Ekonomi Amerika Membaik, Apa Dampaknya bagi Indonesia?

Ekonomi Amerika memang menunjukkan tanda-tanda yang lebih baik dibandingkan sebelumnya. Risiko resesi menurun, lapangan kerja tumbuh, dan inflasi tidak seburuk yang dikhawatirkan. Namun, para ekonom masih belum bisa bernapas lega.

1004
Ekonomi Amerika

(Vibiznews-Kolom) Kondisi ekonomi Amerika Serikat ternyata tidak seburuk yang banyak orang khawatirkan. Berdasarkan survei terbaru yang dilakukan The Wall Street Journal terhadap 69 ekonom profesional dari berbagai institusi—mulai dari bank besar, universitas, hingga firma riset kecil—terlihat bahwa kekhawatiran akan resesi sedikit mereda. Bahkan, mereka memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan sedikit lebih baik dan penciptaan lapangan kerja tetap kuat meskipun masih ada banyak ketidakpastian di depan mata.

Tiga bulan lalu, banyak ekonom pesimistis karena Presiden Donald Trump sedang gencar-gencarnya mengancam negara-negara mitra dagang Amerika dengan tarif atau pajak impor yang sangat tinggi. Namun setelah beberapa tarif ditunda atau dihentikan, suasana jadi sedikit lebih tenang.

Risiko Resesi Turun, Tapi Belum Hilang

Para ekonom kini menilai kemungkinan resesi dalam 12 bulan ke depan sebesar 33 persen. Angka ini memang masih cukup tinggi, tapi turun dari perkiraan sebelumnya yang mencapai 45 persen. Bandingkan dengan Januari lalu, saat kemungkinan resesi hanya sekitar 22 persen. Artinya, situasi memang membaik, tapi belum benar-benar aman.

Sebagian besar ekonom sepakat bahwa perekonomian AS tetap tangguh meskipun dihantam berbagai tantangan. Chad Moutray, kepala ekonom dari National Restaurant Association, menyebut bahwa masyarakat Amerika masih tetap belanja, meskipun kini lebih hati-hati.

Lapangan Kerja Bertambah, Pengangguran Turun

Salah satu kabar baik datang dari sektor tenaga kerja. Selama tiga bulan terakhir, Amerika berhasil menciptakan rata-rata 150.000 pekerjaan baru setiap bulan—lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Tingkat pengangguran juga turun dari 4,2 persen di bulan Mei menjadi 4,1 persen di bulan Juni. Ini menunjukkan bahwa banyak orang tetap bisa mendapatkan pekerjaan.

Selain itu, data klaim pengangguran mingguan—indikator cepat untuk melihat gelombang PHK—menunjukkan tidak ada tanda-tanda kekhawatiran. Rasa percaya diri masyarakat dan pelaku bisnis juga sudah mulai stabil, setelah sebelumnya sempat turun drastis di awal tahun.

Inflasi Tidak Meledak, Tapi Tetap Jadi Perhatian

Salah satu kekhawatiran terbesar para ekonom adalah inflasi, yaitu kenaikan harga barang dan jasa. Awalnya, banyak yang takut tarif impor akan membuat harga melonjak tajam. Tapi kenyataannya, itu tidak sepenuhnya terjadi.

Harga-harga inti (tidak termasuk makanan dan energi) hanya naik 2,8 persen di bulan Mei dibandingkan tahun sebelumnya. Ini merupakan tingkat inflasi terendah dalam empat tahun terakhir, meskipun masih di atas target Bank Sentral AS, yaitu 2 persen.

Beberapa ekonom memperkirakan tarif tambahan dari Presiden Trump memang akan menambah inflasi sekitar 0,7 persen di kuartal akhir 2025. Tapi, efek ini kemungkinan akan diimbangi oleh turunnya harga energi dan sewa rumah.

Kebijakan Trump Punya Dampak Campuran

Meski ekonomi terlihat lebih kuat dari perkiraan, kebijakan Presiden Trump tetap punya dampak yang kompleks. Salah satunya, perusahaan dan konsumen AS sempat melakukan impor besar-besaran di awal tahun untuk menghindari tarif. Akibatnya, impor barang melonjak 26 persen di kuartal pertama. Tapi setelah tarif benar-benar diterapkan, impor langsung anjlok.

Di sisi lain, kebijakan pemotongan pajak yang baru saja disahkan—disebut “megabill”—diperkirakan akan menambah pertumbuhan ekonomi sekitar 0,2 persen di tahun 2025 dan 0,3 persen di tahun 2026. Namun, kebijakan pengurangan imigran dan peningkatan deportasi juga bisa mengurangi pertumbuhan ekonomi sebesar angka yang sama. Artinya, satu kebijakan mendorong ekonomi, tapi kebijakan lain malah menariknya ke bawah.

