Presidensi G20 Menjawab Lima Isu Strategis Global

387
G20 Jawab Lima Isu Strategis
Sumber: Bank Indonesia

(Vibiznews – Banking & Insurance) – Pada penutupan Presidensi G20 Indonesia Jalur Keuangan di Nusa Dua, Bali (17/7) dibahas lima isu strategis global. Ini merupakan rangkaian side event G20 Finance Track: Finance and Central Bank Deputies (FCBD) dan 3rd Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting (FMCBG).

Lima Issue Strategis Global yang dihadapi Otoritas Pengambil Kebijakan di dunia.

Pertama, bagaimana mengatasi isu kesehatan akibat pandemi covid dan ketahanan pangan yang disebabkan gangguan pasokan.

Kedua, bagaimana mengintegrasikan berbagai kebijakan makroekonomi menjadi bauran kebijakan yang efektif.

Ketiga, bagaimana menerapkan bauran kebijakan tersebut untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta memperkuat pemulihan ekonomi.

Keempat, bagaimana CBDC dapat dirancang sehingga dapat memfasilitasi konektivitas pembayaran lintas negara namun tetap menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan. Selanjutnya, meramu mitigasi dampak negatif dari asset kripto terhadap stabilitas sistem keuangan melalui kerangka pengaturan dan pengawasan yang efektif.

Dan kelima, bagaimana sinergi antara upaya transisi, termasuk dukungan keuangan berkelanjutan menuju net zero carbon emissions.

Kelima isu tersebut dilatarbelakangi kerentanan perekonomian global dengan tingkat inflasi yang tinggi dengan pemulihan yang lebih lemah.

Ada beberapa hal yang memperpanjang gangguan rantai pasukan:
• Perang yang tengah berlangsung di Ukraina,
• Tindakan kebijakan dalam merespon perang;
• Dan kebangkitan COVID-19 di beberapa negara,

Kondisi tersebut, seiring dengan meluasnya kebijakan inward looking, khususnya komoditas pangan di sejumlah negara. Hal ini telah mendorong kenaikan harga komoditas internasional secara signifikan sehingga meningkatkan tekanan inflasi global.

Berdasarkan data dari CNN Indonesia, 12 Juli 2022, ada beberapa negara yang tingkat inflasinya tinggi akibat harga komoditas yang naik seperti:
1. Argentina, di mana bank sentral negara kehabisan cadangan devisa karena pelemahan mata uang peso Argentina. Diproyeksikan, inflasi tahun ini mencapai lebih dari 70 persen.
2. Mesir, inflasi Mesir melonjak hampir 15 persen.
3. Laos, mata uangnya jatuh 30 persen.
4. Lebanon, mata uangnya jatuh 90 persen.
5. Myanmar, ekonomi terkontraksi minus 18 persen tahun lalu, dan diperkirakan tidak tumbuh pada tahun ini.
6. Pakistan, tingkat inflasi lebih dari 21 persen, mata uang Rupee Pakistan merosot 30 persen terhadap dollar AS.
7. Zimbabbwe , inflasi saat ini menyentuh 130 persen.
8. Turki, inflasinya mencapai lebih dari 60 persen.

Sebagai tanggapan, beberapa negara telah memulai pengetatan kebijakan moneter yang berpotensi menghambat pemulihan ekonomi global dan meningkatkan risiko stagflasi.

Pertumbuhan ekonomi di negara-negara ekonomi utama juga diperkirakan akan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Secara berkepanjangan, hal ini meningkatkan ketidakpastian pasar keuangan global sekaligus menahan aliran modal asing. Tentu saja ini memperburuk tekanan mata uang di negara berkembang.

Selanjutnya, dalam gala seminar yang berlangsung, dielaborasi respon terhadap kelima isu global dimaksud.

Respon pertama terkait food security dan health dibahas pembentukan sistem kolaborasi dan kerjasama global (Global Collaboration and Cooperation). Hal ini untuk mengatasi tantangan kerawanan pangan (food insecurity) yang terus meningkat.

Kolaborasi dan kerjasama global tersebut akan memiliki fokus pada upaya mendukung ketahanan pangan dengan memastikan keterjangkauan (affordability) dan kemudahan perolehan (accessibility) pangan. Termasuk meningkatkan ketersediaan data untuk pupuk.

Di samping itu, disepakati pembentukan Dana Perantara Keuangan (Financial Intermediary Fund). Hal ini untuk membantu memastikan pembiayaan yang memadai, berkelanjutan, dan terkoordinasi. Bertujuan untuk tindakan pencegahan (prevention), kesiapsiagaan (preparedness), dan penanggulangan (response) terhadap pandemi di masa depan. Dana tersebut dikelola oleh World Bank dengan komitmen awal sebesar US$1,1 miliar.

