Pasar Karbon dan Peran Dunia Keuangan

Pasar karbon melibatkan banyak pelaku pemilik proyek hijau, pembeli karbon, lembaga verifikasi, hingga pengawas seperti KLHK dan OJK. Semuanya membentuk ekosistem yang saling mendukung agar perdagangan karbon berjalan transparan dan kredibel.

329
karbon
Sumber:Kemenkeu

(Business Lounge – Kolom) Perubahan iklim bukan lagi sekadar kekhawatiran masa depan. Hari ini, kita sudah melihat dampaknya—mulai dari cuaca ekstrem, kenaikan permukaan laut, hingga ancaman pada sumber pangan dan air. Tapi yang mungkin belum disadari banyak orang, krisis iklim ini juga membawa risiko besar bagi stabilitas keuangan. Dari harga pangan yang melonjak karena gagal panen, hingga gangguan pada rantai pasok global, sektor keuangan kini ikut merasakan dampak dari krisis lingkungan.

Lembaga keuangan, termasuk bank, asuransi, dan pasar modal, mulai sadar bahwa perubahan iklim bukan lagi risiko jangka panjang yang bisa diabaikan. Mereka kini menghadapi risiko fisik akibat bencana alam dan risiko transisi saat ekonomi perlahan beralih ke sistem rendah karbon. Risiko ini bisa memengaruhi aset, investasi, dan bahkan keberlangsungan bisnis.

Di sisi lain, krisis ini juga membuka peluang baru. Dunia kini sedang menuju ekonomi hijau. Ini berarti akan ada kebutuhan besar akan pembiayaan proyek energi terbarukan, teknologi bersih, dan usaha-usaha ramah lingkungan lainnya. Sektor keuangan bisa menjadi penggerak utama dalam mendanai transisi ini, sekaligus memperoleh manfaat ekonominya.

Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan alam besar dan komitmen terhadap pengurangan emisi, memegang peran penting. Pemerintah dan sektor keuangan mulai menyatukan langkah. Salah satu langkah besar yang diambil adalah membangun sistem perdagangan karbon nasional—sebuah mekanisme yang memberi insentif bagi pengurangan emisi.

Tapi agar semua ini berjalan baik, dibutuhkan kerangka kebijakan yang jelas, lembaga yang siap, dan ekosistem yang mendukung. Perdagangan karbon bukan sekadar jual beli, tapi bagian dari perubahan cara kita melihat nilai, risiko, dan masa depan bumi.

Risiko Finansial Meningkat

Krisis iklim bisa menjadi krisis keuangan berikutnya jika tidak ditangani dengan serius. Ketika banjir melanda kawasan industri atau kebakaran hutan mengganggu produksi, bukan hanya lingkungan yang terdampak—perusahaan juga bisa mengalami kerugian besar. Risiko fisik seperti ini makin sering terjadi, dan sektor jasa keuangan tak bisa lagi memandangnya sebagai hal sepele.

Lembaga keuangan menghadapi risiko transisi saat dunia mulai meninggalkan bahan bakar fosil. Perusahaan yang tidak menyesuaikan bisnisnya dengan ekonomi rendah karbon bisa kehilangan nilai, ditinggal investor, atau gagal mendapatkan pendanaan. Sektor keuangan harus mulai menghitung risiko ini secara nyata dalam analisis bisnis mereka.

Bagi bank, risiko iklim bisa memengaruhi kemampuan debitur untuk membayar pinjaman. Bagi asuransi, bencana alam berarti klaim besar. Bagi investor, portofolio bisa terancam jika perusahaan tempat mereka menanam modal tidak beradaptasi. Semua ini membuat risiko iklim bukan hanya isu lingkungan, tapi isu finansial nyata.

Namun risiko juga berarti peluang. Transisi menuju ekonomi hijau membuka kebutuhan pembiayaan baru. Proyek energi terbarukan, efisiensi energi, transportasi bersih, dan reforestasi membutuhkan pendanaan besar. Di sinilah sektor jasa keuangan bisa memainkan peran penting, mendanai masa depan sambil tetap mendapat imbal hasil.

Dengan menyadari risiko dan peluang ini, lembaga keuangan diharapkan tidak hanya mengikuti perubahan, tapi jadi pemimpin dalam upaya penyelamatan iklim. Peran mereka tak tergantikan dalam memastikan ekonomi terus tumbuh, tapi tanpa merusak lingkungan.

Menuju Net Zero Emission

Perubahan iklim adalah persoalan global, sehingga responsnya juga harus lintas negara. Dunia telah menetapkan target besar: mencapai Net Zero Emission (NZE), yaitu keadaan di mana jumlah emisi karbon yang dilepaskan sama dengan yang diserap. Target ini menjadi arah baru bagi semua negara, termasuk Indonesia.