Joel Naroff, seorang konsultan ekonomi independen, menjelaskan bahwa imigrasi selama ini menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi AS dalam dua tahun terakhir. Jika imigrasi ditekan, maka dampak positif terhadap ekonomi juga akan berkurang.

Apa yang Akan Dilakukan Bank Sentral?

Bank Sentral AS (The Fed) memegang peran penting dalam menjaga kestabilan ekonomi. Saat ini, suku bunga berada di kisaran 4,25% hingga 4,5%. Para ekonom memperkirakan bahwa The Fed mungkin akan memangkas suku bunga sedikit, menjadi sekitar 3,94% di akhir tahun ini. Ini berarti kemungkinan akan ada satu atau dua kali pemotongan suku bunga lagi sebelum 2025 berakhir.

Pemotongan suku bunga ini biasanya bertujuan untuk mendorong pinjaman dan investasi, sehingga roda ekonomi terus berputar. Tapi tentu saja, semuanya tergantung pada bagaimana situasi inflasi dan pertumbuhan ekonomi ke depan.

Masih Ada Ketidakpastian Besar

Walau banyak indikator ekonomi menunjukkan perbaikan, ketidakpastian tetap tinggi. Salah satu faktor utamanya adalah kebijakan tarif Presiden Trump yang bisa berubah sewaktu-waktu. Baru-baru ini, dia kembali mengancam akan menaikkan tarif terhadap Brasil, Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa mulai 1 Agustus. Jika itu terjadi, maka semua prediksi ekonom bisa kembali berubah.

Selain itu, data resmi ekonomi sering kali sulit menangkap perubahan yang sangat cepat akibat kebijakan. Diane Swonk, kepala ekonom KPMG US, menyebut bahwa statistik ekonomi tidak dirancang untuk situasi “kejutan kebijakan” yang ekstrim. Sehingga, membaca arah ekonomi saat ini jadi jauh lebih sulit.

Apa Dampaknya bagi Indonesia?

Ini tentu jadi kabar penting, bukan hanya untuk orang Amerika, tetapi juga untuk Indonesia. Dalam dunia yang saling terhubung seperti sekarang, ketika ekonomi negara sebesar AS bergerak, dampaknya bisa terasa hingga ke ujung dunia, termasuk ke Jakarta, Surabaya, Medan, atau Bali. Kabar baik dari Amerika bisa memberikan angin segar bagi ekonomi Indonesia, tetapi ancaman kebijakan-kebijakan mendadak dari Gedung Putih juga bisa menciptakan gelombang baru yang mengganggu stabilitas.

Pertama, jika ekonomi Amerika terus membaik, permintaan mereka terhadap barang-barang dari luar negeri, termasuk dari Indonesia, bisa ikut meningkat. Ini bisa mendorong ekspor Indonesia, terutama untuk produk-produk seperti tekstil, pakaian jadi, furnitur, dan komponen elektronik yang menjadi andalan kita. Ketika masyarakat Amerika lebih percaya diri dan belanja lebih banyak, mereka juga lebih terbuka untuk membeli barang-barang impor. Ekspor yang naik artinya lebih banyak pabrik yang bisa beroperasi maksimal, lapangan kerja pun ikut tumbuh di dalam negeri.

Kedua, saat ekonomi AS stabil, para investor global biasanya lebih tenang dan berani menanamkan modal ke negara-negara berkembang seperti Indonesia. Ini penting, karena arus masuk investasi sangat menentukan kekuatan rupiah dan pergerakan pasar saham kita. Saat ada kekhawatiran akan resesi di AS, biasanya para investor buru-buru menarik dana dari Indonesia dan memindahkannya ke tempat yang dianggap lebih aman, misalnya ke surat utang AS. Tapi kalau kekhawatiran itu reda, Indonesia bisa kembali jadi tujuan yang menarik bagi investor global.

Ketiga, suku bunga di Amerika punya pengaruh besar terhadap arah kebijakan suku bunga di Indonesia. Bank Sentral Amerika, atau The Fed, saat ini sedang mempertimbangkan untuk menurunkan suku bunga secara bertahap karena inflasi mulai mereda dan ekonomi dinilai cukup kuat. Jika itu terjadi, Bank Indonesia punya ruang lebih besar untuk menjaga suku bunga dalam negeri tetap stabil atau bahkan menurunkannya. Ini kabar baik bagi para pelaku usaha dan masyarakat, karena bunga pinjaman bisa lebih ringan, dan dunia usaha bisa lebih leluasa bergerak.

Namun tidak semua hal berjalan semulus itu. Presiden Trump dikenal dengan kebijakan-kebijakan yang tidak terduga, terutama dalam hal perdagangan. Ia kembali menyampaikan ancaman akan menaikkan tarif impor terhadap beberapa mitra dagang besar seperti Brasil, Meksiko, Kanada, dan bahkan Uni Eropa. Jika ancaman ini benar-benar dijalankan, maka ketegangan dagang bisa kembali memanas, dan ini tentu saja berdampak ke negara lain termasuk Indonesia.

