Risiko Terbesar Obligasi Bukan Lagi Rating, Tapi Durasi

Menurut laporan yang dikutip oleh Wall Street Journal, para manajer dana pensiun, bank, dan investor ritel mengalami tekanan luar biasa karena portofolio obligasi mereka melemah bukan karena risiko gagal bayar, tetapi karena salah perhitungan durasi.

303
Obligasi Global
Sumber : Unsplash

(Vibiznews – Kolom) Dalam dunia investasi obligasi, rating kredit selama ini dianggap sebagai kompas utama dalam menilai risiko. Namun riset terbaru menunjukkan bahwa perhatian utama investor seharusnya bukan lagi tertuju pada peringkat utang yang diberikan lembaga pemeringkat seperti Moody’s atau S&P, melainkan pada satu aspek yang sering diremehkan: durasi atau panjang waktu jatuh tempo.

Temuan ini berasal dari analisis mendalam yang dirilis oleh tim peneliti dari The Journal of Portfolio Management, dan telah menjadi perbincangan hangat di kalangan analis fixed-income sejak dikutip ulang oleh Bloomberg. Dalam riset tersebut, peneliti menemukan bahwa fluktuasi harga obligasi jauh lebih sensitif terhadap perubahan suku bunga dibandingkan risiko gagal bayar berdasarkan rating. Semakin panjang durasi obligasi, semakin besar potensi kerugiannya saat suku bunga naik.

Dengan kata lain, investor yang hanya mengandalkan rating sebagai indikator keamanan bisa saja terjebak dalam kerugian nilai pasar yang besar ketika terjadi perubahan kondisi makroekonomi, terutama pada era seperti saat ini ketika Federal Reserve mempertahankan suku bunga tinggi untuk waktu yang lama.

Durasi menjadi ukuran sejauh mana harga obligasi akan berubah bila suku bunga acuan bergeser. Obligasi dengan durasi panjang—misalnya 10 hingga 30 tahun—bisa turun nilainya secara drastis hanya karena perubahan kecil dalam ekspektasi pasar. Situasi ini terbukti nyata saat krisis pasar obligasi tahun lalu ketika imbal hasil Treasury melonjak dan harga obligasi jangka panjang jatuh tajam, sekalipun tetap berperingkat AAA.

Menurut laporan yang dikutip oleh Wall Street Journal, para manajer dana pensiun, bank, dan investor ritel mengalami tekanan luar biasa karena portofolio obligasi mereka melemah bukan karena risiko gagal bayar, tetapi karena salah perhitungan durasi. Di tengah inflasi yang belum sepenuhnya reda dan ketidakpastian arah suku bunga, sensitivitas terhadap durasi justru lebih menentukan daripada fundamental kredit.

Masalah ini semakin krusial karena banyak investor selama ini berpikir bahwa membeli obligasi pemerintah atau perusahaan besar dengan rating tinggi sudah cukup aman. Namun realitas pasar menunjukkan bahwa harga instrumen tersebut bisa merosot puluhan persen, bahkan jika tidak ada satu pun cicilan bunga yang macet. Bagi investor institusi yang diwajibkan mencatat nilai pasar (mark-to-market), penurunan ini berdampak langsung pada neraca keuangan mereka.

Laporan yang dikutip oleh CNBC juga menyoroti fenomena “duration drag” yang dialami oleh berbagai dana obligasi besar seperti iShares 20+ Year Treasury ETF (TLT), yang sempat mencatat kerugian tahunan dua digit meski seluruh obligasi di dalamnya tidak satu pun mengalami gagal bayar. Ini memperkuat argumen bahwa pengelolaan risiko durasi kini jauh lebih penting ketimbang hanya fokus pada rating.

Secara praktis, para analis menyarankan investor untuk mengevaluasi ulang alokasi portofolio mereka dan mempertimbangkan strategi durasi pendek, seperti obligasi jangka 1–3 tahun atau menggunakan instrumen berbasis floating rate yang lebih tahan terhadap fluktuasi suku bunga. Dalam lingkungan seperti sekarang, portofolio dengan durasi lebih pendek cenderung lebih stabil, meski menawarkan imbal hasil sedikit lebih rendah.

