(Vibiznews-Kolom) Tak ada yang melupakan kelamnya krisis moneter Indonesia 1998, ketika kepercayaan terhadap sektor perbankan runtuh. Bank-bank diserbu nasabah, antrian panjang menghiasi kantor cabang, dan banyak yang gagal menarik dananya. Runtuhnya kepercayaan terhadap sistem keuangan nyaris membenamkan seluruh fondasi perekonomian nasional. Di tengah kekacauan itu, hanya sedikit institusi keuangan yang berhasil bertahan—apalagi pulih dan berkembang. Salah satunya adalah PT Bank Central Asia Tbk (BCA).
BCA tak hanya selamat dari krisis. Ia bangkit dengan cepat dan menjelma menjadi salah satu bank swasta terbesar di Asia Tenggara, melampaui bahkan Bank DBS Singapura dalam kapitalisasi pasar. Pada Tahun 2025, nilai kapitalisasi BCA mencapai 75 miliar dolar AS, meninggalkan DBS yang berada di angka 60 miliar dolar. Sebuah capaian luar biasa, terutama jika melihat bahwa pada akhir 1990-an, BCA sempat menjadi pasien BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), dan beberapa cabangnya menjadi sasaran amuk massa.
Namun cerita ini bukan tentang keajaiban instan. Di baliknya ada kepemimpinan yang sabar, berani, dan adaptif. Jahja Setiaatmadja, figur sentral BCA sejak 1990, menjadi saksi sekaligus arsitek dari transformasi bank ini. Ia bergabung sebagai wakil kepala divisi, naik menjadi direktur keuangan pada 1999, lalu menjabat sebagai presiden direktur selama 14 tahun, dan akhirnya menjadi presiden komisaris sejak 2025.
Dalam sebuah wawancara panjang dengan Prof Rhenald Kasali, Jahja membuka kisahnya. Ia tak datang dari latar belakang glamor. Di awal kariernya, ia bahkan menyambi menyewakan kaset video keliling demi tambahan penghasilan. Tapi dari sanalah ia belajar tentang pentingnya jaringan, pendekatan humanis, dan seni membaca kebutuhan pasar. “Ilmu itu penting, tapi networking bisa jadi 70% dari keberhasilan,” ucapnya.
Salah satu filosofi penting yang ia pegang selama di BCA adalah pentingnya kolaborasi dan empati dalam kepemimpinan. “Saya tidak percaya Superman, tapi saya percaya pada Superteam,” ungkapnya. Dalam sebuah tim, keahlian berbeda harus saling melengkapi, bukan menjatuhkan satu sama lain. Konsep ini menjadi dasar dari seluruh transformasi digital dan layanan pelanggan BCA, termasuk saat bank ini beralih dari bank antri-menabung menjadi penyedia solusi transaksi digital yang cepat dan ringan.
Transformasi digital BCA dilakukan bertahap. Dari ATM, lalu kartu debit, internet banking, mobile banking, hingga sekarang BCA Digital. Bukan hanya menyediakan fitur mutakhir, tapi juga memastikan pengalaman pelanggan tetap nyaman dan manusiawi. “Teknologi boleh canggih, tapi tetap perlu sentuhan manusia,” kata Jahja, mengingatkan bahwa industri jasa tak bisa sepenuhnya didelegasikan pada robot dan sistem otomatisasi. Bahkan, satpam di cabang BCA dilatih untuk menyambut dan mengarahkan nasabah dengan ramah. Bagi BCA, pelayanan bukan hanya transaksi—tapi juga edukasi pasar.
Salah satu keunggulan BCA yang membedakannya dari bank lain adalah keberhasilannya mengelola dana murah (low-cost funding). Alih-alih bersaing dalam suku bunga tabungan, BCA mengubah paradigma bahwa tabungan bukan untuk mendapat bunga tinggi, melainkan untuk mempermudah transaksi. Strategi ini membuat BCA memiliki likuiditas tinggi dan biaya dana rendah—dua faktor yang memungkinkannya menyalurkan kredit dengan harga bersaing namun tetap selektif dalam risiko.
Jahja menyadari bahwa keberhasilan jangka panjang tak mungkin diraih tanpa adaptasi. “Agility, itu kuncinya,” ujarnya. Dalam kondisi yang terus berubah—baik karena teknologi, regulasi, atau gejolak global—sebuah perusahaan harus tangkas menyesuaikan diri, bahkan jika itu berarti mengubah target dan strategi dalam hitungan bulan. “Kalau keadaan berubah dan kita tidak berubah, kita yang akan dilibas,” katanya.
