(Vibiznews-Kolom) “Saya cinta Eropa,” kata Presiden AS yang baru, Donald Trump, di Forum Ekonomi Dunia di Davos bulan lalu. Tapi ada banyak hal yang tidak ia sukai. Misalnya, saat masih menjadi pengembang properti, ia pernah meninggalkan proyek di Irlandia karena izin dari Uni Eropa terlalu lama, bisa sampai lima atau enam tahun. “Saya mencoba bersikap konstruktif,” katanya.
Para pemimpin dunia yang berkumpul di Davos mungkin tidak sepakat dengan Trump dalam banyak hal, tetapi dalam satu hal mereka sependapat: Eropa sedang dalam masalah besar. Presiden Bank Sentral Eropa, Christine Lagarde, bahkan menyebut situasi ini sebagai “ancaman eksistensial.” Sementara itu, CEO BlackRock, Larry Fink, mengatakan bahwa pasar tunggal Eropa, yang sering dibanggakan, sebenarnya hanyalah “mitos yang indah.”
Seorang CEO perusahaan asuransi Eropa terkejut melihat perbedaan besar antara Eropa dan AS. “Di sana, semua orang berbicara tentang pertumbuhan tanpa henti, seperti sedang kecanduan. Tapi di Eropa, semua orang justru tampak tertekan,” katanya.
Kekhawatiran tentang masa depan Eropa bukanlah hal baru. Selama dua dekade terakhir, benua ini terus menghadapi krisis: hampir runtuhnya euro, gelombang besar pengungsi, Brexit, hingga invasi Rusia ke Ukraina. Namun, situasi kali ini terasa berbeda. Tidak ada satu krisis besar yang menjadi penyebab utama pesimisme—melainkan serangkaian masalah yang saling berhubungan. Dalam beberapa tahun terakhir, Eropa harus menghadapi dampak Covid-19, lonjakan biaya energi, dan bangkitnya partai-partai sayap kanan yang menentang proyek Uni Eropa. Di sisi lain, Tiongkok mengancam pasarnya, Rusia mengancam keamanannya.
Sejak akhir 2019, ekonomi Uni Eropa hanya tumbuh 5%, sementara AS tumbuh 12%. Dominasi pasar saham AS juga mencolok—tujuh perusahaan terbesar di Amerika memiliki nilai lebih tinggi dari gabungan seluruh pasar saham Inggris, Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, Belanda, dan Swiss.
Kembalinya Trump ke panggung politik memperburuk kekhawatiran ini. Warga Eropa takut semakin tertinggal karena AS menarik investasi dengan kebijakan deregulasi, pemotongan pajak, dan energi murah. Tarif perdagangan yang diterapkan AS juga bisa menghantam ekonomi Eropa, terutama Jerman, yang sangat bergantung pada ekspor. Trump bahkan pernah mengancam tarif terhadap sekutu-sekutu Amerika dan tidak menutup kemungkinan menggunakan kekuatan militer terhadap Denmark untuk menguasai Greenland. “Mengenakan tarif pada teman dan sekutu adalah ide yang gila,” keluh Menteri Luar Negeri Finlandia, Elina Valtonen.
Namun, meskipun banyak yang frustrasi dengan Trump, warga Eropa sadar bahwa sebagian besar kekacauan yang mereka hadapi adalah akibat dari kebijakan mereka sendiri.
Saat proyek Uni Eropa didirikan pada tahun 1958, tujuannya adalah menciptakan pasar internal yang bebas hambatan, seperti di AS. Komisi Eropa di Brussels, sebagai badan eksekutifnya, dulu menjadi simbol neoliberalisme—keyakinan bahwa perdagangan bebas dan pasar terbuka adalah cara terbaik untuk mencapai kemakmuran.
Namun, dalam 15 tahun terakhir, fokus Eropa bergeser. Dari yang awalnya mengejar pertumbuhan ekonomi, kini lebih banyak aturan dibuat untuk melindungi privasi, data, dan lingkungan. Regulasi baru terus bermunculan, mulai dari aturan tentang transparansi situs web hingga pengurangan emisi karbon.
Ironisnya, setelah bertahun-tahun membatasi dominasi perusahaan teknologi besar, kini Eropa justru mengeluh karena tidak memiliki raksasa teknologinya sendiri. Sebagian orang menyalahkan budaya Eropa yang lebih berhati-hati dan menghindari risiko dibandingkan AS. “Amerika punya budaya percaya diri, sedangkan Eropa lebih mengutamakan kesederhanaan,” kata Kristalina Georgieva, kepala Dana Moneter Internasional.
Namun, menurut para pemimpin bisnis, masalahnya bukan hanya soal budaya, tetapi juga kebijakan para pemimpin politik yang justru memperburuk keadaan.