Kesepakatan global seperti Paris Agreement menjadi dasar dari komitmen ini. Negara-negara berjanji membatasi kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius. Untuk itu, emisi gas rumah kaca harus ditekan drastis. Negara maju diminta membantu negara berkembang dalam bentuk pendanaan, teknologi, dan transfer kapasitas.

Indonesia menargetkan pengurangan emisi hingga 31,89 persen dengan upaya sendiri, dan bisa mencapai 43,2 persen dengan dukungan internasional. Ini adalah komitmen besar, mengingat banyak sektor di Indonesia—seperti energi, industri, dan kehutanan—masih sangat terkait dengan emisi tinggi.

Sektor jasa keuangan diminta mendukung pencapaian ini lewat pembiayaan hijau, penerbitan obligasi berkelanjutan, dan keterlibatan dalam mekanisme pasar karbon. Ini bukan sekadar tuntutan moral, tapi juga peluang investasi yang makin dilirik global.

Dengan menyelaraskan strategi nasional dan regulasi keuangan dengan komitmen internasional, Indonesia bisa memosisikan diri sebagai negara berkembang yang aktif, serius, dan berkontribusi dalam perjuangan global menghadapi perubahan iklim.

Peran Strategis Dunia Keuangan

Sektor jasa keuangan bukan hanya penonton, tapi bisa menjadi pemain utama dalam pengurangan emisi. Bank bisa menyalurkan kredit hijau, perusahaan pembiayaan bisa mendukung kendaraan listrik, dan investor bisa mengarahkan dananya ke proyek-proyek rendah karbon. Semua ini memberi dampak langsung pada arah pembangunan.

OJK mendorong lembaga keuangan menerapkan keuangan berkelanjutan. Ini artinya, keputusan investasi atau pembiayaan harus mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Keuangan berkelanjutan bukan tren, tapi sudah menjadi standar baru dalam dunia keuangan global.

Perdagangan karbon jadi bagian penting dari strategi ini. Lewat mekanisme ini, perusahaan bisa mendapatkan insentif ekonomi jika berhasil menurunkan emisi. Kredit karbon bisa menjadi aset yang diperjualbelikan, menciptakan pasar baru yang potensial.

Tapi untuk bisa berperan maksimal, lembaga keuangan juga butuh pengetahuan, regulasi yang jelas, dan data yang transparan. Edukasi dan pelatihan tentang keuangan hijau dan karbon perlu terus digalakkan. Kesadaran saja tidak cukup—dibutuhkan juga kapasitas teknis.

Dengan dukungan pemerintah, pelaku pasar, dan masyarakat, sektor jasa keuangan Indonesia bisa menjadi tulang punggung dalam transisi energi dan ekonomi rendah karbon. Mereka bukan sekadar penggerak ekonomi, tapi juga penjaga masa depan.

Menyiapkan Jalur Jual-Beli Karbon di Indonesia

Perdagangan karbon kini jadi salah satu strategi penting Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim. Lewat pendekatan ini, setiap perusahaan yang menghasilkan emisi karbon harus bertanggung jawab. Mereka yang melebihi batas emisi bisa membeli “izin” dari yang berhasil mengurangi emisi. Mekanisme ini mendorong efisiensi, inovasi, dan tanggung jawab terhadap lingkungan.

Pemerintah Indonesia telah merancang dasar hukum dan kelembagaan untuk mendukung sistem ini. Salah satunya adalah Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 yang menjadi payung hukum utama. Aturan ini menetapkan berbagai mekanisme nilai ekonomi karbon, termasuk perdagangan karbon di dalam negeri dan kerja sama dengan pihak luar negeri. Semua dijalankan berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Untuk mendukung jalannya pasar ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berperan dalam mengembangkan kerangka kerja keuangan yang mendukung transisi hijau. Sementara itu, Bursa Karbon Indonesia yang ditunjuk melalui Keputusan OJK tahun 2023, menjadi tempat resmi untuk jual-beli karbon di Tanah Air. Sejak diluncurkan, bursa ini menjadi simbol komitmen serius terhadap ekonomi rendah karbon.

Namun, membangun sistem ini tidak instan. Pemerintah menyiapkan langkah bertahap, mulai dari penetapan sektor prioritas seperti energi dan industri, hingga verifikasi emisi oleh pihak ketiga yang independen. Setiap proyek yang menghasilkan kredit karbon harus tercatat dalam Sistem Registri Nasional (SRN-PPI) agar terdata secara resmi dan bisa diperjualbelikan.

Dengan jalur ini, Indonesia tidak hanya mengejar target emisi nasional, tapi juga membuka peluang ekonomi baru. Pasar karbon bisa mendorong investasi hijau, memperluas pendanaan proyek lingkungan, dan membawa Indonesia ke garis depan dalam perdagangan karbon global.

