Saat Iklim Menjadi Urusan Bank dan Investor

Di tengah tantangan perubahan iklim yang begitu nyata, sektor keuangan justru bisa menjadi motor penggerak perubahan. Mereka bisa mendorong investasi hijau, mendanai teknologi bersih, dan menjadi pelindung bagi masa depan generasi berikutnya.

376
iklim
sumber: Kemenkeu

(Vibiznews-Kolom) Perubahan iklim kini bukan lagi sekadar peringatan dari para ilmuwan, melainkan kenyataan yang terasa nyata di kehidupan sehari-hari. Banjir yang datang tanpa musim, gelombang panas yang tak tertahankan, dan musim hujan yang makin tak menentu adalah tanda-tanda yang tak bisa diabaikan. Bumi memberi sinyal bahwa ada yang tidak beres, dan itu bukan hanya urusan alam. Krisis iklim kini merambah ke semua lini, termasuk sektor ekonomi dan keuangan, perubahan iklim juga bisa mengguncang stabilitas finansial.

Selama ini, kita menganggap perubahan iklim sebagai urusan aktivis lingkungan atau pemerintah. Tapi kenyataannya, bank, perusahaan asuransi, dan investor juga berada di garis depan dari dampak perubahan iklim. Ketika bencana terjadi, mereka ikut menanggung kerugian. Dan ketika aturan baru diterapkan untuk mengurangi emisi, sektor keuangan harus menyesuaikan arah kebijakannya. Perubahan iklim tidak hanya soal suhu, tapi juga soal risiko ekonomi yang makin kompleks.

Kita hidup dalam dunia di mana uang menggerakkan segalanya. Dari pembangunan kota hingga eksplorasi sumber daya alam, semua butuh pembiayaan. Maka, siapa yang mengendalikan aliran uang, punya peran besar dalam menentukan masa depan bumi. Jika uang terus mengalir ke proyek yang merusak lingkungan, maka krisis iklim akan makin parah. Tapi jika dialirkan ke arah yang benar, uang bisa menjadi alat penyelamat yang luar biasa.

Itulah mengapa sektor jasa keuangan tak bisa bersikap netral. Mereka harus memilih ikut jadi bagian dari solusi, atau tetap menjadi bagian dari masalah. Dunia kini menuntut sistem keuangan yang sadar lingkungan dan berani mengambil sikap. Menyesuaikan strategi keuangan dengan tujuan iklim bukan hanya soal etika, tapi juga soal keberlanjutan bisnis jangka panjang.

Uang bukan musuh dari lingkungan, asalkan digunakan dengan bijak. Di tengah tantangan perubahan iklim yang begitu nyata, sektor keuangan justru bisa menjadi motor penggerak perubahan. Mereka bisa mendorong investasi hijau, mendanai teknologi bersih, dan menjadi pelindung bagi masa depan generasi berikutnya. Tapi semua itu hanya bisa terwujud jika ada keberanian untuk berubah dan visi yang jauh ke depan.

Iklim Semakin Panas, Risiko Finansial Meningkat

Ketika suhu bumi terus meningkat, dampaknya tak lagi bisa dibatasi hanya pada ekosistem. Dunia keuangan ikut bergetar saat bencana alam menghantam rumah, lahan pertanian, hingga infrastruktur penting. Setiap kerusakan menciptakan kerugian ekonomi yang nyata. Bank harus menghadapi kredit macet, perusahaan asuransi dipaksa membayar klaim besar, dan pemerintah pun harus menutup biaya pemulihan yang membengkak. Semua ini menandakan bahwa krisis iklim adalah krisis keuangan juga.

Bentuk risiko ini disebut risiko fisik, yaitu dampak langsung dari perubahan iklim terhadap aset dan operasi bisnis. Tapi risiko tidak berhenti di sana. Ada pula risiko transisi, yang muncul ketika dunia mulai beralih dari bahan bakar fosil ke energi bersih. Perusahaan yang gagal beradaptasi dengan aturan baru bisa kehilangan nilai, investor bisa rugi, dan lembaga keuangan bisa terkena imbas. Risiko transisi sering kali datang perlahan, tapi bisa sangat merusak.

Risiko ketiga yang makin mengemuka adalah risiko hukum. Perusahaan yang abai terhadap lingkungan kini mulai digugat oleh komunitas atau konsumen. Kasus-kasus hukum yang menyeret perusahaan karena pencemaran atau emisi karbon semakin sering muncul. Di era transparansi, perusahaan yang tak bertanggung jawab bisa kehilangan kepercayaan pasar. Ini artinya, reputasi menjadi aset yang rapuh jika tidak diiringi kesadaran iklim.

