(Vibiznews-Kolom) Di dunia investasi, ada satu topik yang sering memicu perdebatan panjang – dividen. Apakah benar kita harus menyukai dividen? Apakah memburu saham yang rajin membayar dividen adalah strategi jitu, atau hanya ilusi psikologis belaka?
Selama puluhan tahun, profesor-profesor keuangan terkemuka kerap menganggap cinta investor terhadap dividen sebagai sesuatu yang keliru. Menurut teori klasik, satu-satunya tujuan investasi adalah memaksimalkan kekayaan total. Dividen hanyalah satu bagian kecil dari total return. Bahkan, ketika perusahaan membayar dividen, nilai perusahaan otomatis turun sebesar dividen itu. Jadi, secara logika, seharusnya investor tak peduli apakah perusahaan membayar dividen atau tidak.
Namun ternyata, teori tak selalu sejalan dengan kenyataan. Dalam praktiknya, banyak investor—baik ritel maupun institusi—sangat menghargai dividen. Mengapa?
Untuk menjawab ini, kita perlu menoleh ke sejarah dan sains keuangan perilaku.
Mengapa Dividen Disukai?
Pada 1960-an, studi terkenal oleh Modigliani dan Miller menyatakan bahwa dividen tak penting bagi nilai perusahaan. Mereka berargumen bahwa investor bisa menciptakan “dividen sendiri” dengan menjual sebagian saham jika butuh uang tunai. Masuk akal secara matematis.
Tapi psikologi manusia berbeda. Ilmu keuangan perilaku (behavioral finance), yang berkembang pesat sejak 1980-an, menyadari bahwa manusia punya cara berpikir yang tak selalu rasional.
Salah satu konsep penting adalah “mental accounting”—cara kita mengelompokkan uang dalam kepala. Banyak orang menaruh dividen dan bunga dalam “kotak penghasilan”, seperti gaji yang sah untuk dibelanjakan. Sebaliknya, modal pokok atau harga saham kita masukkan ke dalam “kotak tabungan”, yang hanya akan disentuh saat sangat mendesak.
Itu sebabnya banyak investor lebih nyaman menghabiskan dividen daripada menjual saham yang nilainya naik. Padahal, hasil akhirnya bisa sama saja.
Tapi kenyamanan psikologis itu ternyata membawa dampak positif. Studi terbaru menunjukkan bahwa preferensi terhadap dividen bukan sekadar emosi kosong—ia bisa menjadi strategi yang rasional juga.
Studi Vanguard, Apa yang Sebenarnya Dilakukan Investor?
Profesor Meir Statman, bersama manajer dari Vanguard, Paulo Costa dan Sharon Hill, baru-baru ini meneliti perilaku ribuan investor. Mereka membandingkan dua kelompok yaitu investor yang memilih reksa dana saham berdividen dan mereka yang memilih dana saham biasa.
Ternyata, mayoritas investor dari kedua kelompok justru tidak mengambil uang dividen untuk dipakai. Mereka malah menginvestasikannya kembali. Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang belum pensiun.
Jadi, mengapa mereka memilih dana berdividen kalau uangnya tidak dipakai?
Ketika ditanya, sebagian besar menjawab bahwa mereka percaya saham berdividen memberikan imbal hasil lebih tinggi dan cenderung lebih stabil.
Dan faktanya? Mereka benar.
Dividen dalam Angka, 50 Tahun Data Tidak Berbohong
Data dari Ned Davis Research yang mencakup 50 tahun terakhir memperlihatkan bahwa saham-saham pembayar dividen di indeks S&P 500 memberikan imbal hasil tahunan sebesar 9,2%. Bandingkan dengan saham yang tidak membayar dividen—hanya 4,3% per tahun.
Dengan kata lain, dalam jangka panjang, investor yang memegang saham berdividen bisa menghasilkan kekayaan 10 kali lebih besar dibandingkan mereka yang hanya memegang saham non-dividen. Bukan hanya soal imbal hasil, tapi juga soal stabilitas. Saham-saham berdividen cenderung mengalami fluktuasi harga yang lebih rendah.
Ini mirip seperti memilih mobil. Saham non-dividen mungkin seperti mobil sport mahal—bisa melesat cepat, tapi risikonya tinggi. Saham berdividen ibarat Toyota Corolla—mungkin tak secepat Ferrari, tapi bisa diandalkan dan awet sampai tujuan jauh.
Tapi Bagaimana dengan Warren Buffett?
Tentu saja, ada pengecualian. Salah satu saham terbaik sepanjang masa justru tidak membayar dividen, Berkshire Hathaway milik Warren Buffett.
