(Vibiznews – Kolom) Perjanjian Buttonwood yang menjadi cikal bakal Bursa Efek New York hanyalah selembar kertas tulisan tangan—sesuatu yang sangat rendah teknologi.
Sejak dokumen itu ditandatangani pada 17 Mei 1792 oleh 24 pialang saham yang kerap bertransaksi di bawah pohon buttonwood di luar 68 Wall Street, pasar keuangan dengan cepat merangkul teknologi baru.
Adopsi berbagai terobosan revolusioner seperti telegraf dan kecerdasan buatan digerakkan oleh dua kebutuhan yang saling terkait, dorongan akan kecepatan untuk mengirimkan pesanan dan data, serta dorongan untuk menarik lebih banyak investor demi membiayai perekonomian yang terus tumbuh.
Inilah sembilan kemajuan teknologi yang membantu mengubah investasi dari klub eksklusif beranggotakan dua lusin orang menjadi semacam hobi nasional. Saat ini hampir dua pertiga orang dewasa di Amerika melaporkan memiliki saham, dan perdagangan bisa dilakukan lewat komputer, ponsel pintar, atau bahkan di bawah pohon buttonwood (Kayu kancing) mana pun.
- Telegraf listrik
Pada tahun-tahun awal Amerika, ketika masyarakat masih agraris dan segalanya bergerak setidaknya secepat kuda, tiap kota menjalankan bisnis keuangannya sendiri.
Dengan empat kata—“What hath God wrought!”—yang dikirimkan melalui kawat telegraf listrik pertama pada 1844, Samuel Morse mengubah status quo sekaligus melesatkan New York ke posisi terdepan.
“Dunia bisnis akhirnya terbangun terhadap potensi alat semacam itu,” tulis sejarawan Robert Sobel dalam The Big Board – A History of the New York Stock Market.
Dengan dukungan Wall Street, Morse membentuk Magnetic Telegraph Co. untuk membangun jalur dari New York ke Philadelphia. Di antara pelanggan pertamanya adalah para pedagang saham.
Kini harga saham Wall Street bisa dikutip pada hari yang sama di Philadelphia, lalu segera menyebar ke Boston, Buffalo, hingga ke barat sampai Mississippi saat telegraf menutupi negeri seperti jaring laba-laba.
“Pada akhir 1850-an, Wall Street telah terhubung dengan setiap kota penting di Amerika, dan menetapkan harga untuk semuanya,” tulis Sobel. “Wall Street telah menjadi pasar bagi bangsa.”
Namun bila Wall Street hendak menjadi pusat finansial Amerika, ia membutuhkan cara lebih cepat daripada kuda untuk menukar uang dan sertifikat secara fisik.
- Kereta api
Kereta api memicu munculnya perusahaan-perusahaan raksasa pertama di Amerika, ketika pabrik tekstil terbesar pun hanya mempekerjakan sekitar 1.000 pekerja.
Operasi raksasa ini menuntut modal dalam jumlah besar, dan Wall Street menyediakannya. Jika pada masa awal Wall Street lebih didominasi urusan perbankan dan asuransi, pada 1856 nilai saham dan obligasi kereta api telah melampaui gabungan semua instrumen lainnya, menurut Sobel dalam The Big Board.
Ini adalah era lahirnya para “baron perampok” seperti Cornelius Vanderbilt dan Jay Gould, dengan kekayaan besar serta reputasi kasar yang menjadi bagian dari mistik baru Wall Street, tulis Michael Hiltzik dalam Iron Empires: Robber Barons, Railroads, and the Making of America.
Namun era ini juga menandai lahirnya investor individu, yang diajak turut serta membiayai kereta api. Pada 1853, New York Central dan Pennsylvania Railroad—hanya dua dari ratusan jalur yang kini menghubungkan negeri—melaporkan masing-masing lebih dari 2.400 individu sebagai pemegang saham.
Demokratisasi investasi berjalan seiring dengan kebangkitan para baron.
- Ticker saham
Penyair perbatasan Joaquin Miller pernah ditugaskan menulis tentang seminggu di Wall Street. Ia justru bertahan enam bulan, meraih dan kehilangan kekayaan, serta meninggalkan gambaran abadi tentang spekulator Wall Street.
