Bank Dunia: Prediksi Perekonomian Indonesia 2025

Untuk meningkatkan pertumbuhan, Indonesia perlu berinvestasi lebih dalam di sektor sumber daya manusia, perlindungan sosial, dan penerimaan domestik.

221
Perekonomian Indonesia
Vibizmedia Photo

(Vibiznews-Kolom) Perekonomian Indonesia tetap menunjukkan ketangguhan, didorong oleh permintaan domestik yang kuat dan pemulihan sektor jasa. PDB tumbuh sebesar 5 persen sepanjang tahun ini, dengan kontribusi besar dari konsumsi swasta dan belanja pemerintah. Sektor jasa tetap menjadi penggerak utama pertumbuhan, sementara sektor manufaktur memberikan hasil yang bervariasi. Inflasi secara bertahap menurun, seiring dengan penurunan harga pangan dan energi, dengan inflasi tahunan Indeks Harga Konsumen (IHK) turun menjadi 1,5 persen pada bulan November. Penurunan ini dipicu oleh peningkatan produksi pertanian dan penurunan harga minyak global. Pasar tenaga kerja juga menunjukkan ketangguhan, tercermin dari penurunan tingkat pengangguran dan peningkatan partisipasi angkatan kerja, terutama di kalangan perempuan. Meskipun demikian, tantangan tetap ada terkait dengan lambatnya pemulihan upah riil dan kurangnya penciptaan lapangan kerja kelas menengah bagi generasi muda.

Defisit transaksi berjalan melebar akibat moderasi nilai tukar perdagangan dan faktor musiman yang meningkatkan arus keluar jasa dan pendapatan. Surplus perdagangan barang menyusut karena penurunan harga komoditas dan pelonggaran pembatasan impor, sementara defisit perdagangan jasa membesar akibat impor perjalanan yang meningkat. Namun, pelonggaran moneter global dan stabilitas makro ekonomi Indonesia memperkuat arus modal masuk, cadangan devisa, dan meredakan tekanan terhadap Rupiah. Indikator prudensial sektor perbankan tetap sehat, meski masih ada potensi untuk meningkatkan kedalaman sektor keuangan.

Setelah dua tahun konsolidasi, kebijakan fiskal sedikit dilonggarkan. Defisit fiskal 2024 diperkirakan meningkat menjadi 2,7 persen dari PDB, dari 1,6 persen pada 2023, akibat penurunan penerimaan pajak dan komoditas serta peningkatan belanja untuk bantuan sosial dan infrastruktur. Meskipun defisit melebar, utang publik sedikit menurun menjadi 38,5 persen dari PDB, dengan sebagian besar dalam Rupiah, yang mengurangi risiko nilai tukar. Namun, meningkatnya biaya layanan utang, yang diperkirakan mencapai 4,9 persen dari PDB, menuntut peningkatan penerimaan untuk mendukung keberlanjutan fiskal dan belanja yang berfokus pada pertumbuhan.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) secara bertahap mulai melonggarkan kebijakan moneternya dengan tetap berfokus pada menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah. Pada bulan September, BI menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6,0 persen, sejalan dengan tren pelonggaran moneter global yang terjadi. Penurunan suku bunga ini diharapkan dapat mendukung perekonomian domestik dengan mendorong permintaan domestik dan investasi.

Untuk meredakan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah, BI juga melanjutkan kebijakan penerbitan instrumen moneter yang menawarkan imbal hasil tinggi, seperti Sertifikat Bank Indonesia (SRBI). Instrumen ini terbukti menarik minat modal asing, yang membantu memperkuat cadangan devisa Indonesia dan memberikan stabilitas lebih pada nilai tukar.

Selain itu, BI telah memperkenalkan sejumlah insentif makroprudensial baru untuk mendorong ekspansi kredit sektor swasta. Salah satunya adalah pengurangan rasio cadangan minimum (reserve requirement ratios) untuk sektor-sektor tertentu, yang bertujuan untuk memberikan ruang lebih bagi bank-bank untuk menyalurkan kredit. Langkah-langkah ini terbukti efektif dalam mendorong pertumbuhan kredit sektor swasta, yang kini berada dalam kisaran target BI sebesar 10-12 persen. Dengan langkah-langkah tersebut, BI berupaya untuk mendukung pemulihan ekonomi dengan tetap menjaga kestabilan sistem keuangan dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan jangka panjang.

Prospek ekonomi Indonesia diperkirakan tetap stabil dengan risiko yang seimbang. Perekonomian diproyeksikan tumbuh 5,1 persen per tahun pada 2024-2027, didorong oleh konsumsi dan investasi publik. Inflasi diperkirakan tetap dalam kisaran target BI, meski ada tekanan dari permintaan dalam negeri dan kenaikan tarif PPN. Defisit transaksi berjalan diperkirakan melebar, namun arus masuk investasi asing akan tetap menjadi sumber utama pembiayaan eksternal. Kebijakan fiskal diperkirakan tetap sesuai dengan batasan aturan fiskal, dengan defisit anggaran rata-rata 2,6 persen dari PDB, didukung oleh reformasi perpajakan. Namun, pembayaran bunga utang yang tinggi diperkirakan mencapai 2,2 persen dari PDB.