Aturan yang Terbuka dan Ramah Lingkungan

Di balik perdagangan karbon yang sehat, selalu ada regulasi yang kuat. Tanpa aturan yang jelas, sistem ini bisa dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Itulah sebabnya pemerintah menempatkan transparansi sebagai prinsip utama. Segala aktivitas perdagangan karbon harus bisa diawasi, ditelusuri, dan dipertanggungjawabkan.

Setiap proyek yang menghasilkan kredit karbon harus melalui proses validasi dan verifikasi oleh lembaga independen. Setelah lolos, data proyek dicatat dalam SRN-PPI—sistem yang menjadi “buku besar nasional” perdagangan karbon. Tanpa pencatatan ini, kredit karbon tidak sah dan tidak bisa diperdagangkan.

Pemerintah juga mulai menyelaraskan regulasi nasional dengan standar internasional agar pasar karbon Indonesia bisa menarik investor asing. Ini penting karena pasar karbon lintas negara menawarkan potensi besar bagi proyek-proyek ramah lingkungan di Indonesia.

Transparansi tak hanya soal data, tapi juga soal keadilan sosial. Proyek karbon yang dilakukan di daerah harus melibatkan masyarakat sekitar. Dengan begitu, perdagangan karbon tak hanya menyelamatkan lingkungan, tapi juga memperkuat ekonomi lokal dan kepercayaan publik.

Semua ini menjadi bagian dari upaya membangun sistem yang bukan hanya efektif, tapi juga etis dan berkelanjutan. Karena pada akhirnya, kepercayaan adalah fondasi pasar karbon yang sehat.

Mewujudkan Aturan Menjadi Aksi Nyata

Membuat aturan memang penting, tapi lebih penting lagi adalah menjalankannya dengan konsisten. Di lapangan, implementasi regulasi perdagangan karbon menghadapi tantangan yang tidak sedikit. Pemerintah membentuk kelembagaan seperti KLHK, OJK, dan lembaga verifikasi untuk memastikan pengawasan dan eksekusi berjalan selaras.

Perdagangan karbon di Indonesia dilaksanakan melalui dua pendekatan utama, cap-and-trade dan offset. Cap-and-trade menetapkan batas emisi, dan yang melebihi harus membeli dari yang lebih efisien. Sementara offset memungkinkan proyek penurunan emisi menjual kredit kepada pihak lain.

Setiap transaksi harus tercatat dalam SRN-PPI agar bisa dilacak dan diaudit. Sistem ini mencegah duplikasi, manipulasi, dan pelanggaran. Pemerintah juga menyediakan panduan teknis, pelatihan, dan sanksi administratif bagi pelanggar.

Lebih dari sekadar pengawasan, pemerintah juga aktif membina pelaku pasar. Edukasi, pendampingan, dan penyederhanaan prosedur menjadi fokus. Tujuannya adalah agar pasar karbon tumbuh inklusif—tidak hanya dikuasai pemain besar, tapi juga membuka peluang bagi UMKM dan masyarakat adat.

Implementasi yang baik akan menjadikan Indonesia sebagai contoh sukses negara berkembang yang mampu mengelola pasar karbon secara mandiri dan berkelanjutan.

Siapa Bermain di Pasar Karbon? Mengenal Ekosistem di Baliknya

Pasar karbon melibatkan banyak pelaku pemilik proyek hijau, pembeli karbon, lembaga verifikasi, hingga pengawas seperti KLHK dan OJK. Semuanya membentuk ekosistem yang saling mendukung agar perdagangan karbon berjalan transparan dan kredibel.

Pemilik proyek bisa berasal dari komunitas lokal, perusahaan swasta, atau BUMN. Mereka menjalankan proyek ramah lingkungan, menghasilkan pengurangan emisi, lalu menjualnya dalam bentuk kredit karbon.

Pembeli karbon biasanya berasal dari perusahaan besar yang punya target pengurangan emisi. Mereka membeli kredit karbon untuk menutupi kelebihan emisi yang belum bisa mereka turunkan secara langsung.

Lembaga verifikasi menjadi jembatan kepercayaan. Mereka memastikan setiap pengurangan emisi benar-benar terjadi dan memenuhi standar yang ditentukan. Tanpa mereka, pasar bisa diragukan keabsahannya.

Pemerintah hadir sebagai pengatur dan pencatat, dengan SRN-PPI sebagai platform utama. Dengan sistem ini, data terjaga, proses tertib, dan kepercayaan terbangun. Semua pihak punya peran, dan semua saling membutuhkan.

Dengan ekosistem yang solid, perdagangan karbon bisa menjadi salah satu instrumen paling kuat dalam menghadapi krisis iklim.