Kesepakatan Trump – Starmer 2025 : Sinyal Baru untuk Arah Tarif Global?

308
source : Wikimedia Commons

(Vibiznews – Economy & Business) Dunia menyaksikan momen historis ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer mengumumkan kesepakatan dagang bilateral baru antara kedua negara. Pengumuman ini, yang bertepatan dengan peringatan 80 tahun Hari Kemenangan di Eropa (VE Day), tidak hanya membawa makna simbolis, tetapi juga menandai upaya strategis kedua negara dalam menghadapi dinamika global yang semakin kompleks dan multipolar.

Makna Simbolik: Diplomasi yang Dikemas Sejarah

Pemilihan tanggal pengumuman pada VE Day bukanlah kebetulan. Hari tersebut merupakan pengingat atas aliansi historis AS dan Inggris dalam memenangkan Perang Dunia II. Kini, dalam konteks yang sangat berbeda yakni perang dagang, ketegangan geopolitik, dan era pasca-Brexit, Dimana kedua negara kembali berupaya menegaskan relasi “istimewa” (special relationship) yang telah menjadi fondasi diplomasi trans-Atlantik selama lebih dari satu abad.

Bagi Presiden Trump, yang tengah menghadapi kritik atas proteksionismenya, kesepakatan ini memberikan narasi alternatif: pendekatan bilateral yang “adil namun tegas.” Sementara bagi PM Starmer, yang tengah mencari arah baru bagi Inggris pasca-Brexit, perjanjian ini adalah sinyal bahwa London masih mampu menjalin kemitraan strategis di luar Uni Eropa.

Isi Kesepakatan: Parsial Tapi Signifikan

Secara garis besar, kesepakatan ini memberikan dua hal utama:

  1. Keringanan tarif untuk barang tertentu dari Inggris (terutama mobil mewah dan baja)
  2. Peningkatan akses pasar untuk produk-produk Amerika di Inggris, terutama sektor pertanian dan manufaktur.

Namun, sebagian besar barang dari Inggris tetap akan dikenakan tarif dasar sebesar 10%. Ini adalah sinyal kuat bahwa kebijakan tarif Trump bersifat jangka panjang dan menyeluruh, bukan hanya taktik sementara dalam negosiasi dagang.

Meski disebut sebagai “komprehensif,” kesepakatan ini tidak mencapai level perjanjian perdagangan bebas  Free Trade Agreement (FTA) seperti yang dimiliki AS dengan Kanada atau Meksiko. Kesepakatan berupa kerangka Memorandum of Understanding (MoU). Namun, di dalamnya terdapat beberapa elemen kunci:

  • Baja dan Aluminium: AS menghapus tarif 25% untuk baja dan aluminium dari Inggris—langkah yang sangat membantu industri seperti British Steel yang sebelumnya tertekan oleh kebijakan tarif Trump sejak 2018.
  • Otomotif: Salah satu bagian paling mencolok dari kesepakatan ini adalah pelonggaran tarif terhadap mobil mewah asal Inggris. Trump menurunkan tarif dari 25% menjadi 10% untuk kuota 100.000 mobil pertama yang masuk ke pasar AS setiap tahun. Merek seperti Rolls-Royce dan Aston Martin disebut secara eksplisit oleh Trump dalam pidatonya, menunjukkan perhatian khusus terhadap sektor otomotif mewah sebagai simbol prestise dan gaya hidup. Keputusan ini tampaknya lebih bersifat simbolik daripada substansial secara ekonomi. Impor mobil mewah Inggris ke AS jumlahnya kecil secara volume, meskipun bernilai tinggi. Namun, secara geopolitik, ini menjadi sinyal bahwa AS bersedia memberi kelonggaran kepada sekutu utamanya selama mereka bersedia membuka pasarnya untuk produk Amerika. Bagi konsumen AS kelas atas, ini bisa berarti harga lebih murah untuk mobil mewah Inggris dalam batas kuota yang ditentukan. Merek-merek seperti Aston Martin dan Rolls-Royce mendapat keuntungan langsung, meskipun volume impornya relatif kecil secara agregat.
  • Pertanian dan Etanol: AS mendapatkan akses pasar lebih besar untuk daging sapi dan etanol, sementara Inggris memperoleh kuota bebas tarif sebesar 13.000 ton untuk ekspor daging sapinya.
  • Dirgantara dan Pengadaan Pemerintah: Kerja sama diperluas di sektor teknologi tinggi ini, termasuk kemungkinan pembelian pesawat Boeing oleh maskapai Inggris senilai $10 miliar.

