(Vibiznews-Kolom) Janji Donald Trump untuk menerapkan tarif pada impor barang dan jasa asing merupakan salah satu pilar utama retorika kampanyenya. Selama menjabat, ia memberlakukan tarif terhadap Meksiko, Kanada, dan Kolombia, meskipun sebagian besar lebih sebagai alat negosiasi politik ketimbang kebijakan ekonomi yang mendalam. Pada hari pertamanya di Gedung Putih, Trump hanya meminta studi tentang masalah ini, yang seharusnya mudah dilakukan karena sejarah sudah menunjukkan potensi risiko dan manfaatnya.
Pajak Tambahan
Tarif pada dasarnya adalah bentuk pajak tambahan yang dikenakan pada impor. Namun, skala dampaknya terhadap perekonomian AS relatif kecil. Tarif hanya berlaku pada basis impor senilai $3,257 triliun, jauh lebih kecil dibandingkan pajak penghasilan pribadi yang mencakup basis $25,079 triliun. Sebuah tarif 10% kira-kira setara dengan peningkatan pajak pribadi sebesar 1,3 poin—bukan jumlah yang signifikan.
Dari sisi pendapatan negara, tarif bukanlah sumber pemasukan utama. Sebelum kebijakan Trump ini, pendapatan dari tarif hanya berkontribusi 1,1% terhadap total pendapatan pajak federal. Setelah penerapannya pada Juli 2018, pendapatan dari tarif naik menjadi 2% dalam satu tahun, tetapi tetap kecil dalam skala besar. Joe Biden, yang dalam kampanyenya berjanji akan mencabut tarif Trump, nyatanya tidak melakukannya, bahkan menambahkan tarifnya sendiri. Saat ini, tarif menyumbang 1,7% dari pendapatan federal, yang masih tergolong rendah.
Dampak Ekonomi
Berdasarkan data 20 bulan setelah tarif Trump diterapkan (Juli 2018–Februari 2020), tidak ada bukti bahwa tarif meningkatkan inflasi. Inflasi Indeks Harga Konsumen (CPI) selama periode ini rata-rata 2,1%, hampir identik dengan 2,2% pada 20 bulan sebelumnya. Hal ini bertentangan dengan kekhawatiran bahwa tarif akan menyebabkan lonjakan harga.
Dampak terhadap pertumbuhan ekonomi juga tidak signifikan. Selama 20 bulan pertama tarif Trump, pertumbuhan PDB riil rata-rata 2,7% per tahun, hampir sama dengan 2,9% pada 20 bulan sebelumnya. Begitu pula dengan defisit perdagangan, yang tetap rata-rata 2,2% dari PDB selama periode tersebut.
Restrukturisasi Perdagangan Global
Salah satu alasannya adalah bahwa tarif berguna untuk merombak tatanan perdagangan global, menjadikan AS sebagai pusat dan mempertahankan dominasi dolar sebagai mata uang cadangan dunia. Bahkan, Trump telah mengancam akan mengenakan tarif pada negara yang tidak menghormati supremasi dolar.
Penasihat ekonominya, Stephen Miran, mendukung tarif serta kebijakan lain seperti kontrol modal, perpajakan investasi asing, devaluasi dolar, dan bahkan eksplorasi penjualan cadangan emas AS. JD Vance, Wakil Presiden dalam timnya, berpendapat bahwa status dolar sebagai mata uang cadangan global justru berkontribusi terhadap defisit perdagangan dan biaya pinjaman yang rendah, yang melemahkan industri manufaktur Amerika. Namun, manufaktur AS justru mencapai titik terendah pada 2010—delapan tahun sebelum tarif Trump—dan meningkat sejak saat itu kecuali selama pandemi.
Sejarah menunjukkan bahwa tarif tidak memiliki dampak besar terhadap inflasi, pertumbuhan, atau defisit perdagangan, sehingga restrukturisasi besar terhadap sistem perdagangan global tampaknya lebih berisiko daripada menguntungkan. Sistem perdagangan pascaperang yang ada telah menopang pertumbuhan ekonomi global selama beberapa dekade, dan perubahan drastis dapat mengganggu stabilitas.