Namun ketangkasan saja tidak cukup. Ia menekankan pentingnya kesabaran dalam meniti karier. Ia sendiri butuh lima tahun sebelum naik jabatan setelah masuk BCA—meskipun awalnya dijanjikan promosi dalam setahun. Tapi waktu itu digunakan untuk belajar dan memahami kultur perusahaan serta industri perbankan dari sisi internal. “Kalau saya anak muda yang tidak sabar, mungkin saya sudah pergi,” katanya. Ia percaya bahwa kerja keras, loyalitas, dan kemampuan menangkap peluang adalah kombinasi yang akan dihargai dalam jangka panjang.
BCA juga berhasil menjaga kesinambungan kepemimpinan. Tidak seperti beberapa BUMN yang pergantian pucuk pimpinannya terlalu cepat dan bersifat politis, BCA memberikan waktu bagi pemimpin untuk tumbuh, membangun kepercayaan tim, dan mengeksekusi visi jangka panjang. “Satu hal yang sulit dicapai adalah wisdom. Itu tidak bisa dibeli, tidak ada bukunya. Harus dipraktikkan dan ditempa waktu,” ujar Jahja.
Dalam konteks global yang terus berubah, BCA tak hanya bersaing di dalam negeri. Ia mulai mengambil posisi strategis di kawasan ASEAN sebagai bank dengan reputasi unggul dalam efisiensi operasional, kekuatan teknologi digital, dan pendekatan nasabah yang komprehensif. Tidak ada gembar-gembor ekspansi agresif ke luar negeri, tapi BCA tahu di mana kekuatannya, memahami pasar domestik dengan sangat dalam, dan menjadikannya basis pertumbuhan yang solid.
Pengalaman pandemi COVID-19 menjadi momen penting lain dalam sejarah BCA. Banyak nasabah yang sebelumnya enggan menggunakan aplikasi digital terpaksa belajar karena kondisi. Tapi justru dari keterpaksaan itu, lahirlah adopsi yang meluas. BCA mengambil peran sebagai edukator pasar, mengenalkan teknologi dengan pendekatan yang bersahabat. Bukan fitur yang kompleks, melainkan solusi yang benar-benar digunakan. “Saya selalu bilang ke tim, jangan hanya bangga fitur kita banyak. Kalau nasabahnya nggak pakai, ya percuma,” ungkapnya.
Terkait tren anak muda yang terobsesi dengan FIRE (Financial Independence, Retire Early), Jahja mengingatkan agar berhati-hati. Ia tidak menentang impian mencapai kebebasan finansial, tapi mengkritisi semangat pensiun dini yang hanya berorientasi pada kesenangan pribadi. “Itu bukan salah, tapi kurang bijak. Kalau semua orang pensiun muda dan tidak berkontribusi, negara ini akan kehilangan energi produktifnya,” ujarnya. Menurutnya, bekerja adalah kehormatan, bukan sekadar sumber uang. Pekerjaan memberi makna dan martabat.
Dalam perspektif Jahja, uang bukan untuk ditumpuk demi foya-foya, tetapi untuk diputar agar bisa membuka lapangan kerja, membiayai kegiatan produktif, dan memberi kontribusi sosial. Profesionalisme dan kerja keras, katanya, tak harus identik dengan menjadi pengusaha. Bahkan dalam struktur perusahaan, seseorang bisa menciptakan dampak besar jika memimpin dengan hati, empati, dan ketekunan.
Kini, setelah menjabat sebagai presiden komisaris, Jahja menyerahkan tongkat estafet kepada penerusnya. Namun jejaknya tetap tertanam dalam kultur BCA, kerja kolektif, kesederhanaan, fokus pada pelanggan, dan kemampuan menavigasi perubahan tanpa kehilangan arah. Sebuah warisan kepemimpinan yang tidak hanya ditorehkan dalam angka kinerja, tapi juga dalam karakter dan cara pandang terhadap bisnis, karyawan, dan masyarakat.
BCA, yang dulu sempat dicemooh sebagai “Bank Capek Antri”, kini adalah simbol kepercayaan dan efisiensi. Perjalanannya menjadi cermin bagaimana krisis bisa melahirkan pembaruan, dan bagaimana institusi bisa tumbuh ketika dipimpin oleh orang-orang yang mengedepankan prinsip, bukan sekadar ambisi.



