(Vibiznews-Kolom) Investor yang menganggap perang dagang baru Presiden Trump lebih banyak ancaman daripada aksi nyata sejauh ini terbukti benar. Namun, hal ini bisa menjadi masalah. Pada Senin pagi, Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum mengumumkan bahwa AS telah setuju untuk menunda penerapan tarif 25% pada barangnya selama satu bulan. Kemudian, setelah pasar saham ditutup, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau mengumumkan penundaan serupa. Kedua negara sepakat untuk memperkuat perbatasan mereka dan menindak penyelundupan fentanyl. Bahkan sebelum detente diumumkan, aksi jual pada hari Senin tidak terlalu dramatis. Dengan adanya gencatan senjata, saham banyak perusahaan yang terkena dampak tarif tetap stabil, termasuk Ford dan General Motors, yang memproduksi mobil di Meksiko untuk dijual kepada konsumen Amerika. Mata uang dolar Kanada dan peso Meksiko mengalami rebound dan bahkan meningkat terhadap dolar AS.
Hal ini memberikan validasi bagi para optimis di Wall Street, yang menganggap ancaman tarif Trump terhadap negara-negara selain China sebagai taktik negosiasi untuk mendapatkan konsesi terkait isu-isu seperti migrasi ilegal dan perdagangan narkotika. Pandangan ini menjadi arus utama di pasar keuangan, sebagaimana tercermin dari tidak melemahnya peso dibandingkan mata uang negara berkembang lainnya sejak pemilu 5 November, serta kenaikan indeks Stoxx Europe 600 sebesar 5,6% sejak awal tahun, meskipun ada ancaman pengenaan tarif pada barang-barang dari Uni Eropa.
Namun, menganggap pendekatan ini hanya sebagai taktik bisa berbahaya. Kebijakan proteksionis Trump saat ini jauh lebih ekstrem dibandingkan periode pertamanya. Sebelumnya, ia menargetkan praktik perdagangan yang dianggap tidak adil dan isu keamanan nasional, dengan tarif yang sebagian besar diterapkan pada China dan beberapa barang tertentu seperti baja, aluminium, serta peralatan rumah tangga. Tarif tersebut diperkenalkan secara bertahap, memberi waktu bagi bisnis untuk beradaptasi. Ya, output manufaktur global sempat tertekan pada 2019, tetapi sempat meningkat pada 2018 karena perusahaan menimbun persediaan. Kali ini, jika negara-negara yang ditargetkan menolak untuk tunduk, tarif efektif AS bisa menjadi yang tertinggi sejak akhir 1930-an.
Selain berdampak negatif terhadap pertumbuhan domestik dan mendorong inflasi, kebijakan ini bisa mengganggu rantai pasokan kompleks yang bisa berdampak tak terduga, seperti yang ditunjukkan oleh pandemi. Lebih buruk lagi, kemungkinan terjadinya skenario ini tampaknya lebih besar ketika menekan sekutu lama dengan sistem demokrasi yang kuat dibandingkan menghadapi negara seperti China, karena tidak jelas sejauh mana pemimpin negara demokratis dapat mundur tanpa kehilangan legitimasi.
Ambil contoh Kanada, yang meskipun sedang mengalami krisis politik, menanggapi ancaman tarif dengan persatuan politik yang lebih kuat. Dari partai tengah-kiri yang dipimpin Trudeau hingga pihak kanan yang sebelumnya dianggap dekat dengan Trump seperti Perdana Menteri Ontario Doug Ford, semua bersatu dalam menolak tekanan AS. Ford bahkan berjanji untuk menarik produk alkohol buatan AS dari toko-toko di provinsinya dan membatalkan kontrak internet berkecepatan tinggi dengan Starlink milik Elon Musk.
Terlepas dari hasil kebijakan akhirnya, produsen AS bisa menghadapi reaksi balik jangka panjang dari konsumen di negara-negara yang terkena dampak. Pengalaman Inggris pasca-Brexit juga menunjukkan bahwa ketidakpastian mengenai gangguan perdagangan dan negosiasi yang berkepanjangan dapat memaksa perusahaan untuk mengambil langkah-langkah defensif, yang berdampak negatif pada investasi bisnis.
Seandainya tarif memiliki manfaat ekonomi jangka panjang, dampaknya mungkin bisa dibenarkan. Berlawanan dengan teori ekonomi klasik, ada kasus di mana tarif dapat meningkatkan produktivitas domestik, terutama jika diterapkan secara selektif dengan dukungan pemerintah terhadap industri berorientasi ekspor. Banyak penelitian ekonomi menunjukkan bahwa strategi “promosi ekspor” yang digunakan oleh negara-negara Asia pada abad ke-20 cukup berhasil. Misalnya, menggunakan tarif untuk mendukung kendaraan listrik buatan AS dibandingkan pesaing yang lebih murah dapat mencerminkan strategi yang digunakan China untuk mengembangkan industrinya sendiri.
