(Vibiznews – Kolom) Harga emas kembali menjadi pusat perhatian global. Logam mulia yang sering dianggap aset kuno dan lambat, kini berada di garis depan pembicaraan para analis keuangan internasional. Di tengah pasar yang bergejolak, emas justru menunjukkan momentum yang sulit diabaikan. Menurut The Wall Street Journal, analis di Goldman Sachs memproyeksikan harga emas dapat melaju hingga menyentuh US$ 4.900 per ons pada akhir 2026. Perkiraan tersebut tidak muncul dari ruang hampa; ia lahir dari perubahan mendasar dalam lanskap ekonomi global dan strategi portofolio para pemain besar.
Prediksi Harga Emas 2026

Tahun ini harga emas telah naik drastis hingga menghampiri rekor tertinggi, sebelum kemudian mengalami koreksi sekitar enam persen. Bagi sebagian orang, koreksi ini terlihat sebagai tanda kelelahan pasar. Namun Goldman Sachs menyebut kondisi tersebut hanya sebagai jeda singkat dari reli yang lebih panjang. Di balik fluktuasi jangka pendek, terdapat kekuatan struktural yang mendorong permintaan emas ke arah yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam satu dekade terakhir.
Laporan The Wall Street Journal menjelaskan bahwa kenaikan harga emas selama setahun terakhir begitu spektakuler, dengan peningkatan yang mencapai hampir 75 persen. Namun begitu dolar Amerika menguat dan spekulasi pemangkasan suku bunga Federal Reserve melemah, harga emas sempat tergelincir. Karena emas diperdagangkan dalam dolar, setiap penguatan mata uang AS membuat emas lebih mahal bagi pembeli dari negara lain, menekan permintaan jangka pendek.
Tetapi justru di sinilah letak inti dari tesis bullish Goldman Sachs: pelemahan sesaat tidak cukup kuat untuk mengubah fondasi besar yang menopang reli emas. Ketika memandang lebih dalam ke sumber permintaan, terlihat bahwa bukan spekulan jangka pendek yang menggerakkan pasar emas belakangan ini, melainkan dua kekuatan raksasa: bank-sentral dunia dan investor swasta berdaya besar. Keduanya memiliki alasan yang jauh melampaui tren sementara atau imbal hasil cepat.
Sejak 2022, bank-sentral global mempercepat diversifikasi cadangan devisa mereka, sebuah fenomena yang didorong oleh kekhawatiran geopolitik. Ketika Amerika Serikat membekukan aset Rusia sebagai respons atas invasi ke Ukraina, banyak negara lain tersadar bahwa bergantung penuh pada aset berbasis dolar berpotensi menjadi risiko geopolitik. Reuters menyoroti bahwa pembelian emas oleh bank-sentral meningkat signifikan sejak itu, dan hingga September tahun ini kecenderungan tersebut belum menunjukkan tanda berhenti.
Di sisi lain, investor institusional dan pensiunan kelas menengah di berbagai negara juga mulai mengalihkan sebagian dari portofolio mereka ke emas. Data pasar menunjukkan aliran masuk dana lebih dari US$ 41 miliar ke dalam ETF emas seperti SPDR Gold Shares dan instrumen serupa sepanjang tahun ini. Meski sempat terjadi aksi jual kecil dalam satu bulan terakhir, total arus keluar masih relatif kecil dan tidak signifikan. Artinya, kepercayaan terhadap emas sebagai pelindung nilai jangka menengah tetap tinggi.
Goldman Sachs menilai bahwa bila tren ini terus berlanjut, bukan hanya US$ 4.900 yang mungkin terjadi — bahkan lebih. Lina Thomas, analis dari Goldman yang dikutip WSJ, menyebut peluang “significant upside” bila langkah diversifikasi investor semakin masif dalam beberapa tahun ke depan. Ini bukan sekadar prediksi angka, melainkan pernyataan tentang pergeseran paradigma dalam pengelolaan kekayaan global.
Tentu saja, target ambisius ini tidak bebas risiko. Federal Reserve masih menjadi pemegang kunci arah pasar emas jangka pendek. Jika Fed mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama dari ekspektasi pasar, dolar bisa mempertahankan kekuatan dan membatasi kenaikan harga emas. Tetapi para pendukung emas justru melihat dinamika ini sebagai peluang bagi mereka yang memiliki perspektif jangka panjang. Emas tidak perlu bergerak cepat untuk membuktikan nilai strategisnya. Ia hanya perlu stabil dan bertahan melewati badai moneter.
Salah satu faktor yang memperkuat narasi ini adalah kondisi fiskal global yang semakin rapuh. Utang publik di banyak negara mengalami lonjakan pesat, sedangkan instrumen keuangan modern seperti obligasi semakin tidak lagi dipandang risk-free. Pasar tampaknya menyadari bahwa ketergantungan pada mata uang fiat menciptakan risiko tersendiri. Emas menjadi jaminan yang tidak dapat dimanipulasi oleh keputusan bank sentral atau pemerintah.
Laporan Barron’s menyoroti bahwa sektor swasta pun kini melihat emas sebagai bentuk “portofolio kesehatan” atau “imunisasi finansial” terhadap potensi krisis. Konsep investor modern bergeser, tujuan bukan lagi mengalahkan pasar dalam jangka pendek, melainkan memastikan nilai tidak tergerus inflasi dan gejolak geopolitik. Ketika logika ini berpengaruh ke kapital besar, pergerakan harga emas bisa menjadi gerakan struktural, bukan sekadar spekulatif.
Lalu di manakah posisi Indonesia dalam narasi emas ini? Dengan volatilitas rupiah dan ketergantungan tinggi pada kebijakan luar negeri, emas menjadi aset yang tidak hanya melindungi nilai dalam dolar, tetapi juga terhadap fluktuasi domestik. Investor ritel Indonesia kian melek risiko dan mulai menggunakan emas tidak sebagai simpenan pasif warisan keluarga, melainkan sebagai strategi portofolio yang terukur. Tantangannya tentu ada: biaya konversi, risiko fluktuasi jangka pendek, dan kecenderungan membeli saat harga sudah tinggi. Namun secara fundamental, emas menjadi bagian logis dalam lindung nilai jangka panjang.
Bahwa harga emas turun sesaat tidak seharusnya membuat investor panik. Itulah sifat aset jangka panjang — ia menaikkan nilai melalui kesabaran dan disiplin, bukan volatilitas harian. Dalam kolom pandangan Reuters, disebutkan bahwa tren permintaan emas hari ini selaras dengan siklus geopolitik yang bergerak ke arah multipolar. Dunia yang semakin terpecah cenderung memberi ruang bagi aset netral antarbangsa seperti emas.
Dapat dibayangkan konteks tahun 2026, pemilu di Amerika Serikat telah mengejutkan dunia sebelumnya dan bisa kembali menimbulkan ketidakpastian kebijakan, konflik regional belum tentu mereda, dan inflasi global mungkin masih belum benar-benar jinak. Dalam skenario seperti itu — bahkan tanpa krisis besar — emas memiliki alasan kuat untuk dihargai lebih tinggi daripada saat ini.
Sebagai kolumnis, saya melihat peluang emas kini adalah cerminan dari dua hal: kegelisahan global dan pencarian ketenangan. Emas tidak menawarkan janji besar, tidak mengklaim pertumbuhan fantastis setiap kuartal, tidak punya CEO yang tampil di televisi dengan janji-janji teknologi masa depan. Namun justru karena kesederhanaan itu, emas tetap bertahan ketika segala hal lain tampak goyah.
Ada pepatah lama di pasar modal: ketika orang mulai mempertanyakan mata uang, mereka kembali ke logam yang tidak mengenal kebangkrutan. Mungkin terdengar kuno, namun sejarah sering kali mengulang tanpa perlu meminta izin.
Jika Goldman Sachs benar, dan jika pandangan media keuangan seperti The Wall Street Journal, Reuters, dan Barron’s selaras bahwa permintaan emas akan terus kokoh, maka harga US$ 4.900 pada 2026 bukanlah dongeng investor yang mabuk optimisme. Itu adalah cermin bahwa dunia sedang mengalihkan kepercayaan dari janji-janji kertas ke nilai yang bisa digenggam.
Pertanyaan bagi kita bukan lagi apakah emas akan naik, melainkan apa yang akan kita lakukan ketika dunia kembali mengingat apa itu nilai yang sesungguhnya. Bila investor memahami perannya bukan sebagai penjudi yang menunggu jackpot, melainkan sebagai pengelola risiko yang matang, maka emas akan tetap menjadi sahabat terbaik pada masa-masa sulit.
Dan mungkin, dalam beberapa tahun ke depan, ketika grafik harga menunjukkan angka US$ 4.900 atau bahkan lebih tinggi, kita semua akan menyadari satu hal emas tidak pernah pergi, kitalah yang sempat lupa.
Bagi investor jangka menengah hingga panjang, emas layak diposisikan sebagai instrumen lindung nilai yang konsisten — bukan sebagai alat mencari keuntungan cepat. Proporsi kepemilikan 5–15% dalam portofolio dapat membantu mengimbangi risiko inflasi, pelemahan nilai mata uang, dan gejolak geopolitik. Investor dapat memadukan emas fisik, ETF emas, dan obligasi berbasis emas untuk mendapatkan keseimbangan antara likuiditas dan stabilitas nilai, sambil tetap memperhatikan faktor biaya penyimpanan dan spread harga.
Namun investor tetap perlu disiplin dalam strategi masuk pasar. Membeli secara bertahap melalui skema dollar-cost averaging akan lebih aman dibanding mengejar harga saat volatil. Selain itu, penting untuk tidak mengandalkan emas sebagai aset utama yang mendanai seluruh tujuan finansial. Emas adalah pelindung, bukan pencetak pertumbuhan. Dengan manajemen risiko yang baik, proyeksi harga emas yang optimistis hingga 2026 dapat menjadi peluang yang masuk akal tanpa mengorbankan kesehatan portofolio secara keseluruhan.



