Aturan dan Lembaga di Balik Perdagangan Karbon

Dalam praktiknya, perdagangan karbon bisa dilakukan lewat dua pendekatan sistem batas dan perdagangan (cap-and-trade), serta skema offset. Dalam cap-and-trade, pemerintah menetapkan batas emisi untuk sektor tertentu. Pelaku usaha yang melebihi batas harus membeli dari yang mampu menghemat emisi. Sedangkan dalam skema offset, pihak yang berhasil menurunkan emisi—misalnya lewat reboisasi atau pembangkit energi bersih—boleh menjual kredit karbonnya ke pihak lain.

340
perdagangan karbon

(Vibiznews – Kolom) Perubahan iklim bukan lagi sekadar isu lingkungan, melainkan telah menjadi persoalan ekonomi, sosial, bahkan perdagangan karbon. Dari gelombang panas yang melumpuhkan panen, banjir yang mengganggu pasokan barang, hingga kebakaran hutan yang menyebabkan kerugian triliunan rupiah—semuanya mengingatkan kita bahwa bumi sedang kelelahan. Untuk mengatasinya, dunia tidak hanya butuh semangat, tapi juga sistem yang mampu mengatur dan mendorong perubahan.

Salah satu pendekatan baru yang mulai dikenal luas adalah perdagangan karbon. Dalam sistem ini, perusahaan yang mampu menurunkan emisi gas rumah kaca diberi insentif. Sebaliknya, yang melebihi batas emisi harus menebusnya dengan membeli kredit dari pihak lain. Ini bukan sekadar pasar jual-beli biasa, melainkan skema yang mendorong tanggung jawab lingkungan melalui mekanisme yang adil dan terukur.

Tentu, sistem seperti ini tidak bisa berjalan begitu saja tanpa dasar yang kuat. Indonesia menyadari bahwa jika ingin serius dalam pengurangan emisi, maka kerangka hukum, regulasi teknis, serta kelembagaan yang solid harus disiapkan. Tidak cukup hanya dengan aturan normatif, tapi juga harus ada lembaga yang bisa mengawasi, mencatat, dan menindak jika diperlukan.

Karena itulah pemerintah menyusun berbagai kebijakan dan regulasi untuk mengawal perdagangan karbon di dalam negeri. Mulai dari peraturan presiden, sistem registrasi nasional, hingga penunjukan lembaga yang bertugas mengelola pasar karbon. Semua dilakukan agar Indonesia tidak sekadar ikut-ikutan tren dunia, tetapi benar-benar membangun sistem perdagangan karbon yang kredibel dan berkelanjutan.

Di balik setiap transaksi karbon, ada harapan besar, bahwa setiap pengurangan emisi, sekecil apa pun, bisa dihargai. Bahwa upaya menjaga hutan, mengembangkan energi bersih, atau mengolah limbah secara ramah lingkungan bisa mendapat tempat dalam sistem ekonomi kita. Untuk mencapai itu, kita harus tahu dulu bagaimana jalur perdagangan karbon ini disiapkan.

Menyiapkan Jalur Jual-Beli Karbon di Indonesia

Perdagangan karbon kini jadi salah satu strategi penting Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim. Lewat pendekatan ini, setiap perusahaan yang menghasilkan emisi karbon harus bertanggung jawab. Mereka yang melebihi batas emisi bisa membeli “izin” dari yang berhasil mengurangi emisi. Mekanisme ini mendorong efisiensi, inovasi, dan tanggung jawab terhadap lingkungan.

Pemerintah Indonesia telah merancang dasar hukum dan kelembagaan untuk mendukung sistem ini. Salah satunya adalah Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 yang menjadi payung hukum utama. Aturan ini menetapkan berbagai mekanisme nilai ekonomi karbon, termasuk perdagangan karbon di dalam negeri dan kerja sama dengan pihak luar negeri. Semua dijalankan berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Untuk mendukung jalannya pasar ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berperan dalam mengembangkan kerangka kerja keuangan yang mendukung transisi hijau. Sementara itu, Bursa Karbon Indonesia yang ditunjuk melalui Keputusan OJK tahun 2023, menjadi tempat resmi untuk jual-beli karbon di Tanah Air. Sejak diluncurkan, bursa ini menjadi simbol komitmen serius terhadap ekonomi rendah karbon.

Namun, membangun sistem ini tidak instan. Pemerintah menyiapkan langkah bertahap, mulai dari penetapan sektor prioritas seperti energi dan industri, hingga verifikasi emisi oleh pihak ketiga yang independen. Setiap proyek yang menghasilkan kredit karbon harus tercatat dalam Sistem Registri Nasional (SRN-PPI) agar terdata secara resmi dan bisa diperjualbelikan.

Dengan jalur ini, Indonesia tidak hanya mengejar target emisi nasional, tapi juga membuka peluang ekonomi baru. Pasar karbon bisa mendorong investasi hijau, memperluas pendanaan proyek lingkungan, dan membawa Indonesia ke garis depan dalam perdagangan karbon global.

