Menakar Dampak Tarif Amerika bagi Indonesia

Jadi, secara relatif, posisi Indonesia masih aman. Indonesia mungkin adalah salah satu negara yang paling menarik di dunia. Bukan karena kita tampil luar biasa, tapi karena negara-negara lain sedang bermasalah. Dunia saat ini sedang kacau, dan Indonesia terlihat cukup stabil di tengah kekacauan itu. Investor global tidak mencari negara yang sempurna—karena itu tidak ada. Mereka mencari tempat yang memberikan imbal hasil relatif lebih baik.

670
Resiliensi Ekonomi Indonesia

(Vibiznews – Kolom) Kalau dilihat dari konsep ekonomi, kebijakan tarif yang bervariasi seperti yang diterapkan sekarang—misalnya 32% untuk Indonesia, bahkan lebih tinggi untuk Cina—itu memiliki implikasi besar. Dampaknya akan dirasakan oleh konsumen di Amerika Serikat. Ini karena sekitar 52% dari produk di Amerika menggunakan bahan baku dan barang modal yang berasal dari impor. Jadi, bayangkan jika barang-barang itu dikenakan bea masuk yang tinggi. Tentu saja, ekonomi Amerika sendiri akan terkena dampaknya. Maka, secara rasional, timbul pertanyaan, untuk apa kebijakan ini dilakukan? Bagaimana mungkin ada kebijakan yang justru melukai rakyatnya sendiri?

Namun, kita juga perlu melihat kebijakan ini dalam konteks bargaining game, atau permainan tawar-menawar dalam game theory. Presiden Trump menggunakan kebijakan dagang sebagai alat negosiasi. Istilahnya adalah weaponized trade—perdagangan yang dijadikan senjata. Jadi dalam konteks ini, tujuannya bukan semata-mata pada tarif itu sendiri, melainkan bagaimana menciptakan tekanan agar negosiasi bisa terjadi sesuai dengan keinginan mereka.

Ada alasan di balik pendekatan ini. Jika kita lihat pernyataan dari USTR (United States Trade Representative) atau dari Gedung Putih, salah satu alasan utama penerapan tarif resiprokal adalah karena Amerika mengalami defisit perdagangan yang besar. Defisit ini dianggap melemahkan industri manufaktur di Amerika, dan lebih jauh lagi, menciptakan ketergantungan yang tinggi terhadap negara lain, termasuk dalam hal industri pertahanan. Dalam sudut pandang mereka, kondisi ini adalah ancaman nasional.

Narasi ini yang kemudian dijual ke publik, dan kenyataannya memang cukup populer. Dengan menerapkan tarif resiprokal, Amerika berhasil memaksa banyak negara untuk datang dan bernegosiasi, sejauh itu, strategi ini cukup berhasil. Sebagai contoh, hampir semua negara ASEAN mengirimkan delegasi atau menjalin komunikasi langsung untuk bernegosiasi dengan Amerika.

Asean Tidak Retaliasi

Dilihat dari perhitungan yang rasional, jika Amerika benar-benar menerapkan bea masuk sebesar 145% untuk produk dari Cina. Dalam kondisi seperti itu, hampir mustahil produk-produk tersebut bisa dibeli di pasar Amerika. Misalnya, jika harga awal suatu barang adalah 100, maka dengan tarif 145%, harganya melonjak menjadi 245. Dengan kenaikan sebesar itu, tentu saja tidak ada konsumen yang sanggup membeli.

Apa implikasinya? Akan terjadi kekurangan stok barang dalam waktu tiga bulan. Ketika kelangkaan terjadi, masyarakat tentu akan mulai memprotes dan menuntut perubahan kebijakan.

Saat ini, perdebatan terbuka sudah terjadi antara dua tokoh penting yang dekat dengan Presiden Trump yaitu Elon Musk dan Peter Navarro. Navarro menuduh Elon Musk memiliki konflik kepentingan, karena kenaikan tarif tersebut mengganggu produksi Tesla. Ini menunjukkan bahwa kebijakan tarif bisa memunculkan dinamika politik yang kompleks di Amerika Serikat.

Retaliasi dari Cina masuk dalam perhitungan Presiden Trump atau tidak, tapi yang jelas, retaliasi semacam ini sangat berbahaya. Kalau kita melihat ke belakang, sejarah menunjukkan bahwa Depresi Besar tahun 1930 terjadi karena negara-negara saling membalas dengan kebijakan proteksionis. Hasilnya adalah perdagangan global menurun drastis, ekspor semua negara anjlok, pendapatan nasional merosot, dan akhirnya menciptakan spiral penurunan (downward spiral).

Dalam situasi seperti itu, investasi turun, konsumsi turun, dan masyarakat kehilangan harapan. Ketika tidak ada harapan, tidak ada yang mau berinvestasi lagi. Itulah yang menjelaskan kenapa Depresi Besar bisa terjadi.

Kabar baiknya, sebagian besar negara ASEAN tampaknya tidak mengambil jalan retaliasi. Dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN, dan ASEAN tidak membalas dengan tindakan proteksionis serupa. Perdana Menteri Singapura pun langsung merespons dengan cepat dan menyatakan bahwa mereka tidak akan melakukan retaliasi.