Jika ketegangan perdagangan terjadi, jalur distribusi global bisa terganggu. Indonesia bisa ikut terkena imbasnya, apalagi jika bahan baku industri dalam negeri berasal dari negara yang terkena tarif AS. Selain itu, jika daya beli global turun akibat ketidakpastian ekonomi, ekspor Indonesia juga bisa kembali melambat. Jadi, meski ekonomi AS saat ini terlihat lebih positif, situasi tetap belum pasti sepenuhnya.

Di sisi lain, kebijakan imigrasi Trump yang makin ketat juga bisa punya dampak ke Indonesia. Beberapa tenaga kerja Indonesia di Amerika bisa terdampak, terutama jika visa mereka dipersulit atau ada pembatasan baru. Pengiriman uang dari diaspora Indonesia di AS ke tanah air bisa terganggu, dan ini bisa berpengaruh ke ekonomi keluarga penerima di dalam negeri, terutama di sektor informal.

Banyak juga ekonom yang mencatat bahwa kebijakan Trump sering menciptakan efek yang tidak langsung, tapi berjangka panjang. Misalnya, karena adanya ancaman tarif, banyak perusahaan dan konsumen AS yang buru-buru mengimpor barang sebelum kebijakan berlaku. Setelah tarif resmi diberlakukan, impor langsung turun tajam. Efek semacam ini sulit diprediksi dan kadang membuat data ekonomi jadi membingungkan. Hal ini diingatkan oleh Diane Swonk, kepala ekonom KPMG US, yang mengatakan bahwa data statistik ekonomi sulit menangkap perubahan cepat akibat kebijakan ekstrem seperti ini.

Dari sisi kebijakan fiskal, Trump baru saja mengesahkan kebijakan besar-besaran berupa pemotongan pajak dan sebagian pengurangan belanja negara. Paket kebijakan ini disebut “megabill” dan diperkirakan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi AS sebesar 0,2 persen di tahun 2025 dan 0,3 persen di 2026. Tapi di saat yang sama, kebijakan deportasi dan pengetatan imigrasi justru bisa mengurangi pertumbuhan dengan angka yang sama. Artinya, satu sisi mendorong ekonomi, sisi lain menekannya kembali. Akibatnya, dampak total terhadap pertumbuhan AS bisa menjadi netral atau tidak terlalu besar.

Yang perlu diperhatikan oleh Indonesia adalah dampak tidak langsung dari perubahan arus investasi dan perdagangan global akibat kebijakan tersebut. Jika AS menarik diri dari beberapa kerja sama dagang atau mengenakan tarif tinggi pada negara-negara pesaing kita seperti Vietnam, Indonesia bisa mendapat peluang baru. Tapi jika kebijakan itu justru menimbulkan kekacauan di rantai pasok global, industri kita juga bisa terganggu.

Indonesia perlu bersikap waspada namun tidak panik. Kabar baik dari Amerika memang bisa memberi dorongan pada ekspor, stabilitas pasar, dan nilai tukar rupiah. Tapi kita juga perlu siap menghadapi perubahan mendadak yang bisa terjadi kapan saja dari Washington. Dunia sedang bergerak cepat, dan setiap keputusan ekonomi negara besar seperti AS bisa menimbulkan gelombang ke seluruh penjuru dunia.

Pemerintah Indonesia perlu menjaga komunikasi dengan pelaku usaha, memperkuat daya saing ekspor, dan membuka peluang kerja sama baru dengan negara-negara lain untuk mengantisipasi segala kemungkinan. Di saat yang sama, masyarakat juga perlu lebih bijak dalam mengelola keuangan pribadi, menjaga konsumsi yang sehat, dan tidak terlalu mudah terpengaruh oleh sentimen negatif yang bisa muncul sewaktu-waktu. Ekonomi global boleh bergejolak, tapi dengan persiapan yang baik, Indonesia tetap bisa bertahan dan bahkan memetik peluang dari setiap perubahan.

Lebih Optimis, Tapi Tetap Waspada

Ekonomi Amerika memang menunjukkan tanda-tanda yang lebih baik dibandingkan sebelumnya. Risiko resesi menurun, lapangan kerja tumbuh, dan inflasi tidak seburuk yang dikhawatirkan. Namun, para ekonom masih belum bisa bernapas lega.

Kebijakan Presiden Trump bisa berubah cepat, dan dampaknya sering kali tidak langsung terlihat. Sementara itu, faktor-faktor seperti imigrasi, perdagangan global, dan harga energi masih sangat memengaruhi masa depan ekonomi.

Bagi masyarakat biasa, mungkin yang paling penting adalah tetap mengikuti berita ekonomi dan menjaga keuangan pribadi dengan bijak. Karena seperti kata Chad Moutray, saat ini konsumen Amerika masih belanja, tapi lebih hati-hati. Dan mungkin itulah sikap paling bijak menghadapi situasi yang belum pasti ini.