Namun, para ekonom sepakat bahwa sepenuhnya melindungi industri domestik dari persaingan tidaklah efektif. Amerika Latin telah membuktikan kegagalan strategi ini pada 1950-an dan 1960-an. Paket tarif baru Trump tampaknya tidak memiliki tujuan ekonomi yang jelas—hanya sekadar untuk mengejutkan pasar. Padahal, Kanada membeli lebih banyak barang dari AS daripada yang dijualnya (tidak termasuk energi). Tarif yang dikenakan pada barang setengah jadi seperti semikonduktor juga bisa lebih merusak industri AS sendiri.
Yang lebih mengkhawatirkan, sikap pasar yang terlalu santai terhadap tarif dapat meningkatkan kemungkinan pemerintahan AS melangkah lebih jauh, dengan keyakinan bahwa pasar telah memberi sinyal bahwa dampaknya tidak akan terlalu buruk. Dengan indeks S&P 500 yang diperdagangkan pada rasio harga terhadap laba sebesar 22 kali, pergeseran dari “America First” ke “Tariffs First” adalah sesuatu yang perlu diwaspadai dengan serius.
Baca juga : INFLASI DI JERMAN DAN PRANCIS SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KEBIJAKAN ECB
Selain dampak langsung pada perdagangan, kebijakan tarif ini juga memiliki implikasi geopolitik yang lebih luas. Negara-negara mitra dagang yang terkena dampak mungkin akan mencari alternatif lain untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS. Uni Eropa, misalnya, bisa semakin memperkuat hubungan dagangnya dengan Asia dan Amerika Latin. China, yang sudah memiliki kesepakatan perdagangan dengan berbagai negara, juga dapat memanfaatkan situasi ini untuk memperluas pengaruh ekonominya.
Di sisi lain, beberapa industri di AS bisa mengalami tekanan tambahan akibat meningkatnya biaya bahan baku dan gangguan rantai pasokan. Sektor otomotif, misalnya, yang sangat bergantung pada komponen dari Meksiko dan Kanada, bisa menghadapi peningkatan biaya produksi yang signifikan. Sektor teknologi juga akan terkena dampaknya, mengingat pentingnya impor semikonduktor dan komponen elektronik dari luar negeri.
Pada akhirnya, ketidakpastian terkait kebijakan perdagangan AS berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi global. Investor dan pelaku bisnis harus lebih waspada terhadap perkembangan ini dan mempertimbangkan dampaknya terhadap strategi investasi mereka. Dengan demikian, penting bagi pemerintah AS untuk mengevaluasi kembali kebijakan tarifnya dan mencari solusi yang lebih berkelanjutan untuk mendukung ekonomi domestik tanpa merusak hubungan dagang internasionalnya.
Tarif sebagai Strategi Ekonomi
Di tengah ketidakpastian global, kebijakan tarif yang diterapkan oleh pemerintahan Trump dapat dipandang sebagai langkah strategis untuk memperkuat perekonomian domestik. Meskipun banyak kritik muncul terkait potensi dampak negatifnya, ada beberapa alasan mengapa kebijakan ini bisa memberikan manfaat jangka panjang bagi AS.
Ancaman tarif telah terbukti menjadi alat negosiasi yang efektif. Kesediaan Meksiko dan Kanada untuk memperkuat perbatasan dan menindak penyelundupan fentanyl menunjukkan bahwa tekanan ekonomi dapat digunakan untuk mencapai tujuan geopolitik yang lebih luas. Dengan kata lain, tarif tidak hanya berfungsi sebagai kebijakan ekonomi, tetapi juga sebagai instrumen diplomasi yang dapat mendorong sekutu AS untuk berkontribusi lebih besar dalam menyelesaikan masalah bersama.
Dalam jangka panjang, tarif dapat memberikan dorongan bagi industri manufaktur AS dengan mengurangi ketergantungan pada impor dan mendorong produksi dalam negeri. Kebijakan proteksionis seperti ini telah terbukti berhasil di berbagai negara Asia yang menerapkan strategi promosi ekspor. Jika AS dapat mengembangkan industri kendaraan listrik atau semikonduktor melalui proteksi sementara, hal ini bisa menciptakan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.
Selain itu, ketergantungan yang berlebihan pada rantai pasokan global telah terbukti menjadi risiko besar, terutama selama pandemi. Dengan meningkatkan produksi domestik, AS dapat memperkuat ketahanan ekonominya dan mengurangi kerentanan terhadap gangguan eksternal. Tarif juga dapat menjadi insentif bagi perusahaan untuk berinvestasi dalam inovasi dan otomatisasi guna mengurangi biaya produksi, yang pada akhirnya meningkatkan daya saing industri dalam negeri.
Dari perspektif ekonomi politik, kebijakan tarif ini juga dapat memperbaiki keseimbangan perdagangan dengan negara-negara yang selama ini menikmati surplus besar terhadap AS. Dengan mengenakan tarif pada barang impor, AS dapat mendorong negosiasi ulang terhadap perjanjian perdagangan yang lebih adil dan menguntungkan bagi pekerja domestik.
Meskipun ada potensi hambatan jangka pendek, kebijakan tarif bukan sekadar tindakan proteksionis yang membatasi perdagangan. Jika diterapkan dengan strategi yang jelas, langkah ini dapat menjadi katalis bagi pertumbuhan industri dalam negeri, memperkuat posisi negosiasi AS dalam hubungan perdagangan global, serta menciptakan sistem ekonomi yang lebih tangguh dan mandiri.