(Vibiznews-Kolom) “Menikahi rumahnya, pacari bunganya,” begitu para agen properti kerap menasihati calon pembeli. Kini, banyak orang Amerika bergegas memanfaatkan peluang untuk melakukan refinancing dan menghemat pembayaran bulanan KPR mereka. Namun, seperti apa harga yang akan dibebankan pasar demi mendapat hak istimewa itu?
Penurunan suku bunga KPR baru-baru ini memicu lonjakan jumlah pemilik rumah yang ingin melakukan refinancing atas pinjaman yang mereka ambil ketika bunganya masih berada di kisaran 7% hingga 8%. Indeks aktivitas aplikasi refinancing mingguan dari Mortgage Bankers Association pada pertengahan November tercatat lebih dari dua kali lipat dibandingkan setahun sebelumnya.
Reaksi ini tidak mengherankan mengingat turunnya suku bunga KPR tetap 30 tahun. Rata-rata nasional mingguan bergeser dari sekitar 6,8% setahun lalu menjadi di bawah 6,3% saat ini, menurut pemantauan Freddie Mac. Namun, kecepatan ekstrem dengan mana orang-orang bergerak mencari bunga baru benar-benar mencengangkan.
Secara historis, bahkan mereka yang memang berniat melakukan refinancing umumnya menunggu sampai ada insentif besar berupa penurunan bunga yang signifikan. Proses refinancing memakan waktu, dengan biaya mulai dari penilaian properti hingga jasa hukum.
Namun sekarang, orang bergerak jauh lebih cepat dari sebelumnya. Berdasarkan laju pelunasan awal pada Oktober, lebih dari separuh nilai saldo KPR yang memiliki insentif untuk menurunkan bunganya rata-rata sebesar 0,75 poin persentase diperkirakan akan dilunasi lebih cepat dalam periode satu tahun penuh. Angka ini berdasarkan data pinjaman Freddie Mac berumur 6 hingga 24 bulan yang dihimpun oleh tim Bright Meadow Capital dari Mariner Investment Group sebagai pengelola aset alternatif.
Laju tersebut lebih cepat dibandingkan Oktober tahun lalu. Sepuluh tahun lalu, pada 2015, tingkat pelunasan awal hanya kurang dari sepertiga dari saldo yang memenuhi insentif serupa.
Mengapa terburu-buru? Ada banyak pendorongnya. Tingginya suku bunga dan melambungnya harga rumah membuat penghematan nominal dari bunga yang sedikit lebih rendah pun terasa signifikan. Apa pun alasannya, proses refinancing kini memang lebih mudah bagi sebagian peminjam.
Beberapa perusahaan originasi KPR menekankan model bisnis yang mencakup pemberian pinjaman sekaligus jasa servisnya—yaitu mengumpulkan pembayaran bulanan. Hubungan servis seperti ini membuat mereka lebih efektif mengejar refinancing dari nasabah mereka sendiri, memberi akses data tambahan, dan mempercepat proses. Dengan semakin banyaknya tahapan transaksi yang berlangsung secara digital, sejumlah originator menjadi sangat mahir menangkap peluang refinancing dari nasabah yang sudah mereka layani.
Di perusahaan KPR nonbank, tingkat retensi refinancing terhadap nasabah servis mencapai 29% pada kuartal kedua, menurut data Intercontinental Exchange. Angka ini lebih dari dua kali lipat tingkat retensi bank.
Perubahan ini bukan hanya berdampak pada peminjam rumah. Kecepatan pelunasan awal sebuah KPR—termasuk melalui refinancing—sangat penting bagi investor yang memegang pinjaman hipotek maupun obligasi yang menggabungkannya.
Salah satu risiko utama dalam membeli KPR yang dijamin lembaga pemerintah—yang menghapus sebagian besar risiko kredit—adalah kemungkinan pelunasan awal saat suku bunga turun.
Saat itu terjadi, investor harus menanamkan kembali dana pada tingkat bunga yang lebih rendah, sehingga kehilangan manfaat bunga tetap. Karena itulah, ketika peminjam melakukan refinancing lebih cepat dari yang diperkirakan, investor obligasi bisa kecolongan.
Pada akhirnya, investor obligasi bisa menuntut kompensasi tambahan atas risiko itu dalam bentuk imbal hasil lebih tinggi. Hal ini pada praktiknya menghasilkan selisih—atau “spread”—yang lebih lebar antara imbal hasil obligasi berbasis KPR dan imbal hasil Treasury sebagai tolok ukur. Spread yang semakin lebar dapat berujung pada suku bunga KPR yang lebih tinggi.
Meski spread pada banyak jenis kredit seperti obligasi korporasi berada pada level historis yang ketat, kondisi tersebut tidak berlaku bagi sekuritas berbasis KPR agensi, yaitu produk yang didukung lembaga seperti Freddie Mac dan Fannie Mae.
