Ketika Ekonom Mempertanyakan Data BPS

Laporan BPS bulan Februari yang menunjukkan pertumbuhan 5,12% cukup mengejutkan banyak pihak karena ekspektasi sebelumnya adalah penurunan, mengingat kondisi masyarakat yang merasakan uang semakin sulit, perdagangan lesu, dan PHK di mana-mana. Ketika angka yang keluar justru 0,3% lebih tinggi dari prediksi rata-rata sekitar 4,8%, wajar jika muncul pertanyaan apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ada manipulasi, atau justru ada perubahan struktural dalam masyarakat dan ekonomi? Jika angka 5,12% itu benar, maka dunia usaha harus segera menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.

897
BPS Pertumbuhan Ekonomi

(Vibiznews – Kolom) BPS sebagai lembaga statistik independen beberapa kali terlihat melaporkan datanya terlebih dahulu kepada Presiden. Ketika data pertumbuhan 5,12% diumumkan, banyak pihak mempersepsikan adanya kejanggalan, bahkan sejumlah ekonom menyebut akan melaporkannya ke PBB untuk meminta audit investigasi. Namun BPS menegaskan bahwa mereka menggunakan 1.058 indikator sementara ekonom umumnya hanya 7 sampai 12 indikator, sehingga BPS hanya memberikan potret obyektif yang nantinya dipakai pengambil kebijakan. Jika potret itu terlihat bagus atau jelek, maka sepenuhnya tergantung pada kinerja pembangunan.

Laporan BPS bulan Februari yang menunjukkan pertumbuhan 5,12% cukup mengejutkan banyak pihak karena ekspektasi sebelumnya adalah penurunan, mengingat kondisi masyarakat yang merasakan uang semakin sulit, perdagangan lesu, dan PHK di mana-mana. Ketika angka yang keluar justru 0,3% lebih tinggi dari prediksi rata-rata sekitar 4,8%, wajar jika muncul pertanyaan apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ada manipulasi, atau justru ada perubahan struktural dalam masyarakat dan ekonomi? Jika angka 5,12% itu benar, maka dunia usaha harus segera menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.

Ada pula perbedaan indikator antara data BPS dan persepsi ekonom terutama pada kuartal kedua tahun 2025. Karena itu sejumlah pihak meminta agar standar metodologi UN Statistical Commission dijadikan acuan, sehingga bisa dilakukan pengecekan kembali apakah komponen dan data yang disajikan sudah sesuai dengan principles of statistics yang berlaku secara internasional. Dari laporan BPS juga terlihat bahwa konsumsi meningkat pasca lebaran dan mendorong pertumbuhan ekonomi total 5,12%. Padahal dari sisi investasi, meski BKPM melaporkan dorongan pada sektor hilirisasi, faktanya 28 perusahaan smelter sedang terganggu produksinya. Namun angka pembentukan modal tetap bruto justru meningkat cukup tinggi.

Dari sisi ekspor, terjadi lonjakan meski tren harga komoditas seperti batu bara dan nikel sedang melemah. Bahkan impor mesin, pembuatan tank dicatat sebagai pembentukan modal tetap bruto, sementara impor barang jadi hanya masuk dalam belanja pemerintah. Situasi inilah yang membuat ekonom mempertanyakan, bahkan mengancam membawa isu ini ke PBB. Menanggapi hal itu, BPS menegaskan bahwa mereka bekerja dengan aturan dan standar jelas. Mereka memiliki lebih dari 20.000 pegawai di seluruh Indonesia, dan penyusunan PDB dilakukan sesuai manual standar dari UN dan OECD dengan tiga pendekatan: pengeluaran, lapangan usaha, dan konsolidasi PDRB daerah yang kemudian diagregasi ke PDB nasional.

Proses panjang ini tidak mudah, karena manual penyusunan PDB saja mencapai 722 halaman dan bisa diaudit siapa pun untuk melihat konsistensinya. BPS menekankan bahwa perbedaan antara proyeksi ekonom dengan publikasi mereka bukanlah hal baru. Misalnya pada 2021, ekonom memprediksi pertumbuhan 5,5% tetapi BPS merilis 7,07% tanpa menimbulkan keributan, meskipun selisihnya jauh lebih besar dibandingkan 0,3% saat ini. Perbedaan itu terjadi karena BPS bekerja berdasarkan fakta dengan indikator yang jauh lebih luas.

BPS juga memiliki tujuh unit eselon I teknis yang mendukung kedeputian neraca dalam menyusun PDB dengan data yang bersumber dari statistik produksi. Misalnya, subsektor pertanian seperti padi dan jagung dihitung menggunakan kerangka sampel area berbasis citra satelit. Data tersebut kemudian disurvei di 220.000 titik oleh 6.600 petugas tiap akhir bulan, sehingga effort yang dilakukan sangat besar hanya untuk satu subsektor saja. Selain itu, integrasi data juga melibatkan biro survei swasta seperti Roy Morgan yang menggunakan citra satelit, bahkan mengirim data ke luar negeri untuk diolah, dan tetap merujuk pada data BPS.

Semua ini menunjukkan bahwa ekosistem data semakin terbuka dan terintegrasi. Kekhawatiran para ekonom patut diapresiasi dalam era demokrasi, karena bila terjadi manipulasi dampaknya tidak hanya di Indonesia tetapi juga internasional. Namun BPS menegaskan mereka tidak boleh main-main dengan data. Jadwal rilis bahkan sudah ditetapkan satu tahun sebelumnya dan masuk dalam kalender IMF maupun ADB.

BPS menjelaskan bahwa data mereka tidak hanya dirilis sesuai jadwal yang sudah ditentukan, tetapi juga diawasi oleh lembaga-lembaga internasional seperti World Bank, IMF, dan National Statistics Office yang melakukan penilaian atas kinerja kantor statistik. Bahkan pernah ada audit langsung terhadap metodologi BPS. Dalam open data inventory, BPS menempati peringkat ke-37 dari 197 negara, sementara dalam statistical performance index Indonesia berada di peringkat 57 dari 187 negara, sebuah posisi yang dinilai tidak buruk. Untuk menghasilkan data yang dapat dipercaya, BPS menekankan pentingnya koherensi. Tidak mungkin misalnya pertambangan naik sementara industri logam turun, atau konsumsi rumah tangga tinggi sementara indeks keyakinan konsumen melemah.

Bank Indonesia memang melakukan survei indeks keyakinan konsumen dengan 4.600 responden, sementara BPS melalui survei ekonomi rumah tangga triwulanan (Seruti) melibatkan 76.000 responden setiap tiga bulan. Hasil Seruti menunjukkan daya beli masyarakat memang menurun dan semua pelaku usaha merasakan itu. Fenomena “rojali” atau “rombongan jarang beli” semakin sering ditemui, di mana pusat perbelanjaan ramai pengunjung tetapi jarang terjadi transaksi pembelian. Salah satu indikator klasik daya beli adalah penjualan kendaraan bermotor, yang pada triwulan kedua tahun ini memang anjlok, baik motor maupun mobil. Namun di sisi lain, mobilitas masyarakat justru melonjak drastis, contohnya pada Maret tercatat 98 juta pergerakan, sedangkan pada April melonjak menjadi 128 juta, meski pembelian kendaraan menurun tajam.

Data Roy Morgan menunjukkan 95% rumah tangga di Indonesia sudah memiliki sepeda motor, sehingga mobilitas tetap meningkat meskipun penjualan kendaraan baru menurun. Pengalaman pandemi Covid-19 juga mendorong masyarakat melakukan pergeseran perilaku aset. Jika dulu properti, mobil, dan motor dianggap penting, kini banyak orang lebih memilih logam mulia seperti emas yang terbukti lebih likuid. Hal ini terlihat dari peningkatan pembelian emas pada triwulan kedua. Selain itu, data simpanan masyarakat juga menunjukkan pola menarik, di mana tabungan naik sepanjang Januari hingga Maret karena masyarakat menahan belanja, lalu menurun tajam pada April dan Mei karena dana habis dipakai, terutama untuk kebutuhan Lebaran.

Lebaran yang jatuh di akhir Maret dan banyaknya hari libur di triwulan kedua—sebanyak 40 hari dibanding 32 hari di triwulan pertama—juga berdampak pada tingginya konsumsi. Dari Seruti, konsumsi rumah tangga triwulan kedua tercatat tumbuh 5,4% year-on-year. Para ekonom biasanya menggunakan penjualan kendaraan bermotor sebagai leading indicator daya beli, dan karena angka itu menurun, muncul persepsi konsumsi ikut melemah. Padahal data BPS menunjukkan konsumsi rumah tangga stagnan di 4,9%, sementara survei BI memang menunjukkan penurunan keyakinan konsumen, namun survei BPS yang jauh lebih besar dan representatif justru menunjukkan daya beli meningkat.

BPS juga mencatat bahwa belanja masyarakat pada triwulan kedua terkonsentrasi pada makanan, minuman, restoran, hotel, dan bahan bakar, yang semuanya naik signifikan. Di sisi lain, kebutuhan properti tetap ada, meski tren berbeda dibanding masa lalu. Jika dulu masyarakat bisa membeli rumah kedua atau ketiga, kini mereka cenderung cukup dengan satu rumah dan mengalokasikan dana sisanya untuk pengalaman seperti traveling. Hal inilah yang membuat banyak ekonom mempertanyakan kejanggalan, apalagi Purchasing Managers Index (PMI) sektor manufaktur Indonesia dari S&P Global sempat jatuh di bawah 50, mencapai 46,9 pada Juni 2025 yang menandakan kontraksi.

BPS menanggapi bahwa PMI tersebut hanya berbasis 400 responden perusahaan manufaktur di Indonesia, jumlah yang tidak representatif. Dalam ilmu statistik, syarat random sampling adalah adanya frame populasi dan bobot (weight), yang hanya dimiliki BPS. Populasi industri manufaktur besar dan sedang di Indonesia mencapai 37.000 perusahaan, belum termasuk jutaan usaha kecil dan mikro. BPS sendiri melakukan survei bulanan industri besar dan sedang dengan 3.070 responden, di mana margin of error masih mencapai 2,5%. Untuk industri kecil dan mikro, survei dilakukan setiap tiga bulan terhadap 29.000 pelaku usaha.

Dari survei-survei inilah BPS menyusun PDB sektor industri. Pada triwulan kedua, sektor industri yang menonjol adalah mesin dan perlengkapan, dengan pertumbuhan yang sangat cepat. Sementara itu, dari sisi investasi, BPS menilai pertumbuhan masih berlanjut. Jika dilihat secara keseluruhan, PDB diukur dari tiga unsur besar yakni konsumsi, investasi, dan belanja pemerintah. Pada triwulan kedua, konsumsi masyarakat tumbuh dengan pola unik meski daya beli dianggap turun, mobilitas meningkat, dan spending cenderung lebih banyak dialihkan ke pengalaman dan emas. Pemerintah sendiri justru menekan belanja karena efisiensi fiskal, sehingga perannya terhadap pertumbuhan relatif lebih kecil dibanding konsumsi rumah tangga dan investasi swasta.

Kemudian kita lihat lagi C, G, lalu E, investasi. Investasi itu, kalau tujuan sebelumnya 2%, kini melonjak jadi 7%. Bagaimana kita menjelaskan kenaikan tiga kali lipat ini? Dari mana angka itu muncul? Bicara soal logika publik, Banyak yang bertanya-tanya, apalagi di tengah PHK di mana-mana. Angkanya lumayan besar. PHK meningkat 32% secara tahunan pada semester pertama ini. Seharusnya kondisi ini berdampak pada pendapatan masyarakat dan lain sebagainya. Data ini konsisten dengan BPJS Ketenagakerjaan yang menyebut banyak orang klaim karena terkena PHK.

Jadi bagaimana kita menjelaskannya bahwa investasi naik dari 2% menjadi 7%, tiga kali lipat?

Menurut BPS, PMA kita memang turun sekitar 6%. Tetapi PMDN kita justru naik 30%, artinya investor-investor lokal lebih aktif. Lalu, indikator utama yang biasa digunakan para ekonom biasanya adalah penjualan semen. Tapi penjualan semen tidak naik drastis, karena pembangunan properti tidak banyak. Yang menarik justru dua hal mesin dan peralatan produksi dalam negeri tumbuh hampir 29%, serta impor barang modal dari luar negeri naik 30%. Jika barang modal diimpor, itu berarti ada investasi di dalam negeri.

Dalam makroekonomi, kita tahu persamaan Y = C + I + G + X – M. Kalau impor barang modal naik, maka itu otomatis masuk ke investasi. Jadi meskipun tidak terlihat dalam konsumsi langsung, secara statistik tetap dihitung sebagai investasi.

Ini sesuai dengan System of National Accounts 2008 yang diterbitkan oleh PBB. Dalam manual itu jelas disebut bahwa pembelian barang modal dari impor masuk dalam kategori investasi. Jadi memang angka investasi naik, meskipun dalam PDB M (impor) kemudian dikurangkan lagi.

Hal lain yang menarik adalah kawasan ekonomi khusus. Presiden memberi dukungan besar agar BPS bisa mengakses data kawasan ini. Hasilnya, aset di kawasan ekonomi khusus naik 165% secara year-on-year dari kuartal II 2024 ke kuartal II 2025. Sektor yang masuk beragam seperti tambang nikel, pariwisata, hingga industri.

Batam menjadi contoh paling menonjol. Pertumbuhan di sana luar biasa. Dulu akses datanya sulit, sekarang dengan survei representatif BPS bisa menangkap gambaran lebih akurat. Dukungan Presiden membuat estimasi bisa lebih mendekati fakta.

Dari sisi konsumsi rumah tangga, masyarakat dengan pendapatan lebih memilih memiliki kendaraan bermotor, khususnya mobil. Ini tetap menjadi indikator penting konsumsi kelas menengah dan atas. Namun, transportasi publik belum cukup baik sehingga shifting terjadi.

Kita melihat ada structural change. Ke depan, bisnis kendaraan tidak lagi menarik, melainkan berubah menjadi bisnis mobilitas. Penjualan mobil turun, tetapi rental kendaraan naik drastis. Sama halnya dengan pola belanja dari offline bergeser ke online. Mall lebih banyak dipakai untuk rekreasi, bukan transaksi.

Pergeseran ini juga terlihat pada leisure economy. Kelas menengah, meski gajinya terbatas, tetap menyisihkan uang untuk hiburan atau rekreasi. Konsumsinya berubah, dari barang sekunder menjadi sekadar makan bersama teman atau keluarga di mall, yang masih bisa leluasa melakukan rekreasi adalah kelas menengah.

Sementara kelas menengah ke bawah perlu dicek kembali. Kalaupun mereka melakukan rekreasi, sering kali sifatnya lebih sebagai “escape” atau healing. Bahkan ada yang rela berhutang agar bisa membeli tiket perjalanan, menyewa mobil, dan sebagainya. Namun pada dasarnya mereka hidup dari pinjaman ke pinjaman.

Bagaimana menjelaskan hiruk-pikuk percakapan di masyarakat, sementara hotel-hotel justru sepi karena pemerintah menurunkan belanja (government spending)? Akibatnya, banyak hotel yang mengalami penurunan okupansi, PHRI dan Apindo melaporkan terjadi PHK di sektor perhotelan. Lalu, ke mana sebenarnya para wisatawan itu?

Fenomena ini pernah dibahas di Bali, jumlah wisatawan naik, tetapi hunian hotel justru turun. Ada pergeseran dalam pemilihan akomodasi. Banyak wisatawan yang memilih homestay, desa wisata, atau rumah warga sebagai tempat menginap. Aktivitas ini sering tidak tercatat dalam statistik resmi, meski sudah terjadi sejak 10 tahun lalu.

Jadi, benar ada pergeseran perilaku wisatawan. Wisatawan domestik meningkat pesat, namun tidak semua tercermin dalam data hotel berbintang.

Isu lain, konsumsi terlihat meningkat, tetapi pendapatan fiskal pemerintah (PPN dan PPNBM) justru menurun, dari Rp332,9 triliun di semester I menjadi Rp267,3 triliun di semester II 2025. Mengapa demikian? Ada shifting dari transaksi langsung menjadi transaksi elektronik/online. Sektor informal pun kini ikut terlibat dalam perdagangan online.

Direktorat Jenderal Pajak perlu segera mengantisipasi perubahan ini, karena shifting aktivitas ekonomi juga berarti shifting potensi pajak. Jika strategi kebijakan tidak mengikuti perubahan struktural dan perilaku, akan terjadi gap antara fakta lapangan dengan penerimaan negara.