(Vibiznews-Kolom) Fitch Ratings menaikkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2025, sebuah langkah yang menarik perhatian pasar di tengah sentimen hati-hati mengenai prospek dunia. Lembaga pemeringkat internasional itu menegaskan bahwa meski awan gelap masih menggantung di atas Amerika Serikat, dua pusat ekonomi lain—China dan Eropa—menunjukkan daya tahan yang lebih baik daripada prediksi sebelumnya. Hasilnya, Fitch merasa cukup percaya diri untuk mengangkat outlook, meski tetap menekankan bahwa risiko eksternal belum hilang.
Kenaikan proyeksi ini membawa pesan penting. Selama ini, perbincangan global banyak didominasi oleh kekhawatiran atas AS, baik karena tingginya suku bunga The Fed yang berkepanjangan, tekanan pada rumah tangga, maupun potensi perlambatan belanja. Namun Fitch menyoroti bahwa dunia tidak lagi bergantung pada satu mesin tunggal. Pemulihan parsial di Eropa dan stabilisasi di China memberi ruang bagi narasi yang lebih berimbang. Investor di pasar keuangan segera membaca sinyal ini sebagai tanda bahwa peta pertumbuhan global kian terdiversifikasi, meski bukan tanpa tantangan.
Di China, meskipun krisis sektor properti masih menghantui dan konsumsi domestik belum sepenuhnya pulih, kebijakan pemerintah untuk memperlonggar kredit dan mendorong belanja infrastruktur mulai memberikan efek. Indikator manufaktur menunjukkan tren stabil, sementara ekspor mulai kembali pulih setelah sempat terguncang oleh ketidakpastian permintaan global. Fitch memandang langkah Beijing sebagai upaya mempertahankan momentum, meski pertumbuhan dua digit seperti dekade lalu sudah tidak realistis lagi. Stabilitas pada level 4 hingga 5 persen cukup untuk menopang permintaan regional, terutama bagi pemasok komoditas dan negara Asia lain yang menjadi bagian rantai pasok.
Sementara di Eropa, tantangan utama datang dari biaya energi tinggi yang sempat membebani industri. Namun inflasi yang kini melandai membuka jalan bagi Bank Sentral Eropa untuk mulai mengarah ke kebijakan lebih akomodatif. Perbaikan rantai pasok, peningkatan ekspor ke kawasan Asia, serta stimulus fiskal terbatas di beberapa negara anggota Uni Eropa turut mendukung outlook yang lebih positif. Fitch menilai perbaikan ini cukup untuk menyeimbangkan pelemahan dari sisi lain dunia, sehingga prospek Eropa tidak seburuk prediksi suram pada tahun lalu.
Sebaliknya, Amerika Serikat justru menjadi titik rawan dalam laporan Fitch. Pertumbuhan konsumsi melemah karena beban bunga hipotek dan kartu kredit semakin tinggi, sementara pasar tenaga kerja menunjukkan tanda pendinginan. Pelaku usaha menunda ekspansi akibat ketidakpastian arah suku bunga, dan iklim politik domestik menjelang pemilu menambah lapisan risiko. Fitch memang tidak menyebut resesi sebagai skenario utama, tetapi jelas bahwa AS tidak lagi menjadi motor tunggal perekonomian dunia.
Pandangan Fitch ini berbeda nada dengan sejumlah analis lain yang cenderung menekankan risiko perlambatan global. Bagi investor, kabar bahwa Eropa dan China masih memiliki daya tahan memberi sedikit ruang lega, karena artinya ada penyeimbang terhadap risiko yang bersumber dari AS. Narasi ini penting, sebab beberapa bulan terakhir pasar keuangan sangat fokus pada kelemahan Tiongkok, terutama terkait properti dan konsumsi. Kini, dengan adanya sinyal stabilisasi, persepsi bahwa China sedang menuju perlambatan tak terkendali mulai terkoreksi.
Namun optimisme Fitch tentu tidak berdiri sendiri. Ada sejumlah risiko besar yang tetap harus diantisipasi. Konflik geopolitik masih menjadi faktor dominan, baik ketegangan di Asia Timur maupun perang berkepanjangan di Eropa Timur. Harga energi dan pangan tetap rentan terhadap gangguan pasokan. Selain itu, utang publik yang terus meningkat di banyak negara membatasi ruang bagi stimulus baru. Jika salah satu faktor risiko ini memuncak, pertumbuhan global bisa kembali terkoreksi.
Salah satu fokus penting dalam analisis Fitch adalah implikasinya bagi pasar obligasi global. Jika pertumbuhan dunia relatif lebih sehat di luar AS, bank sentral di Asia dan Eropa mungkin merasa lebih nyaman untuk menurunkan suku bunga lebih cepat. Ini akan mendorong permintaan terhadap obligasi negara mereka, sehingga menekan biaya pinjaman pemerintah. Sebaliknya, AS dengan tekanan inflasi yang masih ada mungkin harus mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama, menyebabkan imbal hasil obligasi pemerintah AS tetap kuat. Divergensi arah kebijakan ini menciptakan lanskap baru: investor akan lebih selektif, menyeimbangkan antara imbal hasil tinggi di AS dengan peluang pertumbuhan di kawasan lain.