“Salah satu alasan utama spread itu melebar adalah karena peminjam semakin mahir menggunakan opsi pelunasan awal,” ujar Adam Rilander, chief investment officer Bright Meadow. Ia menambahkan, “Kemungkinan ini akan membuat suku bunga KPR lebih tinggi dalam jangka panjang, karena ada biayanya.”
Saat ini, selisih antara imbal hasil obligasi agensi 30 tahun dan Treasury yang relevan berada di kisaran 1,3 poin persentase, menurut kompilasi analis Bank of America. Angka itu lebih tinggi dari rata-rata 10 tahunan, sekaligus jauh dari titik terendah pada periode tersebut, yang sekitar 0,6 poin persentase.
Suku bunga KPR sebenarnya bisa terdorong turun apabila pasar memperkirakan suku bunga acuan akan lebih rendah dalam jangka lebih panjang. Atau jika permintaan terhadap obligasi KPR kembali meningkat. The Wall Street Journal baru-baru ini melaporkan bahwa Fannie Mae dan Freddie Mac mendapat izin untuk meningkatkan pembelian sekuritas berbasis KPR.
Namun, spread bisa tetap tinggi selama pemberi pinjaman masih khawatir akan pelunasan awal yang terlalu cepat. Bagi peminjam, pilihan untuk refinancing di kemudian hari bisa berarti membayar lebih mahal saat ini.
Dampak Bagi Indonesia
Fenomena perlombaan refinancing di Amerika Serikat memang tidak memiliki hubungan langsung dengan pasar KPR Indonesia, tetapi efek rambatannya dapat terasa melalui jalur keuangan global. Pasar KPR berbasis agensi di AS merupakan salah satu pasar obligasi terbesar di dunia, dan ketika imbal hasilnya meningkat akibat kekhawatiran investor terhadap pelunasan cepat, arus modal global bisa bergeser. Investor internasional cenderung mencari imbal hasil yang lebih menarik, dan efeknya dapat memicu perpindahan dana dari negara berkembang seperti Indonesia ke aset berisiko rendah di AS. Pergeseran seperti ini sering kali membuat tekanan pada rupiah dan meningkatkan volatilitas pasar keuangan domestik.
Kenaikan imbal hasil obligasi KPR AS turut memengaruhi persepsi pasar terhadap arah suku bunga global. Ketika investor melihat risiko pendanaan meningkat, ekspektasi bahwa suku bunga dunia akan bertahan lebih tinggi menjadi semakin kuat. Dalam konteks Indonesia, hal ini membuat Bank Indonesia lebih berhati-hati menurunkan suku bunga acuan, karena penurunan yang terlalu agresif dapat memicu keluarnya modal asing. Kondisi ini pada akhirnya menjaga suku bunga kredit di Indonesia tetap berada pada level relatif tinggi, termasuk pada produk KPR.
Meskipun struktur pasar KPR Indonesia berbeda dengan AS, dengan mayoritas kredit berbasis bunga tetap jangka pendek yang kemudian berubah menjadi bunga mengambang, dinamika global tetap memengaruhi biaya pendanaan bank. Jika pasar global menuntut imbal hasil lebih tinggi, bank domestik menghadapi biaya dana yang lebih mahal. Hal ini berimbas pada kemampuan mereka untuk menurunkan bunga KPR, sehingga harga kredit perumahan di Indonesia sulit turun meski ada ruang untuk pelonggaran moneter di dalam negeri.
Dampak lanjutan dari kondisi pendanaan yang lebih ketat dapat dirasakan di sektor properti. Pertumbuhan kredit rumah, terutama di segmen menengah dan atas, bisa melambat karena suku bunga yang masih tinggi menahan minat pembeli. Pengembang properti, yang sangat peka terhadap biaya pembiayaan, mungkin juga menunda atau mengurangi peluncuran proyek baru. Meskipun tidak terjadi gejolak besar, penyesuaian semacam ini dapat mempengaruhi momentum pemulihan sektor properti nasional.
Bagi investor Indonesia yang memiliki eksposur pada obligasi global, volatilitas pasar KPR AS bisa ikut memengaruhi nilai portofolio mereka. Sekuritas berbasis KPR yang berfluktuasi akibat kekhawatiran prepayment risk akan berdampak pada nilai aset reksa dana pendapatan tetap yang berinvestasi secara internasional. Manajer investasi kemungkinan akan menata ulang alokasi aset mereka, dan pergerakan ini dapat memunculkan dinamika tambahan pada pasar obligasi domestik.
Meskipun masyarakat Indonesia tidak mengalami perlombaan refinancing seperti yang terjadi di AS, dampak tidak langsung melalui arus modal global, persepsi risiko investor, dan biaya pendanaan bank membuat Indonesia tetap terhubung dengan perkembangan tersebut. Pengaruh-pengaruh ini dapat menjaga suku bunga domestik tetap tinggi dan menahan penurunan bunga KPR, sekaligus memengaruhi stabilitas pasar properti dan perkembangan sektor keuangan secara lebih luas.