Pemerintahan AS menghadapai juga masalah-masalah ekonomi yang lebih mendasar: mengurangi utang dan defisit untuk menekan biaya pinjaman serta mempertahankan reformasi pajak dari 2017 yang terbukti mendukung pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, kebijakan yang lebih berbasis fundamental ekonomi akan lebih efektif.
Dapat menyebabkan penguatan dolar
Salah satu dampak penting dari kebijakan tarif adalah pengaruhnya terhadap nilai tukar dolar AS. Kebijakan AS ini akan menyebabkan penguatan dolar karena meningkatnya permintaan terhadap mata uang AS, terutama ketika mitra dagang membayar lebih mahal untuk barang impor. Namun, efek ini sering kali bersifat jangka pendek dan tergantung pada respons kebijakan moneter serta sentimen pasar global.
Jika kebijakan ini diiringi dengan peningkatan suku bunga oleh Federal Reserve, maka dolar cenderung semakin menguat. Ini dapat berdampak negatif bagi eksportir AS karena produk mereka menjadi lebih mahal di pasar global. Sebaliknya, jika kebijakan tarif memicu ketidakpastian dan melemahkan perdagangan global, investor mungkin mencari aset yang lebih aman, yang pada gilirannya dapat memperlemah dolar dalam jangka panjang.
Dampak terhadap dolar juga tergantung pada reaksi negara-negara lain. Jika mitra dagang AS membalas dengan kebijakan serupa atau melakukan intervensi terhadap mata uang mereka, maka ketidakseimbangan nilai tukar dapat menciptakan volatilitas di pasar keuangan. Dengan demikian, meskipun tarif bertujuan untuk melindungi industri domestik, dampaknya terhadap dolar dan stabilitas ekonomi global tetap menjadi perhatian utama.
Bagaimana Indonesia?
Meskipun Indonesia bukan target utama kebijakan tarif AS, dampaknya tetap terasa dalam berbagai aspek. Dalam perdagangan bilateral, produk ekspor utama Indonesia ke AS seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik berpotensi terdampak jika tarif diperluas ke lebih banyak sektor. Perubahan rantai pasok global akibat kebijaka AS ini akan memberikan peluang bagi Indonesia. Relokasi pabrik ke Asia Tenggara membuka peluang peningkatan investasi asing langsung (FDI) dan penciptaan lapangan kerja. Diversifikasi pasar menjadi strategi penting bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap AS.
Dalam menghadapi perubahan ini, Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan efisiensi produksi dan daya saing industri manufaktur. Memperkuat pasar domestik menjadi langkah penting agar tidak terlalu bergantung pada ekspor ke AS. Selain itu, pengembangan perjanjian dagang dengan negara lain dapat memperluas akses pasar Indonesia di tengah dinamika kebijakan perdagangan global.
Bagi Indonesia, kebijakan AS ini menghadirkan tantangan sekaligus peluang. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan dinamika global ini untuk memperkuat ekonominya, menarik investasi, dan memastikan daya saing di pasar internasional. Oleh karena itu, respons kebijakan yang proaktif dan fleksibel menjadi kunci menghadapi ketidakpastian ekonomi global akibat kebijakan perdagangan AS.
Sejarah menunjukkan bahwa tarif tidak memiliki dampak besar terhadap inflasi, pertumbuhan, atau defisit perdagangan, sehingga restrukturisasi besar terhadap sistem perdagangan global tampaknya lebih berisiko daripada menguntungkan. Namun Kebijakan Tarif dilakukan dengan tujuan menghidupkan kembali manufaktur AS, mengurangi defisit perdagangan, dan menciptakan lapangan kerja bagi pekerja Amerika. Hal ini memang bisa terjadi dan akan lebih kuat bilang disertai dengan inovasi Amerika dalam berbagai bidang.