Perusahaan ini hanya sekali membayar dividen, pada tahun 1967, sebesar 10 sen. Buffett bahkan bercanda bahwa ia “mungkin sedang di kamar mandi” saat keputusan itu dibuat. Sejak itu, Berkshire tidak pernah lagi membayar dividen.
Alih-alih, Buffett memilih untuk menginvestasikan kembali seluruh laba perusahaan. Strategi ini berhasil spektakuler, menjadikan Berkshire sebagai legenda pasar saham.
Tapi ada catatan penting: saham-saham yang dimiliki Berkshire dalam portofolionya kebanyakan adalah perusahaan berkualitas tinggi dan banyak yang juga rutin membayar dividen.
Apa yang Membuat Saham Berdividen Menarik?
Ada dua karakteristik utama yang melekat pada saham-saham berdividen, dan keduanya dikenal luas sebagai faktor kesuksesan jangka panjang adalah value dan quality.
-
Value – Saham berdividen umumnya adalah perusahaan dengan laba konsisten. Mereka punya cukup keuntungan untuk dibagikan kepada pemegang saham. Harga saham mereka biasanya juga relatif lebih murah dibandingkan dengan laba atau arus kas yang dihasilkan.
-
Quality – Perusahaan yang rutin membayar dividen cenderung lebih disiplin dalam mengelola uang. Karena sebagian dari laba mereka harus dibagikan, mereka tidak bisa sembarangan menghamburkan dana untuk ekspansi yang gegabah atau akuisisi yang sia-sia.
Selain itu, perusahaan ini sering punya model bisnis yang sudah terbukti dan stabil, seperti perusahaan barang konsumsi, perbankan, atau utilitas.
Namun, perlu dicatat bahwa dividen bukan satu-satunya cara mengembalikan nilai kepada investor. Buyback atau pembelian kembali saham juga bisa menjadi sinyal kepercayaan diri manajemen dan alat yang efisien dari sisi pajak. Tapi, dividen memiliki satu keunggulan besar: mereka nyata, langsung masuk rekening, dan tidak bisa dimanipulasi.
Bagaimana dengan Investor di Indonesia?
Di Indonesia, tren investor yang menyukai dividen juga makin terasa. Banyak investor ritel lokal memburu saham-saham seperti Telkom, Bank BCA, atau Indofood—semua dikenal karena membayar dividen secara rutin.
Di sisi lain, budaya “investasi untuk penghasilan pasif” makin tumbuh. Dividen menjadi semacam gaji kedua bagi investor yang tidak ingin menjual saham. Ini sangat relevan dalam konteks masyarakat yang ingin pensiun dini atau punya penghasilan tambahan di luar pekerjaan utama.
Dengan berkembangnya platform investasi digital dan edukasi keuangan, banyak investor muda juga mulai menyadari bahwa dividen bukan hanya soal “uang jajan”, tetapi strategi akumulasi jangka panjang.
Tapi Apakah Semua Saham Berdividen Layak Dibeli?
Tidak juga.
Investor tetap harus selektif. Tidak semua dividen sehat. Ada perusahaan yang membayar dividen tinggi, tapi dari utang atau dengan mengorbankan belanja modal. Ini bisa menjadi sinyal bahaya. Istilahnya, “dividen jebakan”.
Selain itu, dividen yang terlalu tinggi bisa menunjukkan bahwa pasar menilai masa depan perusahaan itu suram, sehingga harganya jatuh dan yield-nya tampak tinggi.
Maka penting untuk melihat rasio pembayaran dividen terhadap laba (dividend payout ratio), kestabilan arus kas, dan profil bisnis perusahaan secara keseluruhan.
Jadi, Haruskah Kita Mengejar Dividen?
Jawabannya, tidaklah wajib, tapi layak dipertimbangkan—terutama bagi investor jangka panjang yang menghargai stabilitas, disiplin, dan kejelasan arus kas.
Dividen bukan jaminan sukses. Tapi mereka sering datang dari perusahaan yang memang layak untuk dimiliki. Dan bagi banyak investor, terutama yang ingin hidup dari portofolio sahamnya suatu hari nanti, dividen bisa menjadi fondasi strategi keuangan yang kuat.
Mereka bukan sekadar angka. Mereka adalah pengingat bahwa investasi bukan hanya soal mimpi besar, tapi juga tentang arus kas nyata yang bisa diandalkan, bahkan saat pasar sedang tidak ramah.
Maka tak heran, meski teori keuangan klasik terus berdebat, para investor tetap menyukai dividen.
Dan kali ini, mereka mungkin benar.



