Menimbang Arah Ekonomi Amerika

Pada akhirnya, esensi dari seluruh pendekatan ini adalah keyakinan bahwa kekuatan ekonomi Amerika terletak pada sektor swasta dan kemampuan inovatif masyarakatnya.

775
ekonomi amerika

(Vibiznews – Kolom) Di tengah gejolak pasar keuangan dan kekhawatiran global akan perlambatan ekonomi, Gedung Putih tetap memproyeksikan keyakinan penuh bahwa ekonomi Amerika Serikat tidak hanya stabil, tetapi berada di ambang pertumbuhan besar. Penciptaan 228.000 lapangan kerja pada bulan Maret menjadi sinyal kuat dari ketahanan ekonomi, bahkan di tengah kebijakan perdagangan yang menimbulkan perdebatan sengit. Angka tersebut tidak hanya menggandakan hasil bulan sebelumnya, tetapi juga menempatkan Maret sebagai salah satu bulan terbaik dalam dua tahun terakhir dalam hal penciptaan lapangan kerja.

Namun, seperti yang ditegaskan oleh Chief White House Economist Stephen Miran dalam wawancaranya dengan Bloomberg Radio and Television, kebijakan ekonomi tidak bisa dilihat secara terpisah dari konteks sejarah dan arah strategis pemerintahan. “The president acted with historic scope and speed to address what was a decades-long festering problem that had been eroding our competitiveness and eroding our prosperity and eroding our economy,” ujar Miran. “So of course there’s going to be some market volatility on the back of that.”

Pernyataan Miran menggarisbawahi bahwa apa yang sedang dilakukan Gedung Putih bukanlah kebijakan biasa. Pemerintah mengambil langkah radikal untuk membalikkan tren kemerosotan daya saing yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Tentu saja, perubahan mendasar seperti itu akan memunculkan ketidakpastian dan gejolak jangka pendek di pasar.

Pasar saham AS kembali melemah pada hari Jumat, menjadikan pekan tersebut sebagai yang terburuk sejak guncangan ekonomi akibat Covid-19 pada Maret 2020. Indeks S&P 500 mengalami penurunan signifikan, didorong oleh kekhawatiran akan dampak dari kebijakan tarif yang membawa beban perdagangan Amerika ke tingkat tertinggi dalam satu abad terakhir. Bahkan JPMorgan Chase & Co. meningkatkan proyeksi kemungkinan resesi menjadi 60 persen, baik secara domestik maupun global.

Menghadapi Sentimen Pasar

Namun Miran tetap menolak narasi resesi yang dibentuk oleh sebagian pelaku pasar dan lembaga keuangan. Ia tidak memberikan angka pasti, tetapi menjelaskan bahwa “with imports just 14% of the economy, you really have to think of really, really huge — really enormous changes — sort of shaking through those things to get to the place where you think a recession is likely as a result of something like this.” Dengan kata lain, dampak langsung tarif terhadap keseluruhan ekonomi Amerika dipandang relatif kecil dalam konteks makro.

Menurutnya, terlalu banyak perhatian diberikan pada respons pasar jangka pendek, dan tidak cukup pada arah kebijakan pro-pertumbuhan jangka panjang. Pemerintahan saat ini, lanjutnya, telah mengarahkan fokus pada dua elemen utama yaitu deregulasi dan reformasi pajak. Deregulasi diharapkan meringankan beban bagi dunia usaha dan menciptakan lingkungan yang lebih ramah investasi. Sementara itu, paket pemotongan pajak yang sedang dibahas di Kongres ditujukan untuk memperkuat daya beli rumah tangga dan mendorong ekspansi sektor swasta.

Miran menyebut bahwa keseluruhan program kebijakan Trump saat ini sedang menciptakan sebuah “economic boom” yang pada waktunya akan mengembalikan kepercayaan pasar. “There is too much focus from what is going on right now and not enough focus on the pro-growth policies,” tegasnya. Hal ini mencerminkan visi jangka panjang yang bertumpu pada transformasi struktural, bukan hanya stimulus sesaat.

Ekonomi Amerika

Laporan pekerjaan Maret pun mengindikasikan pergeseran penting dalam struktur penciptaan lapangan kerja. Hampir 75 persen dari lapangan kerja selama dua tahun terakhir pemerintahan sebelumnya berasal dari sektor publik atau yang didorong oleh belanja pemerintah. Namun kini, sektor swasta mulai mengambil alih peran utama dalam penciptaan pekerjaan. Miran menyebutkan bahwa hanya sekitar 40 persen dari pekerjaan baru berasal dari sektor publik, mencerminkan kebangkitan mesin pertumbuhan yang lebih mandiri dan berkelanjutan.