Risiko negatif termasuk ketegangan geopolitik dan potensi penundaan reformasi fiskal serta struktural, sementara risiko positif meliputi pemulihan ekonomi mitra dagang dan kenaikan harga komoditas. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, diperlukan reformasi struktural yang dapat meningkatkan produktivitas. Pemerintah menargetkan status negara berpendapatan tinggi pada 2045 dan pertumbuhan PDB 8 persen pada 2028 dengan peningkatan investasi swasta dan stimulus fiskal untuk 17 program prioritas, termasuk perlindungan sosial.

Namun, keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada reformasi struktural yang menyertainya. Tanpa reformasi, ekonomi berisiko menghadapi inflasi tinggi dan ketidakseimbangan makroekonomi. Dengan reformasi yang tepat, pertumbuhan tinggi dapat berlanjut dengan stabilitas makroekonomi. Pertumbuhan jangka panjang dan penciptaan lapangan kerja tergantung pada kemajuan dalam reformasi daya saing, yang mencakup aspek fundamental, efisiensi, dan inovasi. Indonesia telah berhasil dalam reformasi fundamental, tetapi tertinggal dalam hal efisiensi, yang menghambat alokasi sumber daya ke sektor yang lebih produktif.

Baca juga: Industri Kelapa Sawit Berperan Strategis bagi Perekonomian Indonesia

Untuk meningkatkan pertumbuhan, Indonesia perlu berinvestasi lebih dalam di sektor sumber daya manusia, perlindungan sosial, dan penerimaan domestik. Pendalaman sektor keuangan, reformasi kebijakan perdagangan, serta keterbukaan investasi juga sangat penting untuk mendorong produktivitas. Selain itu, langkah lebih lanjut diperlukan untuk mengatasi ketidakefisienan birokrasi dan penegakan regulasi agar dapat menarik investasi di sektor bernilai tambah tinggi.

Indikator Makro Ekonomi

Ekonomi Indonesia

Sumber : World Bank

Pendanaan Indonesia Emas

Indonesia Emas 2045 adalah visi yang digagas untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju dengan pendapatan tinggi pada tahun 2045, seiring dengan peringatan 100 tahun kemerdekaannya. Untuk mewujudkan visi ini, Indonesia harus mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan, diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, infrastruktur, dan daya saing global.

Menurut World Bank, untuk mencapai status negara berpendapatan tinggi, Indonesia perlu meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan guna berinvestasi pada sumber daya manusia dan infrastruktur. Stok sumber daya publik dan kualitas sumber daya manusia, seperti kesehatan, gizi, dan pendidikan, masih tertinggal dibandingkan negara-negara sebanding, dan jauh dari negara maju. Menutupi kesenjangan ini akan mendorong produktivitas dan mendukung pertumbuhan berkelanjutan sebesar 6 persen yang diperlukan untuk mencapai visi 2045. Namun, investasi yang diperlukan sangat besar dan harus didanai melalui peningkatan penerimaan pajak, karena peningkatan utang yang signifikan berisiko melanggar batasan defisit dan hutang.

Baca Juga: Bank Dunia : Perekonomian Global Menghadapi Risiko Resesi

Penerimaan pajak yang signifikan dapat diperoleh dengan mengatasi kesenjangan pajak, terutama pada PPN dan PPh Badan. Rasio pajak Indonesia pada 2023 sebesar 10,2 persen dari PDB adalah yang terendah dibandingkan negara-negara sebanding di kawasan dan negara berkembang besar lainnya. Penerimaan pajak Indonesia sekitar 6 poin persentase lebih rendah dibandingkan negara sebanding. Antara 2016 dan 2021, penerimaan pajak yang hilang dari PPN dan PPh Badan rata-rata mencapai 6,4 persen dari PDB. Kekurangan ini disebabkan oleh kebijakan yang tidak optimal dan rendahnya kepatuhan pajak.

Secara keseluruhan, untuk meningkatkan penerimaan pajak, Indonesia perlu melakukan reformasi menyeluruh yang mencakup perluasan basis pajak, perbaikan administrasi perpajakan, serta mengatasi kendala struktural yang menghambat kepatuhan. Reformasi yang dapat memperluas basis pajak antara lain dengan menurunkan ambang batas pendaftaran untuk PPN, sehingga lebih sesuai dengan standar negara berpenghasilan menengah. Hal ini juga bisa diterapkan pada PPh Final UMKM yang bersifat sementara, sementara UMKM di bawah ambang batas tersebut dapat dikenakan PPh Final secara permanen.

Untuk mengatasi kendala struktural yang ada, perlu dilakukan pendalaman sektor keuangan, yang dapat memberikan dampak positif dalam memperkuat kepatuhan pajak. Pendalaman sektor keuangan diharapkan dapat meningkatkan transparansi informasi, mendorong formalitas dalam transaksi bisnis, dan memudahkan pelaporan pajak. Langkah-langkah ini, jika dilaksanakan dengan baik, tidak hanya akan meningkatkan penerimaan pajak, tetapi juga membantu menciptakan sistem perpajakan yang lebih efisien, transparan, dan berkelanjutan di masa depan.