Mengapa Pasar Saham Jepang Masih Bisa Terus Naik

78
Ekonomi Jepang

(Vibiznews-Kolom) Jepang menjadi titik terang global pada 2025. Meski banyak kekhawatiran soal beban utangnya, negara ini kemungkinan besar akan tetap demikian pada 2026.

Negara tersebut kini berada kuat dalam fase reflasi, dengan pertumbuhan, upah, dan harga sama-sama berada dalam siklus naik. Bank of Japan merespons kondisi ini dengan menaikkan suku bunga ke level tertinggi dalam tiga dekade, yang memicu kekhawatiran di kalangan sebagian komentator dan investor. Namun langkah ini seharusnya dipandang sebagai suara kepercayaan yang kuat terhadap perekonomian Jepang, yang telah terbukti tangguh menghadapi tarif dan guncangan global.

Indeks acuan Nikkei 225 telah naik 26% sepanjang tahun ini, jauh melampaui kenaikan S&P 500 yang sebesar 17%. Dalam kondisi normal, investor akan memperkirakan kenaikan tersebut tergerus dalam denominasi dolar akibat pelemahan yen. Pada siklus-siklus sebelumnya, Nikkei biasanya mendapat dorongan dari depresiasi yen, yang meningkatkan laba eksportir Jepang. Yen memang melemah belakangan ini dan memicu kegelisahan pasar. Namun untuk keseluruhan 2025, nilainya pada dasarnya masih datar terhadap dolar.

Kinerja unggul Jepang sebagian disebabkan oleh perannya yang masih penting dalam rantai pasok teknologi global, sehingga memungkinkan negara ini ikut menikmati optimisme seputar kecerdasan buatan. Faktor lain adalah keberhasilan reformasi tata kelola perusahaan, yang bermula sejak masa jabatan kedua Shinzo Abe sebagai perdana menteri pada 2012 hingga 2020. Reformasi tersebut meningkatkan efisiensi korporasi dan imbal hasil keuangan.

Sumber kekhawatiran utama adalah beban utang Jepang yang terkenal tinggi. Total utang publik mencapai sekitar 200% dari produk domestik bruto. Di samping itu, imbal hasil obligasi pemerintah Jepang terus meningkat sebagai respons terhadap pengetatan kebijakan Bank of Japan dan belanja stimulus.

Paket pemotongan pajak dan belanja fiskal dari Perdana Menteri yang baru dilantik, Sanae Takaichi, bernilai sekitar 3,4% dari PDB, menurut Fitch Ratings. Imbal hasil obligasi pemerintah Jepang tenor 10 tahun telah melonjak dari 1,09% menjadi 2,08% sepanjang tahun ini, sementara imbal hasil obligasi tenor 30 tahun naik dari 2,28% menjadi 3,43%, menurut FactSet.

Namun Jepang memiliki berbagai alat untuk mengelola biaya pembayaran utang, ujar Thomas Mathews, kepala pasar Asia Pasifik di Capital Economics. Salah satunya, rata-rata jatuh tempo utang pemerintah relatif panjang, lebih dari sembilan tahun, menurut Fitch Ratings. Angka ini dibandingkan dengan sekitar enam tahun di Amerika Serikat.

Dengan demikian, pergerakan imbal hasil obligasi hanya akan berdampak bertahap terhadap biaya pembiayaan, karena utang yang sudah diterbitkan membutuhkan waktu lama untuk diperbarui. Selain itu, Kementerian Keuangan Jepang awal tahun ini memangkas rencana penerbitan utang berjangka sangat panjang, yang justru mengalami kenaikan imbal hasil paling tajam.

Secara lebih luas, yang perlu diingat investor adalah bahwa rasio utang terhadap PDB Jepang yang tinggi sebagian besar merupakan hasil dari puluhan tahun pertumbuhan stagnan dan deflasi, bukan akibat belanja yang berlebihan. Kondisi tersebut secara bertahap mengecilkan penyebut utama dalam persamaan utang terhadap PDB.

Dalam beberapa tahun terakhir, proses ini justru berbalik arah. Pertumbuhan PDB nominal rata-rata mencapai 3,1% dalam empat tahun terakhir, dan rasio utang terhadap PDB bahkan turun dari 212% pada 2022 menjadi sekitar 200% saat ini. Capital Economics menyebut Jepang justru sedang melakukan deleveraging lebih cepat dibandingkan negara maju besar lainnya.

Yang penting, meskipun paket stimulus Takaichi mengandung sejumlah konsesi politik, paket tersebut juga mengalokasikan dana ke sektor-sektor strategis yang juga menjadi fokus belanja para pesaing internasional Jepang, seperti semikonduktor dan perkapalan. Paket ini juga akan meningkatkan belanja pertahanan menjadi 2% dari PDB, yang tampak masuk akal mengingat lingkungan kawasan Jepang. Ini jelas bukan pemborosan besar-besaran.

Kekhawatiran terakhir adalah bahwa kenaikan imbal hasil obligasi di Jepang akan menarik tabungan domestik kembali ke dalam negeri, alih-alih mengalir ke Amerika Serikat untuk membiayai defisit anggaran AS. Namun hal ini justru bertentangan dengan anggapan bahwa Jepang akan kesulitan membiayai utangnya sendiri.

Selain itu, potensi dampaknya terhadap Amerika Serikat tidak boleh dibesar-besarkan. Sementara imbal hasil obligasi Jepang tenor 10 tahun melonjak satu poin persentase pada 2025, imbal hasil obligasi Treasury AS dengan tenor yang sama justru turun sekitar 0,4 poin persentase.

Risiko sebenarnya bagi obligasi Treasury AS adalah pelemahan nilai dolar, atau hilangnya kepercayaan yang lebih luas terhadap institusi-institusi AS—seperti terganggunya independensi Federal Reserve—yang dapat merusak status dolar sebagai mata uang cadangan dunia. Singkatnya, risiko tersebut bersumber dari masalah domestik AS, bukan dari Jepang.

Justru risiko-risiko inilah yang menegaskan mengapa masuk akal bagi investor untuk mendiversifikasi portofolio mereka ke luar Amerika Serikat. Jepang terlihat sebagai salah satu tempat terbaik untuk menempatkan dana pada 2026.