Namun, masih banyak sektor penting yang belum tersentuh, seperti jasa keuangan, hak kekayaan intelektual, dan pajak layanan digital Inggris sebesar 2% terhadap raksasa teknologi AS.

Reaksi Pasar dan Langkah Selanjutnya

Pasar menyambut positif pengumuman ini. Hingga tengah hari Kamis waktu New York, indeks S&P 500 naik hampir 1%, karena investor berharap kesepakatan ini dapat menjadi awal dari pelonggaran tarif secara lebih luas. Namun, banyak analis tetap berhati-hati, mencatat bahwa cakupan kesepakatan ini masih sempit dan kecil kemungkinan bisa dengan mudah direplikasi terhadap negara-negara seperti China  atau Uni Eropa.

Sementara AS mencatat surplus perdagangan barang dengan Inggris sebesar $11,9 miliar pada 2024, Inggris sendiri jauh lebih bergantung pada pasar Amerika. AS adalah mitra dagang terbesar Inggris tahun lalu, meskipun sebagian besar perdagangan itu berupa jasa, bukan barang.

Negosiasi dimulai sejak pemerintahan Trump pada 2020, terhenti selama masa jabatan Biden, dan dihidupkan kembali setelah Trump kembali menjabat pada Januari lalu. Pembicaraan semakin dipercepat dalam beberapa pekan terakhir dan berpuncak pada pengumuman hari Kamis kemarin.

Starmer, yang juga tengah mengejar kesepakatan perdagangan dengan India dan memperbaiki hubungan dagang dengan Uni Eropa, menyebut kesepakatan ini sebagai “baru permulaan.”

Inggris Menyeimbangkan AS dan Uni Eropa ( UE)

Bagi Inggris, kesepakatan ini adalah bagian dari strategi jangka panjang untuk menjaga relevansi ekonominya di tengah tekanan Brexit dan fragmentasi sistem perdagangan global. Dengan mempererat hubungan dengan AS, Starmer juga berharap bisa memperkuat posisi Inggris dalam negosiasi yang lebih besar, termasuk dengan India dan Uni Eropa. Namun tanpa sektor jasa keuangan yang menyumbang lebih dari 40% ekspor jasa Inggris,  kesepakatan ini belum bisa dikatakan sukses penuh.

Di sisi lain, AS memanfaatkan kesepakatan ini untuk mengirim sinyal kepada mitra dagang lain. Pesannya jelas: negara-negara yang ingin mendapatkan perlakuan tarif preferensial harus bersedia membuka pasar mereka untuk produk AS dan menunjukkan kesetiaan politik. Ini menjadi alat tekanan baru terhadap China, Meksiko, bahkan Uni Eropa.

Apakah Ini Template Baru untuk Perdagangan Global?

Kesepakatan ini menunjukkan tren baru: bilateralitas yang bersifat selektif dan politis, menggantikan pendekatan multilateral berbasis World Trade Organization  (WTO) yang makin kehilangan pengaruh. Dalam kondisi dunia yang masih dibayangi ketegangan geopolitik, perang dagang, serta perang di Ukraina dan Timur Tengah, kesepakatan seperti ini bisa menjadi model dominan, meskipun berisiko memperdalam fragmentasi sistem perdagangan global.

Kesepakatan dagang ini bukanlah terobosan besar dalam skala global, namun sangat signifikan secara simbolis dan politis. Di tengah kebijakan dagang yang kian proteksionis, kesepakatan ini menunjukkan:

  • Komitmen AS terhadap kebijakan tarif permanen sebagai alat negosiasi.
  • Kesiapan Inggris membuka pasar demi menyelamatkan sektor industrinya dan memperluas hubungan global pasca-Brexit.

Bagi pasar global, kesepakatan ini memberi sinyal bahwa AS tetap menjadi mitra dagang yang kuat,  sementara Inggris menunjukkan fleksibilitas tinggi untuk menjaga relevansi ekonominya.

Kesepakatan ini menandai langkah diplomatik penting antara dua sekutu utama, namun dalam konteks ekonomi makro global, dampaknya masih terbatas. Tarif dasar 10% menjadi semacam norma baru yang justru menunjukkan pendekatan proteksionis yang tetap kuat di bawah Trump.  Sementara itu, Inggris yang sejak Brexit mencari mitra dagang di luar Uni Eropa, menjadikan kesepakatan ini sebagai sinyal kemampuannya menjalin hubungan strategis.