Dalam situasi seperti ini, sektor keuangan tak bisa hanya berfokus pada profit semata. Mereka harus mengantisipasi risiko iklim sebagai bagian dari strategi bisnis. Evaluasi kelayakan kredit harus mempertimbangkan kerentanan iklim. Portofolio investasi harus memprioritaskan sektor yang tahan terhadap perubahan iklim. Karena semakin panas dunia ini, semakin besar pula risiko bagi stabilitas keuangan.

Maka tak heran jika lembaga-lembaga internasional mulai menekan sektor keuangan untuk bertindak. Dari lembaga keuangan multilateral hingga bank sentral, semua mulai menyuarakan pentingnya integrasi isu iklim ke dalam sistem keuangan. Tujuannya jelas: membangun ketahanan finansial di tengah iklim yang makin tidak pasti. Tanpa perubahan di sektor keuangan, upaya menahan laju pemanasan global akan sia-sia.

Janji Dunia dan Langkah Indonesia

Pada tahun 2015, dunia sepakat untuk mengubah arah. Melalui Perjanjian Paris, negara-negara berjanji menjaga kenaikan suhu bumi agar tidak melebihi dua derajat Celsius. Bahkan, diupayakan maksimal hanya satu setengah derajat. Komitmen ini bukan hanya simbolik, tapi memicu transformasi besar di berbagai sektor. Energi, industri, transportasi, hingga keuangan, semuanya harus berbenah demi mencapai target tersebut.

Indonesia termasuk negara yang turut serta menandatangani perjanjian tersebut dan meratifikasinya dalam hukum nasional. Pemerintah menyusun dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca. Target Indonesia terus diperbarui, dan kini mencakup pengurangan emisi sebesar lebih dari 30 persen secara mandiri, dan lebih dari 40 persen jika dibantu secara internasional. Ini bukan target kecil, dan butuh usaha bersama.

Pemerintah juga menyusun strategi jangka panjang melalui LTS-LCCR 2050, yaitu peta jalan menuju ekonomi rendah karbon. Indonesia menargetkan mencapai netral karbon pada tahun 2060 atau lebih cepat. Strategi ini menyentuh berbagai sektor, mulai dari pembangkit listrik, hutan, pertanian, transportasi, hingga limbah. Semua diarahkan untuk mengurangi emisi sekaligus meningkatkan daya tahan terhadap dampak iklim.

Langkah konkret juga diambil di tingkat daerah. Pemerintah provinsi dan kabupaten didorong menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD-GRK) yang sejalan dengan strategi nasional. Dengan pendekatan ini, penanganan perubahan iklim menjadi lebih merata dan sesuai dengan kondisi lokal. Keterlibatan masyarakat dan swasta pun semakin dibuka lebar sebagai bagian dari gerakan bersama.

Dengan komitmen global dan nasional yang semakin kuat, tantangan berikutnya adalah memastikan sektor keuangan ikut bergerak. Tanpa dukungan pendanaan yang memadai, semua rencana dan strategi hanya akan menjadi dokumen tanpa dampak nyata. Di sinilah sektor jasa keuangan harus mengambil peran lebih besar.

Peran Keuangan untuk Masa Depan Bersih

Untuk mengubah arah dunia, kita butuh lebih dari sekadar niat baik. Kita butuh pendanaan besar untuk membangun infrastruktur hijau, memperbaiki ekosistem, dan mendorong teknologi bersih. Anggaran negara tidak akan cukup untuk membiayai semua itu. Maka sektor keuangan harus turun tangan untuk menggerakkan dana ke arah yang tepat.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melihat peluang ini dan mulai menyusun kerangka keuangan berkelanjutan. Lembaga keuangan diminta memperhitungkan dampak lingkungan dan sosial dalam proses bisnis mereka. Ini mencakup bagaimana bank menyalurkan kredit, bagaimana investor menilai proyek, dan bagaimana asuransi menghitung risiko. Keuangan tak lagi sekadar angka, tapi juga alat perubahan.

Regulasi pun mulai dikembangkan untuk mendukung transisi hijau. OJK meluncurkan taksonomi hijau sebagai panduan menilai kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan. Selain itu, peraturan tentang green bonds, sukuk hijau, dan sustainability-linked instruments telah diterbitkan. Semua ini memberi dasar hukum yang kuat bagi pelaku pasar untuk berkontribusi terhadap agenda iklim.

Langkah ini bukan hanya tentang lingkungan, tapi juga tentang peluang bisnis. Dunia kini bergerak ke arah ekonomi hijau. Permintaan atas produk ramah lingkungan dan teknologi bersih meningkat. Dengan sistem keuangan yang mendukung, Indonesia bisa menjadi pusat investasi hijau di kawasan Asia Tenggara.