Pro-Pertumbuhan dan Deregulasi

Ketika ditanya mengenai peran The Federal Reserve, Miran tidak secara eksplisit memberikan saran kebijakan, tetapi ia menyoroti fakta bahwa pada 2018 dan 2019—di masa kebijakan tarif juga diberlakukan—tidak terjadi inflasi yang signifikan. Bahkan, The Fed saat itu memilih untuk menurunkan suku bunga. Perbedaannya sekarang terletak pada skala dan cakupan kebijakan, namun pendekatannya tetap serupa yaitu mendorong produksi domestik dan memperkuat daya saing industri lokal.

Salah satu argumen utama yang diangkat oleh Miran adalah bahwa harga tinggi—yang menjadi perhatian utama The Fed dalam mengendalikan inflasi—dapat diatasi melalui peningkatan pasokan. “If prices are high because there’s not enough of something, the answer is to make more of it,” ujarnya. Solusinya bukan membatasi permintaan, tetapi memperluas kapasitas produksi melalui iklim investasi yang kondusif. Inilah alasan mengapa deregulasi dan reformasi pajak menjadi dua pilar utama dalam kerangka kebijakan ekonomi Gedung Putih.

Namun, seperti diakui Miran, kebijakan tersebut memerlukan waktu untuk membuahkan hasil. Proses pelonggaran regulasi harus melalui tahapan hukum dan administratif yang kompleks. Begitu juga dengan legislasi perpajakan yang membutuhkan dukungan dari Kongres. Oleh karena itu, volatilitas pasar dalam jangka pendek dianggap sebagai harga yang harus dibayar demi stabilitas dan pertumbuhan jangka panjang.

Volatilitas ini juga menyebabkan perusahaan-perusahaan besar menunda IPO mereka, menunggu pasar stabil sebelum masuk ke bursa. Namun pemerintah tetap percaya bahwa fundamental ekonomi Amerika sedang diperkuat. Salah satunya adalah potensi peningkatan pendapatan negara dari tarif yang bisa digunakan untuk memperluas pemotongan pajak 2017 dan memberikan insentif fiskal tambahan.

Dalam konteks perdagangan internasional, Miran menekankan prinsip dasar ekonomi bahwa beban tarif cenderung ditanggung oleh pihak yang kurang fleksibel. “In economic theory, the burden of a policy is typically borne by the party who is least flexible,” jelasnya. Konsumen Amerika relatif fleksibel karena dapat beralih ke produk lain atau membeli barang dalam negeri. Sebaliknya, produsen asing seperti di Tiongkok, yang telah berinvestasi dalam fasilitas produksi dan pelatihan tenaga kerja, memiliki lebih sedikit pilihan. Ini berarti bahwa dalam jangka panjang, negara eksportir akan menanggung beban tarif, baik melalui depresiasi mata uang, pemangkasan harga, atau pengurangan keuntungan.

Meskipun dampak jangka pendek dari kebijakan ini menciptakan ketidakpastian, pemerintah percaya bahwa strategi ini akan menciptakan kondisi ideal bagi pertumbuhan jangka panjang, lingkungan bisnis yang lebih bebas dari regulasi berlebihan, sistem perpajakan yang mendukung investasi, serta pasar tenaga kerja yang lebih produktif.

Pada akhirnya, esensi dari seluruh pendekatan ini adalah keyakinan bahwa kekuatan ekonomi Amerika terletak pada sektor swasta dan kemampuan inovatif masyarakatnya. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator—menghapus hambatan, menyederhanakan sistem, dan memberikan ruang bagi perusahaan untuk berkembang.

Pandangan Miran dan Gedung Putih secara umum, narasi resesi yang digaungkan sebagian analis adalah refleksi dari ketakutan jangka pendek, bukan hasil dari penilaian fundamental ekonomi yang sebenarnya. Jika kebijakan ini dijalankan secara konsisten, mereka percaya bahwa hasilnya akan berbicara sendiri dalam waktu dekat dengan lebih banyak investasi, lebih banyak pekerjaan, harga yang lebih stabil, dan daya saing global yang meningkat.

Bagaimana dengan Indonesia?