Eropa di persimpangan: Regulasi, Persaingan, dan Tantangan Global
Ketika pasar saham AS turun akibat kemajuan AI dari perusahaan China, DeepSeek, pasar Eropa tetap stabil—bukan karena kekuatan, tetapi karena Eropa bukan pemain utama di bidang AI. Satu-satunya keunggulan Eropa dalam AI adalah regulasinya, seperti undang-undang AI yang baru disahkan tahun lalu. Namun, aturan yang terlalu rumit membuat perusahaan bingung. “Regulasi AI terkadang sangat kontradiktif hingga sulit untuk diikuti,” kata Roland Busch, CEO Siemens.
Dulu, perusahaan global rela menyesuaikan diri dengan aturan ketat dari Uni Eropa. Namun kini, risiko terbesarnya adalah mereka mulai mengabaikan pasar Eropa. Apple, Meta, dan Google telah menunda peluncuran beberapa fitur AI mereka di Eropa karena hambatan regulasi. Inggris bahkan mencoba menarik investasi dengan pendekatan berbeda. “Kami tidak akan mengatur segalanya hingga mati seperti UE,” kata Rachel Reeves, Menteri Keuangan Inggris, di Davos.
Di sisi lain, pasar tunggal Eropa masih belum sempurna. Zona euro tidak memiliki bank besar yang dapat menyaingi empat raksasa perbankan Amerika. Bahkan perusahaan besar seperti Siemens harus berurusan dengan banyak operator telekomunikasi di berbagai negara UE. “Kami tidak benar-benar memiliki satu pasar. Jika Anda adalah perusahaan rintisan yang ingin berkembang, ke mana Anda akan pergi? Jawabannya adalah Amerika Serikat,” ujar Busch.
Persaingan dengan AS dan tantangan energi
Lima tahun lalu, UE meluncurkan “Kesepakatan Hijau Eropa” untuk mencapai netral karbon pada 2050. Biaya proyek ini masih terasa masuk akal ketika AS juga memiliki kebijakan serupa. Namun kini, dengan Trump yang berjanji akan memaksimalkan produksi energi fosil, Eropa menghadapi dilema besar. Seorang pejabat UE bahkan mengaku lebih khawatir terhadap kebijakan energi AS dibanding ancaman tarif dagang. Dengan harga energi yang tinggi dan regulasi ketat, perusahaan-perusahaan Eropa bisa tergoda untuk pindah ke AS.
Hal ini terlihat dari perbedaan nilai pasar perusahaan energi. Exxon Mobil, yang fokus pada minyak dan gas, memiliki nilai enam kali lipat lebih besar dari BP, yang didorong untuk berinvestasi di energi terbarukan. Jika tren ini berlanjut, BP bisa menjadi target akuisisi. Ini menambah ketakutan bahwa perusahaan Eropa akan memindahkan saham dan operasional mereka ke AS demi regulasi yang lebih ringan dan valuasi lebih tinggi.
CEO Ericsson, Börje Ekholm, menyoroti masalah lain: Regulasi Eropa terlalu fokus pada menekan harga konsumen jangka pendek, tetapi mengorbankan investasi jangka panjang dalam infrastruktur. Akibatnya, Ericsson kini mendapatkan hampir setengah dari pendapatannya dari AS. Ketika ditanya apakah perusahaan akan memindahkan kantor pusatnya ke AS, ia menjawab, “Kami berbasis di Swedia. Tapi saya rasa semua perusahaan di Eropa perlu mempertimbangkan hal ini ke depan.”
Apakah ada harapan bagi Eropa?
Meskipun banyak kritik terhadap kebijakan UE, kinerja Inggris pasca-Brexit menunjukkan bahwa keluar dari UE bukanlah solusi. Sebagian keunggulan AS juga disebabkan oleh keberanian mereka mengambil utang besar untuk menghadapi pandemi serta keunggulan dolar sebagai mata uang cadangan dunia.
Eropa juga dirugikan oleh dampak konflik Rusia-Ukraina. Laporan Mario Draghi menunjukkan bahwa biaya mencari alternatif energi Rusia telah menghambat pertumbuhan Eropa lebih dari setahun. Namun, dalam jangka panjang, AS juga menghadapi tantangan, terutama jika kebijakan pro-bahan bakar fosil Trump menghambat inovasi energi terbarukan.
Di tengah pesimisme ini, ada tanda-tanda perubahan. Presiden bank sentral Belanda, Klaas Knot, menegaskan bahwa pemulihan ekonomi Eropa hanya tertunda, bukan dibatalkan. Beberapa kebijakan regulasi mulai dievaluasi ulang. Inggris menunda aturan modal bank baru, sementara Jerman mengusulkan penundaan aturan pengungkapan hijau yang terlalu berat.
Meskipun banyak pemimpin bisnis di Davos tidak menyukai Trump, mereka mengakui bahwa kebijakannya bisa menjadi peringatan bagi Eropa. Seperti kata Jean Monnet, salah satu pendiri UE, “Eropa akan dibangun melalui krisis.” Jika benar, mungkin saat ini adalah titik balik bagi Ekonomi Eropa untuk bangkit kembali.