Sektor keuangan kini bukan sekadar pengikut, tapi bisa jadi pemimpin dalam menyelamatkan bumi. Dengan setiap rupiah yang mereka salurkan, mereka bisa menentukan apakah bumi akan makin panas atau perlahan membaik. Dan keputusan itu harus diambil sekarang, bukan nanti.

Menuju Ekonomi Karbon Rendah, Bursa Karbon Dibuka

Salah satu langkah besar yang diambil Indonesia dalam menghadapi krisis iklim adalah membentuk Bursa Karbon. Ini adalah tempat di mana pelaku usaha bisa memperdagangkan unit karbon sebagai bagian dari upaya pengurangan emisi. Setiap unit karbon mewakili satu ton gas rumah kaca yang berhasil dikurangi atau diserap. Dengan demikian, kegiatan ekonomi pun bisa dihubungkan langsung dengan aksi nyata terhadap iklim.

Bursa ini menjadi alat penting untuk menggerakkan insentif. Perusahaan yang berhasil menurunkan emisi bisa menjual kelebihannya ke perusahaan lain yang belum mampu menekan emisi. Dalam skema ini, efisiensi dan inovasi menjadi daya saing. Pelaku usaha tidak hanya berlomba-lomba mencari untung, tapi juga menunjukkan kontribusi terhadap lingkungan.

Sistem ini mendorong lahirnya proyek-proyek hijau baru. Misalnya, reboisasi hutan, pemanfaatan energi terbarukan, atau pengolahan limbah secara bersih. Semua ini bisa menjadi sumber unit karbon yang kemudian dijual di bursa. Peluang usaha baru pun terbuka lebar, tidak hanya bagi perusahaan besar, tapi juga komunitas lokal dan pelaku UMKM yang bergerak di bidang lingkungan.

Namun, seperti pasar pada umumnya, integritas adalah hal utama. Jika pasar karbon tidak diawasi dengan baik, maka celah manipulasi bisa muncul. Karena itu, unit karbon yang diperjualbelikan harus diverifikasi, dicatat dalam sistem nasional, dan mengikuti standar yang transparan. Pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta OJK, bertanggung jawab menjaga kepercayaan ini.

Dengan beroperasinya Bursa Karbon, Indonesia menunjukkan bahwa aksi iklim bisa bersinergi dengan pertumbuhan ekonomi. Ke depan, pasar karbon tidak hanya menjadi tempat jual beli emisi, tapi juga ruang kolaborasi antara pelaku usaha, pemerintah, dan masyarakat. Semua bisa berkontribusi mengurangi emisi dan membangun masa depan yang lebih bersih.

Peluang Baru di Tengah Tantangan Iklim

Di balik ancaman perubahan iklim, tersimpan peluang besar bagi Indonesia. Negeri ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa, mulai dari hutan tropis, cadangan energi surya, hingga kekuatan angin dan laut. Semua itu bisa menjadi modal penting dalam transisi menuju ekonomi hijau. Jika dikelola dengan bijak, Indonesia tidak hanya bertahan dari krisis iklim, tapi juga menjadi pemimpin di kawasan.

Peluang tersebut harus dijawab dengan inovasi. Dunia keuangan kini mulai mengembangkan produk-produk baru seperti obligasi hijau, pinjaman berkelanjutan, dan asuransi iklim. Instrumen-instrumen ini memungkinkan proyek-proyek ramah lingkungan mendapatkan pembiayaan lebih mudah dan lebih murah. Keberadaan instrumen ini memperluas jangkauan pembiayaan untuk proyek-proyek perubahan iklim.

Namun, tidak semua tantangan bisa diselesaikan dengan teknologi. Salah satu hambatan terbesar adalah keterbatasan data. Banyak pelaku usaha belum memiliki sistem pelaporan emisi yang akurat dan transparan. Tanpa data yang jelas, sulit bagi lembaga keuangan untuk menilai dampak lingkungan suatu proyek. Maka, pelaporan berbasis lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) menjadi sangat penting.

Selain itu, pasar karbon dan instrumen hijau masih baru dan butuh waktu untuk matang. Diperlukan edukasi yang terus menerus bagi pelaku usaha, lembaga keuangan, dan publik agar skema ini benar-benar dipahami. Pemerintah juga harus memberikan insentif dan perlindungan hukum agar para pelaku tidak ragu mengambil bagian dalam transisi ini.

Meski tantangannya banyak, arah ke depan sudah jelas. Dunia bergerak ke arah yang lebih bersih dan berkelanjutan. Negara yang cepat beradaptasi akan mendapat manfaat ekonomi, sosial, dan reputasi yang besar. Indonesia punya semua modal untuk menjadi bagian dari perubahan itu—tinggal bagaimana kita memanfaatkan peluang di tengah tantangan.