Generasi Baru ‘Buy the Dip’ yang Mengubah Wajah Pasar Saham

Bedanya dengan AS, porsi investor ritel di Indonesia memang lebih dominan secara volume transaksi—di beberapa bulan 2024, kontribusinya mencapai 55–60% dari total nilai transaksi harian BEI. Namun karakter “buy the dip” di sini sering kali lebih terfokus pada saham-saham berkapitalisasi kecil dan menengah, termasuk yang volatilitasnya tinggi. Fenomena saham gorengan dan perdagangan berbasis rumor lebih menonjol dibanding strategi jangka panjang.

468
IHSG Buy the Dip

(Vibiznews – Kolom) Pasar saham Amerika Serikat saat ini tampaknya memiliki penopang yang tidak terduga: investor ritel generasi baru yang enggan menyerah bahkan ketika volatilitas pasar meningkat. Fenomena ini terlihat jelas pada musim semi lalu, ketika gejolak akibat isu tarif sempat menekan indeks saham. Alih-alih mundur, para investor individu justru memanfaatkan pelemahan itu untuk membeli. Hasilnya, pasar saham bukan hanya pulih, tetapi juga mencatat rekor baru, bahkan menghidupkan kembali perdagangan saham-saham “meme” yang sempat meredup.

Bagi sebagian veteran Wall Street, perilaku ini memunculkan deja vu terhadap era dot-com, ketika euforia berlebihan menguasai pasar. Namun di sisi lain, ketahanan psikologis investor ritel masa kini bisa menjadi tanda adanya pergeseran pola pikir yang lebih mendasar. Mereka bukan sekadar optimis buta—bagi sebagian, ini adalah refleksi dari pengalaman tumbuh dalam lingkungan pasar yang hampir selalu menguntungkan.

Generasi investor baru ini, banyak di antaranya lahir setelah tahun 1990-an, tidak memiliki memori kolektif yang kuat terhadap krisis besar seperti runtuhnya pasar dot-com atau guncangan keuangan global 2008. Mereka memulai karier investasinya di tengah suku bunga ultra-rendah, likuiditas berlimpah, dan pasar saham yang nyaris tanpa henti bergerak naik. Keberhasilan di awal perjalanan membuat mereka berani mengambil risiko lebih besar, dan—yang terpenting—tidak mudah panik saat pasar bergejolak.

Ujian besar datang pada 2022 ketika The Federal Reserve menaikkan suku bunga secara agresif, memicu penurunan S&P 500 sebesar 19%, terburuk sejak 2008. Meski demikian, alih-alih keluar, investor ritel justru menambah modal. Data EPFR menunjukkan, dana saham dan ETF di AS mencatat arus masuk bersih sebesar 27 miliar dolar pada tahun tersebut—sesuatu yang jarang terjadi pada periode pasar turun. Dan loyalitas itu terbayar: dua tahun setelahnya menjadi periode terbaik bagi S&P 500 dalam 25 tahun terakhir.

Kebiasaan ini kembali terlihat awal Agustus ketika pasar goyah akibat data ketenagakerjaan yang mengecewakan. Sama halnya pada April lalu, ketika pasar merosot sekitar 5% selama dua hari berturut-turut setelah peristiwa politik besar di Washington. Menurut JPMorgan, investor individu memborong saham dalam jumlah rekor pada periode tersebut, mendorong dana saham AS mencatat arus masuk 31 miliar dolar hanya dalam satu pekan.

Kontrasnya sangat jelas jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Saat krisis keuangan 2008, investor menarik hampir 50 miliar dolar dari pasar saham, lalu terus melakukan penarikan selama empat tahun berikutnya meski pasar sudah pulih. Begitu pula setelah gelembung dot-com pecah, butuh tujuh tahun bagi S&P 500 untuk kembali ke puncak lamanya—waktu yang cukup panjang untuk membuat investor lama kehilangan kepercayaan.

Kini, bagi mereka yang tetap bertahan, keuntungan portofolio terasa nyata. S&P 500 menjadi tolok ukur kekayaan rumah tangga Amerika, mengungguli kinerja aset lain seperti properti atau obligasi. Menurut data Fidelity, jumlah pemilik 401(k) dengan saldo lebih dari satu juta dolar mencapai rekor 537 ribu orang pada akhir 2024. Porsi saham dalam aset keuangan rumah tangga AS pun melonjak ke 36% pada kuartal pertama 2025, tertinggi sejak catatan dimulai pada 1950-an, menurut Ned Davis Research.

Fenomena ini diperkuat oleh tren sosial yang mengaburkan batas antara investasi dan hiburan. Grup percakapan kini ramai membahas saham, opsi, kripto, dan taruhan olahraga, seolah semua berada dalam satu arena spekulasi besar. Kemajuan teknologi membuat perdagangan saham semakin murah dan mudah, sementara desain aplikasi broker yang “tergamifikasi” menambah daya tarik.

Dampaknya, kehadiran investor ritel semakin signifikan dalam aktivitas pasar. Data JPMorgan menunjukkan mereka menyumbang sekitar 20% volume perdagangan opsi—bahkan lebih tinggi dari puncak mania saham meme 2021—dan sekitar seperlima dari total volume perdagangan saham, dua kali lipat dibanding 2010 menurut Jefferies.

Tentu saja, tidak ada pasar bull yang abadi. Ketika valuasi terlalu tinggi, risiko penurunan juga membesar. Namun, jika pola pikir investor ritel kini benar-benar telah berubah, mereka bisa menjadi “penyangga” baru bagi pasar, mirip peran pemburu saham diskon yang masuk ketika orang lain ketakutan.

Sebuah survei Charles Schwab baru-baru ini menemukan bahwa 80% kliennya berencana membeli jika volatilitas pasar meningkat dalam beberapa bulan ke depan. Artinya, “buy the dip” mungkin bukan lagi sekadar slogan sesaat, melainkan strategi generasi yang tumbuh bersama pasar yang nyaris selalu pulih. Dan jika keyakinan ini bertahan, maka siklus penurunan berikutnya mungkin tidak akan sedalam yang diperkirakan para skeptis.

Fenomena seperti “buy the dip” versi generasi baru memang ada jejaknya di Indonesia, tapi skalanya dan bentuknya berbeda dengan di AS.

Di pasar saham domestik, perilaku investor ritel yang lebih berani masuk ketika harga saham turun mulai terlihat sejak 2020, tepatnya saat pandemi membuat IHSG anjlok. Data Bursa Efek Indonesia mencatat lonjakan jumlah investor ritel sangat signifikan—dari sekitar 2,5 juta SID di awal 2020 menjadi lebih dari 12 juta pada pertengahan 2025. Lonjakan ini sebagian besar datang dari generasi muda, terutama milenial dan Gen Z, yang mengenal investasi lewat media sosial, influencer saham, atau aplikasi online trading berbiaya rendah.

Bedanya dengan AS, porsi investor ritel di Indonesia memang lebih dominan secara volume transaksi—di beberapa bulan 2024, kontribusinya mencapai 55–60% dari total nilai transaksi harian BEI. Namun karakter “buy the dip” di sini sering kali lebih terfokus pada saham-saham berkapitalisasi kecil dan menengah, termasuk yang volatilitasnya tinggi. Fenomena saham gorengan dan perdagangan berbasis rumor lebih menonjol dibanding strategi jangka panjang.

Perilaku bertahan di pasar ketika harga turun juga mulai terbentuk, terutama pada kalangan yang masuk setelah pandemi dan langsung merasakan pemulihan IHSG di 2021. Tetapi berbeda dengan investor ritel AS yang banyak menahan dana di reksa dana indeks atau ETF, investor Indonesia cenderung aktif berpindah saham untuk mengejar peluang jangka pendek.

Ada satu kemiripan yang cukup mencolok: tren “investasi sebagai hiburan” juga mulai terasa. Grup WhatsApp, Telegram, hingga X (Twitter) ramai membahas saham, kripto, dan trading harian. Broker pun semakin mengemas aplikasinya dengan tampilan yang mudah dipakai dan fitur-fitur gamified.

Namun, daya tahan mental investor Indonesia dalam menghadapi koreksi panjang belum sepenuhnya teruji. Ketika IHSG turun lebih dari 10% di 2022 akibat sentimen global, banyak investor ritel justru mengurangi eksposur atau beralih ke aset lain seperti emas dan deposito. Artinya, generasi “buy the dip” lokal masih dalam tahap pembentukan, belum sekuat fenomena di AS yang sudah terbentuk lewat beberapa siklus pasar.