Implikasi dari riset ini cukup mendalam. Lembaga keuangan, regulator, dan investor institusi perlu menyesuaikan cara mereka menilai risiko. Ketergantungan historis pada lembaga pemeringkat kredit sudah tidak cukup lagi. Di era suku bunga tinggi dan inflasi yang tidak mudah dikendalikan, durasi menjadi alat ukur yang lebih akurat untuk mengelola volatilitas dan menjaga stabilitas nilai portofolio.

Bagi investor ritel, pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa membeli obligasi berperingkat tinggi bukan berarti bebas risiko. Harga bisa turun jauh sebelum obligasi itu jatuh tempo, dan dalam beberapa kasus, kerugiannya bisa lebih besar dari dividen yang diterima. Maka memahami durasi—dan bukan sekadar mengejar rating tinggi—adalah kunci untuk tetap aman dalam dunia fixed-income yang semakin kompleks.

Implikasi dari temuan riset bahwa risiko terbesar dalam investasi obligasi (fixed income) bukan lagi sekadar peringkat kredit (bond ratings), melainkan duration risk atau lamanya jatuh tempo surat utang, dapat membawa sejumlah dampak penting bagi Indonesia, baik dari sisi pasar keuangan domestik maupun kebijakan fiskal dan moneter.

Pertama, bagi investor institusional di Indonesia—seperti manajer investasi, asuransi, dan dana pensiun—penekanan pada durasi ketimbang hanya peringkat obligasi menuntut pergeseran pendekatan dalam pengelolaan portofolio. Obligasi pemerintah Indonesia yang bertenor panjang seperti Surat Utang Negara (SUN) 10–30 tahun memiliki volatilitas harga yang tinggi terhadap perubahan suku bunga. Jika investor tidak mengelola durasi portofolio secara aktif, maka eksposur terhadap fluktuasi yield bisa merugikan, apalagi jika tren suku bunga global kembali naik.

Kedua, untuk pemerintah Indonesia sebagai penerbit surat utang, hasil riset ini menunjukkan bahwa investor global kini lebih sensitif terhadap risiko durasi ketimbang hanya sekadar peringkat kredit dari lembaga seperti S&P atau Moody’s. Artinya, strategi utang jangka panjang perlu dievaluasi ulang, terutama jika global yield curve menjadi lebih curam. Penerbitan obligasi dengan tenor sangat panjang bisa lebih mahal dari sisi imbal hasil yang harus ditawarkan untuk menarik investor.

Ketiga, bagi pasar keuangan domestik, temuan ini menggarisbawahi pentingnya edukasi investor ritel. Banyak investor individu di Indonesia yang berinvestasi dalam obligasi tanpa memahami konsep duration risk. Padahal, risiko kerugian harga obligasi akibat kenaikan suku bunga dapat signifikan untuk obligasi dengan durasi tinggi, bahkan jika obligasi tersebut berperingkat tinggi.

Keempat, dari sisi moneter, Bank Indonesia perlu memperhatikan bahwa sensitivitas pasar terhadap durasi dapat memperkuat transmisi kebijakan suku bunga. Kenaikan suku bunga acuan bisa berdampak lebih besar terhadap harga obligasi jangka panjang, menciptakan tekanan pada portofolio investor dan memicu capital outflow, jika tidak diantisipasi dengan komunikasi kebijakan yang efektif.

Kelima, untuk emiten korporasi, pembiayaan melalui obligasi jangka panjang bisa menjadi lebih mahal jika investor menuntut premi durasi yang lebih tinggi. Hal ini bisa mendorong korporasi Indonesia untuk lebih banyak menerbitkan obligasi tenor pendek hingga menengah, yang pada gilirannya mengubah profil risiko pendanaan sektor swasta nasional.

Dengan kata lain, perubahan fokus investor global dari credit risk ke duration risk menandakan bahwa pengelolaan risiko portofolio di Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan penilaian dari rating agency semata. Pemerintah, OJK, dan pelaku pasar harus mulai mengedepankan manajemen risiko durasi sebagai faktor utama dalam pengembangan pasar obligasi yang lebih tangguh dan berkelanjutan.