Respon kedua mengulas bauran kebijakan makroekonomi, membahas upaya untuk menjaga stabilitas dan memperkuat pemulihan ekonomi di tengah berbagai tantangan yang dihadapi.

Pertama, fundamental makroekonomi yang kuat yang dapat dicapai melalui kebijakan fiskal, moneter. Juga stabilitas keuangan yang terencana, terukur, dan terkomunikasi dengan baik.

Kedua, kebijakan moneter yang pre-emptive, front-loading, dan ahead the curve. Hal ini dicapai tidak hanya melalui suku bunga, melainkan juga instrumen lainnya. Diantaranya, stabilisasi nilai tukar, pengelolaan aliran modal, serta koordinasi dengan Pemerintah.

Ketiga, memperkuat sisi suplai melalui kebijakan sektor riil dan reformasi struktural.

Respon ketiga bertajuk kebijakan moneter dan sektor keuangan untuk stabilitas dan pemulihan.

Pertama, kebijakan moneter perlu kembali menitikberatkan pada stabilitas harga secara pre-emptive dan forward-looking untuk mengendalikan ekspektasi inflasi disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara.

Kebijakan suku bunga tetap menjadi instrumen utama, dilengkapi dengan intervensi nilai tukar dan manajemen arus modal. Terutama di negara berkembang dengan pasar keuangan yang belum dalam.

Kedua, pentingnya pendekatan yang semakin granular dan mikro untuk menjaga kestabilan keuangan, terutama sektor korporasi dan rumah tangga. Di samping kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial juga perlu diterapkan dalam rangka memitigasi risiko-risiko terhadap stabilitas keuangan.

Ketiga, mengingat persoalan stabilitas harga saat ini bersumber pada sisi penawaran, maka koordinasi antara bank sentral dan pemerintah semakin diperlukan. Koordinasi tersebut tidak terbatas pada sinergi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal, namun juga terkait reformasi struktural. G20 berhasil menggabungkan Integrated Policy Framework (IPF) dari IMF dengan Macro Financial Stability Framework (MFSF) dari BIS untuk mengakselerasi terwujudnya stabilitas harga global.

Respon keempat menghadirkan Central Bank Digital Currency (CBDC) dan asset kripto, disambut baik berbagai inisiatif rancangan CBDC. Khususnya dalam penggunaan untuk interoperabilitas dan pembayaran lintas-batas (cross-border payments).

Di samping itu, rancangan CBDC juga perlu menjamin stabilitas moneter dan keuangan internasional. Diskusi juga membahas pentingnya kerangka regulasi dan pengawasan yang kokoh dari asset kripto. Ini termasuk yang disebut stablecoin, dengan menerapkan prinsip ‘same activity, same risk, same regulation‘.

Tujuan yang ingin dicapai adalah memitigasi risiko dari penggunaan asset kripto dan memastikan level playing field, dengan tanpa menghambat inovasi dan inklusi. Membangun kesadaran public akan risiko penggunaan asset kripto merupakan hal penting.

Respon kelima terkait ekonomi dan keuangan hijau. Disini membahas berbagai rekomendasi dalam rangka mengembangkan kerangka untuk pembiayaan transisi menuju net zero emission. Juga meningkatkan kredibilitas lembaga keuangan menuju tujuan tersebut, dan meningkatkan inovasi pada instrument dan pasar keuangan berkelanjutan. Dalam hal ini, ditekankan pentingnya pertukaran pengalaman dalam rangka mendorong pembiayaan dan investasi yang mendukung transisi menuju net zero emission.

Presidensi G20 Indonesia memberikan referensi untuk melakukan exit strategy dari kebijakan luar biasa di masa pandemi untuk mendukung pemulihan. Juga mengatasi efek luka memar (scaring effect) untuk mencapai pertumbuhan jangka panjang yang tinggi.
Selain itu, Presidensi G20 Indonesia berhasil mengajak semua anggota untuk berkomitmen mempertahankan stabilitas keuangan global. Termasuk dengan terus berkoordinasi dalam langkah-langkah kebijakan dan penerapan standar internasional.

Presidensi G20 Indonesia berhasil meyakinkan anggota untuk memperkuat komitmen mendukung transisi yang berjalan mulus (orderly), adil (just), dan terjangkau (affordable) menuju ekonomi hijau dan berkelanjutan.

Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting