Penyaluran Pinjaman Fintech Terus Meningkat Namun Perlu Diwaspadai

1061

(Vibiznews – Banking & Insurance) – Seiring dengan berkembangnya teknologi, maka model penyaluran pinjaman perusahaan keuangan berbasis teknologi atau fintech peer to peer (P2P) lending terus meningkat di negara kita. Sampai Juli 2018, Otoritas Jasa Keuangan mencatat penyaluran pinjaman fintech mencapai angka Rp 9,21 triliun.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawas Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan penyaluran sebesar Rp 9,21 triliun, mengalami peningkatan signifikan yakni 259,36% secara year to date (ytd). Dengan jumlah penyaluran yang besar, tingkat kredit bermasalah fintech masih rendah atau sekitar 1,4%.

Di periode yang sama, jumlah rekening penyedia dana (lender) sudah mencapai 135.025 entitas, atau meningkat 33,77% secara ytd. Sedangkan jumlah rekening peminjam (borrower) mencapai 1.430.357 entitas atau meningkat 450,92% ytd.

Berdasarkan informasi yang kami terima hingga 4 September 2018, terdapat 67 platform P2P lending yang terdaftar di OJK. Sedangkan 40 perusahan lain, dalam proses pendaftaran dan 38 perusahaan yang meminta mendaftar.

Dengan makin gencarnya perusahaan keuangan berbasis teknologi atau P2P lending maka dipandang perlu oleh OJK untuk membuat aturan yang mengatur mekanisme antara nasabah dan pemberi pinjaman dengan menerbitkan Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, di mana pada pasal 43 menyebutkan, penyelenggara dilarang bertindak sebagai pemberi dan penerima pinjaman.

Melalui Peraturan tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi atau fintech peer to peer (P2P) lending menjalankan skema on balance sheet lending. Suatu skema, di mana penyelenggara berperan meminjamkan uangnya kepada nasabah.

 “Fintech P2P lending di Indonesia adalah platform yang hanya boleh menjadi perantara antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Platform fintech lending tidak bisa memiliki eksposure kredit dan menghimpun dana publik.

Hal ini untuk menghindari kasus yang terjadi di China di mana skema penghimpunan dana  dilakukan oleh fintech P2P lending asal China dan membuka peluang penyalahgunaan dana nasabah, sehingga mengakibatkan banyak perusahaan fintech yang kolaps di sana.

Misalnya, ada platform lending yang menyalahgunakan dana nasabah, maka itu dianggap tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum (KUHP) Pidana, dan diancam hukuman penjara. Sedangkan, penyelenggaran yang menyebabkan perusahaan kolaps, akan diganjar oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan UU Kepailitan, serta merupakan delik aduan dan hanya berhubungan dengan ganti rugi.

Maka untuk mengantisipasi pelanggaran, OJK akan mengawasi bisnis fintech lending yang sudah mengantongi tanda terdaftar dan berizin di OJK. Selain mengawasi, juga tetap fokus mempelajari dan menganalisis model bisnis fintech yang berkembang di dunia global maupun regional. Rangkaian penilaian yang dilakukan secara transparan oleh tim, untuk memastikan fintech lending yang legal di Indonesia merupakan industry yang kuat, sehat dan bermanfaat bagi masyarakat mencakup:

  • Proses pendaftaran terdiri dari fase pemeriksaan kelengkapan dokumen, kebenaran dokumen, dan kualitas dokumen yang kemudian dibandingkan dengan realitas pelaksanaan bisnis model para pemohon
  • kelengkapan terkait standar prosedur yang wajib dipenuhi penyelenggara, yang tujuannya untuk memastikan kualitas dan pengawasan internal perusahaan. Diantaranya memuat standar prosedur pengelolaan kelembagaan, model bisnis, resiko, teknologi platform, penanganan perlindungan konsumen, pencegahan pencucian dan pendanaan kegiatan terorisme.

 

Belinda Kosasih/Coordinating Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting Group

Editor: Asido Situmorang

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here