“Di sekitar ‘ticker’ ini berkumpul sekelompok pria yang penuh semangat, gugup, dan gelisah. Sepuluh, lima belas, atau dua puluh orang sekaligus akan meraih pita kertas itu saat mengalir keluar dengan barisan tak berujung berisi kutipan harga,” tulis Miller di Chicago Tribune edisi 30 Oktober 1880.
Berbeda dengan telegraf dan kereta api yang dirancang untuk penggunaan umum, ticker saham adalah inovasi pertama yang dibuat khusus untuk perdagangan. Ia menggunakan jalur telegraf untuk melaporkan transaksi hampir secara real time, mencetaknya di pita kertas dengan singkatan yang hanya bisa dibaca kalangan dalam. Edward A. Calahan dikreditkan sebagai penemunya pada 1863. Enam tahun kemudian Thomas Edison mengembangkan model praktis pertama.
Ticker menggantikan para kurir cepat yang sebelumnya mengantar kutipan harga dari kantor telegraf. Kini kutipan bisa langsung tiba di kantor siapa saja yang sanggup membayar enam dolar per minggu—harga yang terus turun seiring meningkatnya kompetisi.
Ticker juga membawa masuk kelas investor baru yang ingin cepat kaya. “Saat saya katakan ada lebih dari 5.000 ticker ini,” tulis Miller, “Anda bisa membayangkan betapa besar bisnis ini.”
Begitu banyak pita ticker terpakai menumpuk di Wall Street, hingga saat parade peresmian Patung Liberty pada 28 Oktober 1886, “banyak bocah kantor” menemukan kegunaan baru untuknya, lapor The New York Times keesokan harinya.
“Dari seratus jendela mulai terurai gulungan pita yang mencatat pesan-pesan penting dari ticker,” tulis artikel itu. “Itulah perayaan unik Wall Street.”
Ticker tetap menjadi alat tak tergantikan hingga 1970-an, meski tradisi parade pita ticker bertahan lebih lama.
- Telepon
Ledakan kereta api juga melahirkan bank investasi, lembaga keuangan yang cukup besar untuk membiayai proyek raksasa. Salah satunya—Kidder, Peabody & Co.—membantu mendanai inovasi berikutnya yang mengubah investasi, telepon.
Alexander Graham Bell mematenkan telepon pada 1876. Dua tahun kemudian, NYSE memasang satu unit, meski hampir tidak ada telepon lain untuk dihubungi. Tantangan terbesarnya adalah membangun infrastruktur mahal untuk menghubungkan kota-kota jauh serta jutaan rumah dan kantor.
American Telephone & Telegraph milik Bell memiliki “kebutuhan modal yang terus meningkat, jauh melampaui sumber tradisionalnya,” tulis Vincent Carosso dalam More Than a Century of Investment Banking, The Kidder, Peabody & Co. Story.
Penawaran obligasi pertama Kidder Peabody untuk AT&T pada 1899 senilai 7 juta dolar (setara sekitar 273 juta dolar pada 2025). Pada 1906, menghadapi kebutuhan pendanaan 150 juta dolar, Kidder Peabody menggandeng sindikat J.P. Morgan & Co., Kuhn, Loeb & Co., dan Barings Bank dari Inggris.
Inilah model bagi peran Wall Street sebagai penjamin emisi industri Amerika yang segera meledak.
Telepon sendiri cepat menjadi pemandangan umum di Wall Street, kembali menggantikan pekerjaan anak-anak kantor yang sebelumnya mengantar pesanan ke bursa. Kini pesanan bisa ditelepon masuk.
Pada 1920 tercatat 88.000 telepon beroperasi di Distrik Finansial. Bersama ticker, telepon melengkapi perangkat investor yang nyaris tidak berubah selama puluhan tahun—melewati krisis, depresi, hingga perang.
- Ticker elektronik
Film Wall Street tahun 1987, selain terkenal dengan rambut klimis Gordon Gekko dan pandangannya soal keserakahan, juga menampilkan kantor berteknologi tinggi dengan layar komputer berteks hijau di latar hitam.
Mesin-mesin itu berasal dari Quotron Systems, yang menjadi perubahan teknologi terbesar di Wall Street selama puluhan tahun.
Meski memberi kesan modern, terminal Quotron sesungguhnya lebih mirip ticker yang dikagumi Joaquin Miller pada 1880 dibanding PC masa kini. Fungsi utamanya hanya menampilkan data ticker di layar komputer.
Namun tetap saja lebih praktis dibanding harus berkerumun di sekitar mesin ticker. Mulai 1960, Quotron menyebar di Wall Street, dipakai para tokoh nyata seperti Ivan Boesky, Carl Icahn, dan Michael Milken.
Pada 1986, Quotron menyewakan 80.000 terminal ketika Citicorp masuk dengan akuisisi senilai 680 juta dolar—yang disebut The Wall Street Journal sebagai “langkah bisnis paling berani” dari John S. Reed selama masa kepemimpinannya di Citi.
Namun akuisisi itu gagal. Lima tahun kemudian, Citi mencatat kerugian dan pada 1994 praktis menyerahkan Quotron kepada Reuters.
Quotron memang yang pertama memanfaatkan komputer untuk data finansial, tetapi ia gagal melihat potensi internet.
- Perdagangan elektronik dan daring
Sistem National Association of Securities Dealers Automated Quotations—Nasdaq—diluncurkan pada 8 Februari 1971.
Awalnya, ia hanya menyediakan kutipan harga untuk pasar over-the-counter yang sebelumnya buram bagi saham-saham tak terdaftar. Ia belum bisa mengeksekusi perdagangan, yang tetap harus dilakukan dengan cara lama.
“Prediksi saya adalah bentuk Nasdaq yang lebih canggih akan menjadi pusat pasar baru,” kata Wheelock Whitney, presiden Investment Bankers Association of America, dikutip The Wall Street Journal pada 5 April 1971. “Gagasan ini cukup menakutkan.”
Menakutkan, tapi tepat sasaran. Nasdaq, dengan pertumbuhan pesatnya sebagai pesaing NYSE dan inkubator perusahaan teknologi tinggi, sejak awal berdiri telah menjadi pusat ledakan dan kejatuhan ekonomi.
Akhirnya, Nasdaq membantu menjadikan perdagangan daring sebagai norma. Bahkan NYSE yang legendaris ikut menyesuaikan diri dengan nyaris meninggalkan sistem teriakan terbuka yang menjadi simbol ikoniknya.
“Untuk menciptakan pasar likuid, Anda tidak perlu profesional yang berdiri berhadap-hadapan sambil berteriak,” kata Gordon Macklin, CEO pertama Nasdaq, sebagaimana dikutip dalam buku Mark Ingebretsen Nasdaq: A History of the Market That Changed the World. “Apa yang kami lakukan dengan Nasdaq adalah menciptakan lantai perdagangan sepanjang 3.000 mil dan selebar 2.000 mil.”
Nasdaq menciptakan lantai perdagangan virtual, yang segera diisi jutaan orang.
- Platform investasi daring
Iklan koran tahun 1996 menampilkan seorang pria yang masuk ke komputer rumahnya untuk berdagang saham.
“Broker Anda kini sudah usang,” demikian bunyi iklan dari perusahaan bernama E*Trade Securities.
Broker memang tidak punah. Namun hampir 30 tahun sejak E*Trade pertama kali menawarkan perdagangan diskon “di Internet’s World Wide Web,” sebagaimana ditulis Reuters, sebagian besar investor melakukan perdagangan sendiri tanpa bantuan profesional.
Ketika E*Trade hadir, biayanya 14,95 dolar per transaksi hingga 5.000 lembar saham di NYSE, dan 19,95 dolar untuk saham Nasdaq tanpa batas jumlah. Seorang broker ritel kala itu memungut sekitar 25 dolar untuk transaksi serupa, tulis majalah Barron’s.
Sejak itu, pertumbuhan perdagangan daring mendatangkan pesaing seperti Charles Schwab dan TD Ameritrade, lalu aplikasi baru seperti Robinhood dan Webull, yang mendorong industri menuju model komisi nol.
Kini, alih-alih berdesakan di depan mesin ticker, setiap orang menunduk di perangkat masing-masing, mendapatkan kutipan harga sekaligus analisis dan saran, berdagang saat jam makan siang atau bahkan saat liburan di pantai.
Dan jika mereka masih punya broker, kemungkinan besar sang broker pun berdagang lewat ponselnya.
- Perdagangan frekuensi tinggi
Tidak ada yang siap menghadapi flash crash pada 6 Mei 2010, “lima menit penjualan mengerikan” yang menjatuhkan pasar hampir 1.000 poin atau sekitar 9% di tengah hari.
“Itu terjadi begitu cepat, seperti torpedo,” kata seorang pelaku pasar kepada The Wall Street Journal.
Tanpa ada pemicu berita jelas, kecurigaan segera jatuh pada perusahaan perdagangan frekuensi tinggi, yang algoritme berbasis komputer mereka menyumbang dua pertiga aktivitas pasar saat itu.
Namun apa yang sebenarnya dilakukan perdagangan frekuensi tinggi hingga memicu kejatuhan itu tidak jelas. Hal ini karena manusia hanya berperan sebagai pengawas, mengatur parameter lalu membiarkan algoritme membeli dan menjual dengan kecepatan komputer.
Pada 2015, Departemen Kehakiman AS menyalahkan seorang pedagang Inggris tunggal atas praktik “spoofing”—memasang pesanan dengan niat membatalkannya sebelum tereksekusi. Namun banyak yang menganggap kesimpulan ini tidak memuaskan.
“Menyalahkan seorang pedagang yang bekerja dari rumah orang tuanya di pinggiran London karena memicu kejatuhan pasar saham bernilai triliunan dolar sama saja dengan menyalahkan petir karena memicu kebakaran,” tulis Traders Magazine.
Komisi Perdagangan Berjangka Komoditas lebih berhati-hati, menyimpulkan pada 2014 bahwa perdagangan frekuensi tinggi tidak menyebabkan flash crash, tetapi “berkontribusi dengan menuntut kecepatan di atas partisipan pasar lainnya.”
Meski ada pagar pengaman seperti circuit breaker yang menghentikan perdagangan saat volatilitas tinggi, flash crash serupa telah terjadi di pasar negara lain dan kelas aset berbeda.
Mungkin saatnya mesin menyelesaikan masalah ini sendiri.
- Kecerdasan buatan (AI)
Jika perdagangan frekuensi tinggi dilakukan dengan pengawasan minimal manusia, AI secara teori bisa menghilangkan unsur manusia sama sekali.
Sistem AI menggunakan algoritme machine learning canggih yang dapat memproses informasi dan belajar sendiri, menyesuaikan strategi perdagangan dalam sekejap tanpa campur tangan manusia.
Bagaimana AI akan mengubah investasi?
“Alat Thematic Robot kami,” tulis BlackRock tahun lalu, “menggabungkan wawasan manusia dengan kekuatan large language models dan big data untuk membentuk keranjang saham dengan efisiensi lebih besar serta jangkauan eksposur lebih luas.”
Bahasa pemasaran samar semacam itu masih menjadi norma, karena kita baru menyentuh permukaan kemampuan AI.
Tetap saja, dengan mengingat potensi manfaat AI, semua orang kini terjebak FOLO—fear of losing out atau takut ketinggalan. Satu survei menemukan 9 dari 10 manajer investasi sudah menggunakan AI dalam proses perdagangan mereka atau berencana melakukannya.
Dan AI memberi efek ekspansi yang sama pada pasar seperti halnya kereta api dan internet di zamannya, ketika investor berbondong-bondong masuk ke perusahaan yang dijuluki Magnificent Seven dan mendorong saham ke rekor baru.
Siapa tahu, mungkin suatu hari nanti mesin-mesin akan menandatangani Perjanjian Buttonwood versi mereka sendiri. Semoga saja mereka masih membiarkan kita, manusia biasa, ikut investasi.