Bargaining Game

Kalau kita bicara soal perang dagang antara Amerika dan Cina, di mana kedua belah pihak saling membalas kebijakan satu sama lain, lalu kemudian semalam—kita bicara sekarang pada hari Kamis, 10 April—pemerintah Amerika Serikat mengumumkan semacam pause selama 90 hari. Pertanyaannya, apakah ini bisa dilihat sebagai tanda Trump menyerah? Atau setidaknya mulai melunak karena adanya konsentrasi tekanan dari Cina yang terus melakukan balasan?

Amerika Indonesia China

Sekali lagi, kita tidak pernah tahu kartu apa yang akan dimainkan oleh Trump. Ini semua adalah bagian dari strategi bargaining. Dalam konsep bargaining game, pihak yang cenderung menang adalah mereka yang punya less to lose—yang tidak terlalu takut kalah. Justru karena tidak takut kalah itulah mereka lebih fleksibel dan punya ruang gerak lebih luas dalam bernegosiasi.

Kita juga tidak tahu persis strategi Trump, tetapi mungkin bahwa keputusan tersebut bisa saja dipengaruhi oleh reaksi dari pasar keuangan di Amerika. Salah satu indikasi adalah penurunan harga obligasi, yang menunjukkan bahwa reaksi Wall Street terhadap ketegangan ini sangat kuat. Perlu diingat, sektor keuangan di Amerika punya kekuatan politik yang sangat besar, sehingga tekanan dari sektor ini mungkin turut mendorong Trump untuk menahan diri.

Mengenai isu trade balance atau neraca perdagangan, pertanyaan utamanya adalah, apakah kebijakan Trump yang mengedepankan tarif resiprokal ini benar-benar bisa menyelesaikan masalah defisit perdagangan?

Menurut perhitungan ilmu ekonomi, tidak. Karena defisit perdagangan itu pada dasarnya terjadi ketika nilai impor lebih besar dari ekspor. Kenapa bisa begitu? Karena produksi dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik, sehingga sisanya harus diimpor. Maka solusinya hanya ada dua yaitu tingkatkan produksi, atau kurangi konsumsi.

Kalau kita ingin meningkatkan produksi, maka investasi harus naik. Dan agar investasi bisa naik, kita butuh pembiayaan, yang berarti kita butuh tabungan nasional yang cukup. Tapi apa yang terjadi sekarang? Trump justru menaikkan defisit anggaran, salah satunya dengan memotong pajak. Akibatnya, tabungan nasional menurun karena pengeluaran negara melebihi pendapatan. Ini menciptakan selisih yang makin besar antara kebutuhan investasi dan ketersediaan tabungan.

Implikasinya? Defisit neraca perdagangan justru akan semakin besar. Dan jika itu kemudian coba diatasi dengan tarif impor yang tinggi, maka efek berikutnya adalah inflasi. Harga barang-barang akan naik karena bahan baku dan produk impor jadi lebih mahal. Kalau inflasi naik, The Fed terpaksa menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi.

Tapi jika suku bunga dinaikkan, nilai tukar dolar AS akan menguat terhadap mata uang lain. Apresiasi dolar ini akan menyebabkan barang ekspor Amerika jadi lebih mahal di pasar global, sementara impor jadi lebih murah. Hasil akhirnya, defisit perdagangan makin memburuk—padahal itu justru masalah yang ingin diatasi sejak awal.

Jadi dalam konteks ini, kebijakan tarif justru berpotensi menciptakan efek yang berlawanan dengan tujuan awalnya. Itulah sebabnya kebijakan ini tidak bisa dijelaskan secara sederhana melalui teori ekonomi konvensional. Namun yang lebih masuk akal adalah melihatnya sebagai bagian dari bargaining game.

Trump menggunakan tarif sebagai kartu tawar. Ini yang dalam teori disebut sebagai bargaining by escalation. Dia menaruh beberapa kartu di atas meja, menunggu respons dari negara lain, dan memosisikan diri agar pihak lawan datang untuk bernegosiasi.

Kita akan melihat bahwa proses ini tidak akan selesai dalam waktu dekat. Negosiasinya akan berlangsung panjang, dan strategi yang digunakan bisa berubah tergantung pada dinamika politik dan ekonomi, baik di dalam negeri Amerika maupun secara global.

Pengaruh Terhadap Pasar Modal

Mengenai apa yang terjadi pasar modal, penjelasannya sebenarnya berkaitan dengan kekhawatiran utama para pelaku pasar adalah risiko terjadinya perang dagang secara luas. Kalau Amerika menaikkan tarif, kemudian Cina membalas dengan tarif juga, lalu Uni Eropa melakukan hal yang sama, dan negara-negara ASEAN ikut-ikutan, maka hasil akhirnya adalah perdagangan global bisa runtuh.

Kalau perdagangan global runtuh, ekspor dari berbagai negara akan turun drastis. Ketika ekspor turun, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (GDP) juga akan melambat. Dan kalau pertumbuhan GDP melambat, maka investasi ikut turun, konsumsi rumah tangga juga melemah, dan pada akhirnya ekonomi global bisa masuk ke dalam jurang resesi.