Dalam menghadapi kebijakan ekonomi agresif yang ditempuh Amerika Serikat di bawah pemerintahan Trump, Indonesia harus cermat dalam menyusun respons, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kebijakan tarif tinggi yang menimbulkan gejolak di pasar global dan dibela oleh Chief White House Economist Stephen Miran sebagai strategi pro-pertumbuhan, mengandung pelajaran penting bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Bukan sekadar menahan dampak luar, melainkan juga mengantisipasi arah perubahan arsitektur ekonomi global.

Jangka pendek, langkah paling krusial bagi Indonesia adalah menjaga stabilitas ekonomi domestik. Ketika pasar keuangan global mengalami volatilitas akibat ketegangan perdagangan dan kekhawatiran resesi, Indonesia harus bersiap menghadapi potensi arus keluar modal asing, tekanan pada nilai tukar, serta gangguan di pasar ekspor. Intervensi Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas rupiah, penyediaan likuiditas, dan penguatan cadangan devisa menjadi benteng utama. Pada saat yang sama, pemerintah perlu bersikap adaptif dalam kebijakan perdagangan luar negeri. Jika pasar Amerika mulai menutup diri terhadap barang-barang tertentu, sementara Tiongkok dan negara eksportir lain mencari pasar baru, maka struktur perdagangan kawasan bisa bergeser secara tiba-tiba. Indonesia harus sigap memanfaatkan peluang ekspor baru sembari mewaspadai lonjakan barang impor murah yang dapat mengganggu industri domestik.

Namun, lebih dari sekadar respons taktis, Indonesia juga perlu memikirkan ulang strategi ekonominya dalam jangka panjang. Visi kebijakan Trump—yang diklaim oleh Miran sebagai upaya memulihkan daya saing jangka panjang melalui deregulasi dan reformasi pajak—sebenarnya menegaskan arah global menuju reindustrialisasi dan kemandirian ekonomi. Indonesia, yang selama ini masih bergantung pada ekspor komoditas mentah dan konsumsi domestik, menghadapi tantangan serupa. Momentum ini dapat dijadikan sebagai pemicu untuk mempercepat transformasi struktural yaitu membangun industri manufaktur yang kuat, memperluas hilirisasi sumber daya alam, dan menciptakan ekosistem yang mendukung investasi sektor riil jangka panjang.

Kebijakan pro-pertumbuhan seperti yang didorong oleh Gedung Putih juga dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia untuk memperkuat basis domestiknya. Reformasi regulasi yang telah dimulai melalui Undang-Undang Cipta Kerja perlu dijalankan secara konsisten, tidak hanya untuk menarik investasi asing, tetapi juga untuk meningkatkan efisiensi ekonomi nasional. Selain itu, pembenahan sistem perpajakan—bukan hanya dari sisi tarif, tetapi juga kepastian hukum, administrasi yang transparan, dan insentif berbasis produktivitas—akan menjadi fondasi penting bagi pembangunan jangka panjang.

Pelajaran lain yang patut dicermati adalah pentingnya membangun kekuatan permintaan domestik. Dalam penilaiannya terhadap ekonomi Amerika, Miran menekankan bahwa hanya 14 persen dari PDB berasal dari impor, mencerminkan ketergantungan yang rendah terhadap pasar luar. Indonesia perlu memperkuat kelas menengahnya, memperluas akses terhadap pembiayaan bagi UMKM, dan menciptakan jaringan logistik nasional yang efisien agar konsumsi masyarakat tidak terhambat oleh disparitas harga dan keterbatasan akses.

Dunia yang kian multipolar secara ekonomi, Indonesia juga perlu memperkuat posisi tawarnya di panggung internasional. Ketika negara-negara besar mulai menutup diri dan bersaing untuk memperluas pengaruh ekonomi mereka, Indonesia harus memainkan peran strategis dalam berbagai forum perdagangan regional maupun global. Keberhasilan Indonesia bukan hanya ditentukan oleh kemampuan bertahan dari guncangan luar, tetapi juga oleh kapasitasnya untuk menjadikan krisis sebagai kesempatan menyusun ulang peta jalan pembangunan ekonomi.

Dengan menggabungkan ketahanan jangka pendek dan reformasi jangka panjang, Indonesia bisa memosisikan dirinya tidak hanya sebagai penonton dari perubahan besar yang sedang terjadi, tetapi sebagai pemain aktif yang menentukan arah masa depan ekonominya sendiri.