Aturan yang Terbuka dan Ramah Lingkungan

Di balik perdagangan karbon yang sehat, selalu ada regulasi yang kuat. Tanpa aturan yang jelas, sistem ini bisa dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Itulah sebabnya pemerintah menempatkan transparansi sebagai prinsip utama. Segala aktivitas perdagangan karbon harus bisa diawasi, ditelusuri, dan dipertanggungjawabkan. Tujuannya jelas, menjaga kepercayaan publik dan menjamin keadilan lingkungan.

Setiap proyek yang menghasilkan kredit karbon harus melalui proses validasi dan verifikasi. Validasi memastikan bahwa proyek memang dirancang untuk menurunkan emisi, sementara verifikasi membuktikan bahwa pengurangan emisi itu benar-benar terjadi. Kedua proses ini dilakukan oleh lembaga yang independen dan tersertifikasi. Dengan begitu, tidak ada ruang untuk data palsu atau klaim sepihak.

Setelah lolos verifikasi, data proyek akan dicatat dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI). Ini seperti “buku besar” nasional yang mencatat siapa menghasilkan berapa ton pengurangan emisi, kapan, dan bagaimana. SRN-PPI memastikan tidak ada duplikasi atau manipulasi, dan menjadi dasar sah untuk memperjualbelikan kredit karbon. Semua pihak bisa mengakses data ini untuk memastikan transparansi terjaga.

Tak hanya itu, pemerintah juga mulai menyelaraskan regulasi nasional dengan standar internasional. Ini penting karena perdagangan karbon bukan hanya untuk pasar dalam negeri. Banyak investor asing yang tertarik berpartisipasi, dan mereka hanya mau terlibat jika aturan di Indonesia bisa dipercaya. Dengan standar yang jelas dan terbuka, Indonesia membuka peluang untuk menjadi pemain penting di pasar karbon global.

Selain aspek teknis, keberlanjutan juga jadi sorotan. Pemerintah menekankan bahwa proyek-proyek karbon tidak boleh merugikan masyarakat sekitar atau merusak ekosistem lain. Jadi, regulasi bukan hanya mengatur angka-angka emisi, tapi juga dampak sosial dan lingkungan dari proyek yang dijalankan. Ini membuat sistem perdagangan karbon kita tidak hanya sah secara hukum, tapi juga etis secara moral.

Mewujudkan Aturan Menjadi Aksi Nyata

Membuat aturan memang penting, tapi lebih penting lagi adalah menjalankannya dengan konsisten. Di lapangan, implementasi regulasi perdagangan karbon menghadapi tantangan yang tidak sedikit. Mulai dari kurangnya pemahaman pelaku usaha, kesiapan teknis di daerah, hingga pengawasan yang masih terbatas. Karena itu, pemerintah dan lembaga terkait harus aktif mendampingi semua proses implementasi.

Untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, pemerintah membentuk kelembagaan yang mendukung pelaksanaan pasar karbon. OJK, KLHK, dan lembaga verifikasi berperan masing-masing dalam mengawasi, mencatat, dan menilai kinerja proyek karbon. Koordinasi antar lembaga ini sangat penting agar tidak terjadi tumpang tindih atau kekosongan pengawasan.

Dalam praktiknya, perdagangan karbon bisa dilakukan lewat dua pendekatan sistem batas dan perdagangan (cap-and-trade), serta skema offset. Dalam cap-and-trade, pemerintah menetapkan batas emisi untuk sektor tertentu. Pelaku usaha yang melebihi batas harus membeli dari yang mampu menghemat emisi. Sedangkan dalam skema offset, pihak yang berhasil menurunkan emisi—misalnya lewat reboisasi atau pembangkit energi bersih—boleh menjual kredit karbonnya ke pihak lain.

Agar skema ini berjalan lancar, setiap transaksi harus tercatat resmi dan bisa ditelusuri. Oleh karena itu, SRN-PPI menjadi pusat administrasi dari seluruh proses. Proyek yang tidak terdaftar tidak boleh diperdagangkan. Ini mencegah terjadinya pasar gelap karbon yang bisa merusak kredibilitas sistem. Pemerintah juga menetapkan sanksi bagi pihak yang melanggar aturan ini, dari peringatan hingga pencabutan izin.

Namun, implementasi tidak hanya soal pengawasan. Pemerintah juga aktif memberikan pelatihan, sosialisasi, dan panduan teknis bagi pelaku usaha, termasuk UMKM yang ingin terlibat. Edukasi menjadi kunci agar perdagangan karbon tidak hanya dikuasai segelintir pihak, tapi bisa jadi peluang bersama. Semakin banyak yang paham dan terlibat, semakin besar pula dampak positifnya bagi lingkungan dan ekonomi nasional.