Pelaku pasar keuangan tentu tidak akan menunggu sampai semua itu terjadi secara riil. Mereka berpikir jauh ke depan. Mereka tahu bahwa pasar finansial bekerja dengan memperkirakan kondisi 6 bulan ke depan, jauh sebelum dampaknya terasa di sektor riil. Maka begitu melihat sinyal perang dagang, reaksi langsung mereka adalah menjual aset-aset yang berisiko, terutama saham.

Baca juga : Prospek Keuntungan Emas Saat Perang Dagang AS-Tiongkok

Karena itulah kita melihat pasar saham global langsung anjlok. Investor tidak mau ambil risiko. Mereka menjual saham karena memperkirakan bahwa kinerja perusahaan-perusahaan akan terdampak. Begitu juga dengan mata uang berbagai negara yang ikut melemah. Semua itu adalah cerminan dari kekhawatiran akan pelemahan ekonomi global akibat potensi terjadinya perang dagang yang berkepanjangan.

Posisi Indonesia di Tengah Perang Dagang

Investor, apalagi yang global, paham betul apa yang sedang terjadi di suatu negara. Kita tidak bisa datang dengan narasi bahwa semuanya akan baik-baik saja, karena mereka bisa membaca data, mengikuti tren, dan memahami risiko. Maka, ketika pasar saham di berbagai negara turun, termasuk Indonesia, itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Mereka akan melakukan penyesuaian sebelum dampak ekonomi riil benar-benar terasa.

Namun dampaknya terhadap Indonesia itu relatif terbatas. Apa maksudnya “relatif terbatas”? Misalnya, baseline pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 5%. Ketika ada kebijakan tarif resiprokal dari Trump, maka perdagangan global akan melambat. Dampaknya, ekspor kita akan turun. Kalau ekspor turun, maka investasi akan turun. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi atau GDP growth juga akan ikut menurun.

Tapi mari kita lihat sumbernya, yaitu ekspor. Analogi yang mudah dipahami, walaupun harapannya tidak terjadi adalah dalam hal perbutan piala Thomas Cup di Bulutangkis. Cara terbaik agar tidak kalah di Thomas Cup adalah tidak ikut pertandingan. Itu jaminan 100%. Nah, cara terbaik agar tidak terkena dampak negatif dari gejolak ekonomi global adalah tidak terlalu terintegrasi dengan ekonomi global.

Negara yang semakin terintegrasi dengan perdagangan global akan lebih terpukul ketika perang dagang terjadi. Contohnya, rasio ekspor terhadap GDP di Singapura mencapai 180%, di Vietnam 78%, sementara di Indonesia hanya sekitar 25%. Dan dari total ekspor kita, hanya 10% yang ditujukan ke Amerika Serikat. Artinya, hanya sekitar 2,5% dari GDP kita yang berkaitan langsung dengan ekspor ke Amerika.

Jadi, bisa dibayangkan bahwa dampaknya terhadap Indonesia memang relatif kecil. Bahkan, Bank Dunia sempat memperkirakan bahwa efek dari kebijakan ini hanya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 0,5%. Tidak mengherankan kalau Singapura tahun ini pertumbuhan ekonominya justru lebih rendah dari Indonesia. Mereka sebelumnya menargetkan pertumbuhan 1% sampai 3%, dan angka terakhir menunjukkan sekitar 2,8%. Sementara itu, Indonesia mungkin masih bisa tumbuh di sekitar 4,5%. Tentu kita tetap harus waspada terhadap efek dari perlambatan ekonomi di Tiongkok, karena itu bisa berdampak tidak langsung.

Jadi, secara relatif, posisi Indonesia masih aman. Indonesia mungkin adalah salah satu negara yang paling menarik di dunia. Bukan karena kita tampil luar biasa, tapi karena negara-negara lain sedang bermasalah. Dunia saat ini sedang kacau, dan Indonesia terlihat cukup stabil di tengah kekacauan itu. Investor global tidak mencari negara yang sempurna—karena itu tidak ada. Mereka mencari tempat yang memberikan imbal hasil relatif lebih baik.

Dan satu hal penting, imbal hasil atau return itu hanya bisa dicapai kalau ada kepastian regulasi. Maka dari itu, kebijakan deregulasi yang dijalankan pemerintah menjadi sangat penting. Kalau disederhanakan, alasan mengapa kebijakan tarif Trump tidak berdampak terlalu besar bagi Indonesia adalah karena ekspor kita ke Amerika tidak besar. Kita tidak tergantung secara vital terhadap pasar Amerika, tidak seperti Singapura atau Vietnam. Jadi, dalam konteks ini, meskipun bukan situasi ideal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kondisi kita bisa disebut sebagai blessing in disguise. Pemerintah telah memberikan respons kebijakan yang baik—dan selain itu, kita juga cukup beruntung. Jadi posisi Indonesia saat ini sebagai kombinasi keberuntungan dan respons pemerintah yang baik.