Arus modal ke emerging markets juga berpotensi terdampak besar. Dengan melemahnya prospek AS, sebagian investor bisa mengalihkan portofolio ke negara berkembang yang menawarkan kombinasi pertumbuhan kuat dan stabilitas makro. India, Vietnam, Brasil, dan Indonesia berada dalam radar utama. Indonesia misalnya, bisa memanfaatkan momentum jika mampu menunjukkan kredibilitas fiskal dan konsistensi kebijakan moneter. Namun risiko sudden outflow tetap ada, karena bila gejolak di AS memicu koreksi global, pasar negara berkembang biasanya terkena dampak pertama.
Dalam konteks Indonesia, outlook Fitch ini bisa dilihat sebagai peluang sekaligus tantangan. Perekonomian domestik masih bertumpu pada konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah, dengan tambahan dorongan dari ekspor komoditas. Jika permintaan dari China dan Eropa membaik, ekspor nikel, batu bara, dan produk manufaktur bisa terangkat. Tetapi di sisi lain, ketergantungan pada arus modal asing untuk membiayai defisit anggaran dan menjaga nilai rupiah tetap tinggi. Pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani ke Purbaya Yudhi Sadewa menambah dimensi baru, karena pasar masih menunggu konsistensi disiplin fiskal di bawah kepemimpinan yang baru.
Sri Mulyani selama bertahun-tahun menjadi simbol kredibilitas Indonesia di mata investor global. Kehadirannya menenangkan pasar bahwa defisit akan dijaga, utang dikelola hati-hati, dan komunikasi dengan investor berjalan lancar. Pergantiannya, meski menghadirkan ketidakpastian jangka pendek, bisa menjadi momentum bagi kebijakan fiskal yang lebih adaptif. Jika Purbaya mampu menunjukkan komitmen menjaga disiplin meski dengan gaya lebih ekspansif, rupiah bisa tetap stabil. Namun jika pasar membaca sinyal adanya pelonggaran berlebihan, risiko pelemahan mata uang dan kenaikan imbal hasil obligasi tak bisa dihindari.
Kondisi eksternal yang terfragmentasi membuat Indonesia harus cermat membaca arah kebijakan moneter global. Jika Bank Sentral Eropa dan PBOC lebih longgar, sementara The Fed menahan suku bunga tinggi, maka arus modal berpotensi berpindah dengan cepat. Ini menuntut strategi manajemen cadangan devisa dan koordinasi erat antara fiskal dan moneter. Bank Indonesia bisa menjaga stabilitas rupiah lewat intervensi dan suku bunga, tetapi fondasi fiskal tetap menjadi kunci utama.
Risiko jangka panjang juga patut diperhatikan. Dunia masih berada dalam proses deglobalisasi parsial, dengan semakin banyak negara mendorong proteksionisme dan kemandirian rantai pasok. Ini bisa berarti biaya produksi global yang lebih tinggi, sehingga inflasi struktural tetap bertahan. Dalam kondisi demikian, pertumbuhan global memang bisa stabil, tetapi pada level yang tidak sekuat era perdagangan bebas sebelumnya. Fitch dalam analisanya menyiratkan bahwa dunia sedang memasuki babak baru: pertumbuhan tersebar di banyak pusat, tetapi dengan risiko geopolitik dan inflasi yang terus membayangi.
Skenario alternatif juga perlu dicermati. Jika The Fed menunda pemangkasan suku bunga hingga akhir 2025 karena inflasi AS bertahan tinggi, maka dolar bisa kembali menguat dan memberi tekanan ke mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Sebaliknya, jika pelemahan AS lebih tajam dari prediksi, pasar bisa beralih besar-besaran ke aset di Eropa dan Asia, menciptakan lonjakan arus modal yang mungkin bergejolak. Investor harus menyiapkan diri menghadapi dua skenario yang sama-sama mungkin, sementara negara berkembang harus membangun ketahanan agar tidak mudah terguncang.
Revisi optimistis Fitch menjadi pengingat bahwa narasi global tidak tunggal. Dunia memang menghadapi ketidakpastian besar dari AS, tetapi ada ruang bagi China, Eropa, dan negara berkembang untuk menopang keseimbangan. Diversifikasi pusat pertumbuhan ini bisa menjadi berkah, asalkan risiko geopolitik dan fiskal dikelola dengan baik. Bagi Indonesia, tantangan terbesar adalah menjaga kredibilitas di mata investor di tengah transisi kebijakan domestik. Jika berhasil, maka stabilitas rupiah dan aliran modal bisa bertahan, memungkinkan ekonomi nasional memetik manfaat dari peta pertumbuhan global yang lebih terdistribusi.
Proyeksi Fitch bukanlah kepastian, melainkan sketsa jalan yang mungkin dilalui dunia. Pertumbuhan global memang bisa lebih baik dari dugaan, tetapi hanya jika kebijakan di berbagai kawasan selaras dengan kebutuhan zaman. Dunia kini berada di persimpangan, di mana optimisme dan kehati-hatian harus berjalan seimbang. Dan bagi negara seperti Indonesia, keseimbangan itu akan sangat menentukan arah rupiah, investasi, dan daya saing di tahun-tahun mendatang.



