga menuntut keterbukaan serupa di sisi fintech.
3. SPI mendukung interlink antara fintech dengan perbankan untuk menghindari risiko shadow banking, melalui pengaturan teknologi digital ( seperti API), kerja sama bisnis maupun kepemilikan perusahaan.
Melalui visi ini, perbankan dapat memanfaatkan kehadiran fintech untuk menjaga agility-nya secara efisien di tengah inovasi teknologi yang bergerak dalam siklus yang lebih pendek.
Sebaliknya, fintech dapat me-leverage data nasabah bank untuk memperkuat kualitas layanannya kepada konsumen.
4. SPI menjamin keseimbangan antara inovasi dan consumer protection, integritas, stabilitas serta persaingan usaha yang sehat.
Di samping penataan hard infrastructure, Bank Indonesia juga akan menata soft infrastructure melalui penguatan kerangka regulasi, mekanisme entry policy, dan pengawasan.
Rezim regulasi dan entry policy diarahkan agar lebih sederhana dan adaptif guna mengantisipasi inovasi teknologi keuangan yang melaju cepat.
5. SPI menjamin kepentingan nasional dalam ekonomi- keuangan digital antar negara melaui kewajiban pemrosesan transaksi domestik dalam negeri, dan kerjasama pemrosesan asing dengan domestik, dengan memperhatikan prinsip resiprokalitas.
Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting