Prospek Rupiah Bisa Menguat Jika Fiskal Terkendali

528
Perkembangan Indikator Stabilitas Nilai Rupiah (20 November 2025); Rupiah Menguat
Sumber: Bank Indonesia

Nilai tukar rupiah memasuki periode penuh tantangan. Laporan terbaru dari MUFG Bank menyebutkan prospek mata uang Indonesia tampak kabur akibat ketidakpastian fiskal yang terus membayangi. Ketidakjelasan arah kebijakan pemerintah dalam menjaga defisit anggaran serta kebutuhan pembiayaan yang tinggi menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar. Sentimen ini diperparah oleh faktor eksternal, mulai dari arah suku bunga global hingga arus keluar modal asing.

Sejak awal tahun, rupiah menunjukkan fluktuasi yang cukup tajam. Data yang dikutip Bloomberg menunjukkan mata uang Garuda sempat menembus level Rp16.400 per dolar AS sebelum berangsur stabil kembali ke kisaran Rp16.200–16.300. Namun, stabilitas tersebut dinilai rapuh. Para analis menilai tekanan dapat kembali meningkat jika pasar menilai pemerintah tidak mampu menyeimbangkan ambisi belanja dengan keterbatasan pendapatan.

Menurut catatan MUFG Bank, perhatian utama investor adalah prospek defisit anggaran 2025. Pemerintah Indonesia menargetkan defisit sekitar 2,3–2,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB), angka yang secara nominal masih di bawah batas maksimum 3% sesuai undang-undang. Namun, lonjakan kebutuhan belanja untuk subsidi energi, pembangunan infrastruktur, serta program perlindungan sosial menimbulkan keraguan apakah target tersebut realistis. Jika defisit melebar, beban pembiayaan utang meningkat, yang pada akhirnya memberi tekanan pada nilai tukar rupiah.

Selain itu, penerimaan negara juga menghadapi tantangan. Harga komoditas global, terutama batu bara dan kelapa sawit yang selama ini menopang ekspor, menunjukkan tren melandai. Reuters mencatat penurunan harga batu bara hingga 20% sepanjang semester pertama 2025 dibandingkan periode tahun lalu. Kondisi ini membuat surplus perdagangan berkurang, sehingga mengurangi bantalan eksternal yang selama ini membantu menjaga stabilitas rupiah.

Dari sisi pembiayaan, pemerintah perlu mengeluarkan obligasi dalam jumlah besar. Investor asing biasanya memegang porsi signifikan dalam Surat Berharga Negara (SBN). Namun, kenaikan imbal hasil obligasi AS serta ketidakpastian arah kebijakan The Federal Reserve membuat minat asing terhadap obligasi negara berkembang berkurang. Data Bank Indonesia menunjukkan arus keluar dana asing dari pasar obligasi Indonesia mencapai lebih dari Rp50 triliun sejak awal tahun. Tekanan semacam ini membuat rupiah sulit menguat meski cadangan devisa masih memadai.

Financial Times menekankan bahwa kelemahan rupiah tidak bisa dilepaskan dari konteks regional. Mata uang negara-negara Asia Tenggara lain seperti ringgit Malaysia dan baht Thailand juga mengalami depresiasi signifikan. Namun, rupiah dianggap lebih rentan karena kebutuhan pembiayaan fiskal yang relatif besar dibandingkan beberapa negara tetangga. Dengan demikian, investor global lebih hati-hati menempatkan dana mereka di Indonesia.

Dari perspektif domestik, Bank Indonesia telah berupaya menjaga stabilitas rupiah melalui intervensi ganda di pasar spot dan obligasi, serta mempertahankan suku bunga acuan BI-Rate di level 6,50%. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga daya tarik aset rupiah sekaligus mengendalikan inflasi. Namun, langkah moneter saja dinilai tidak cukup jika ketidakpastian fiskal terus berlanjut. MUFG Bank menegaskan pentingnya koordinasi erat antara otoritas moneter dan fiskal agar pasar memperoleh kejelasan.

Bagi pelaku bisnis, ketidakpastian ini menimbulkan konsekuensi nyata. Importir harus menanggung biaya lebih tinggi akibat pelemahan rupiah, sementara perusahaan dengan utang valas menghadapi risiko lonjakan beban keuangan. Beberapa emiten besar di sektor konsumsi mengakui margin keuntungan tergerus karena biaya bahan baku impor meningkat. Hal ini tercermin dari laporan keuangan kuartal kedua yang dipublikasikan oleh sejumlah perusahaan makanan dan minuman di Bursa Efek Indonesia.

Di sisi lain, eksportir mendapat keuntungan dari rupiah lemah. Namun, manfaat tersebut tidak sepenuhnya menutup risiko jangka panjang. Jika pelemahan rupiah disertai inflasi tinggi, daya beli domestik menurun, sehingga pasar lokal melemah. CNBC Indonesia melaporkan sejumlah perusahaan tekstil khawatir penjualan dalam negeri akan turun meskipun ekspor mendapat dorongan dari kurs.

Pasar tenaga kerja juga berpotensi terdampak. Ketidakpastian ekonomi membuat sebagian perusahaan menunda ekspansi atau perekrutan karyawan baru. Generasi muda yang baru masuk dunia kerja menghadapi tantangan lebih besar, mengingat biaya hidup meningkat lebih cepat daripada kenaikan gaji. Fenomena ini memunculkan diskusi baru tentang apakah “Indonesian Dream” — harapan bahwa kerja keras akan membawa peningkatan standar hidup — masih realistis dalam situasi rupiah yang tertekan.

Meski demikian, peluang untuk memperbaiki persepsi pasar tetap ada. Pemerintah telah menyatakan komitmen untuk menjaga defisit di bawah 3% dan memperluas basis pajak melalui digitalisasi administrasi. Reformasi fiskal, jika dijalankan konsisten, dapat meningkatkan kepercayaan investor. Selain itu, diversifikasi ekspor dari komoditas mentah ke produk manufaktur bernilai tambah dapat membantu memperkuat neraca perdagangan. Bloomberg menilai arah ini penting agar rupiah tidak terlalu bergantung pada fluktuasi harga komoditas global.

Selain faktor fundamental, komunikasi pemerintah juga memegang peran penting. Investor global sangat sensitif terhadap sinyal yang diberikan oleh pejabat terkait defisit, subsidi, atau utang. Transparansi dan konsistensi kebijakan dapat mengurangi premi risiko yang diminta pasar. Sebaliknya, jika pernyataan pejabat sering berubah-ubah, keraguan investor meningkat dan tekanan pada rupiah sulit dihindari.

Dalam jangka menengah, posisi rupiah juga akan dipengaruhi oleh arus investasi langsung. Proyek hilirisasi mineral, energi hijau, dan pembangunan infrastruktur digital berpotensi menarik FDI dalam jumlah besar. Jika terealisasi, arus masuk modal ini dapat memperkuat cadangan devisa dan memberi bantalan tambahan bagi rupiah. Namun, keberhasilan menarik investasi sangat bergantung pada kepastian regulasi dan iklim usaha yang ramah investor.

Penggantian Sri Mulyani, sosok yang selama ini menjadi jangkar kepercayaan pasar berkat disiplin fiskal yang konsisten, langsung menimbulkan guncangan di pasar keuangan. Rupiah melemah lebih dari 1% terhadap dolar AS, indeks saham turun, dan Bank Indonesia terpaksa melakukan intervensi untuk menstabilkan pasar. Investor khawatir langkah Presiden Prabowo Subianto menunjuk Purbaya Yudhi Sadewa sebagai pengganti menandai pergeseran arah kebijakan ke fiskal yang lebih ekspansif. Kekhawatiran ini semakin kuat karena janji pemerintah terkait program sosial besar seperti makan gratis berpotensi memperlebar defisit dan menambah beban pembiayaan utang.

Meski demikian, kehadiran Purbaya juga bisa dipandang sebagai peluang jangka menengah jika ia mampu menjaga disiplin fiskal sambil mendorong pertumbuhan ekonomi. Latar belakangnya sebagai ekonom dan pengalaman memimpin lembaga keuangan memberi modal kredibilitas, meski belum sekuat Sri Mulyani di mata investor global. Ia menegaskan target pertumbuhan 6–7 persen menuju 8 persen, seraya berkomitmen menjaga stabilitas fiskal. Namun, pasar masih menunggu bukti konkret berupa peta jalan kebijakan yang jelas, transparansi komunikasi, serta sinyal kuat bahwa belanja besar pemerintah akan tetap terkendali. Dari sinilah prospek rupiah ke depan akan sangat ditentukan.

Prospek rupiah saat ini memang dibayangi ketidakpastian fiskal sebagaimana disampaikan MUFG Bank. Defisit anggaran, kebutuhan pembiayaan, dan ketergantungan pada komoditas menimbulkan kekhawatiran pasar. Namun, bukan berarti peluang perbaikan tertutup. Dengan koordinasi kebijakan moneter-fiskal yang erat, disiplin fiskal yang konsisten, serta reformasi struktural yang mendorong diversifikasi ekonomi, rupiah tetap memiliki ruang untuk stabil. Tantangannya adalah bagaimana pemerintah meyakinkan pasar bahwa komitmen tersebut bukan sekadar janji, melainkan langkah nyata yang berkesinambungan.