Kondisi Ekonomi Indonesia Dua Bulan Pertama 2025

Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8% pada tahun 2025, sebuah angka yang ambisius mengingat berbagai tantangan yang dihadapi. Untuk mencapai target ini, dibutuhkan investasi sekitar Rp10.000 triliun, jauh di atas kebutuhan investasi tahun sebelumnya yang hanya Rp6.900 triliun untuk pertumbuhan 5,2%.

1464
Indonesia Ekonomi

(Vibiznews-Kolom) Ekonomi Indonesia memasuki tahun 2025 dengan berbagai tantangan, mulai dari defisit APBN, turunnya penerimaan pajak, hingga tekanan inflasi dan daya beli masyarakat. Namun, di balik tantangan ini, terdapat peluang besar untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan. Artikel ini akan membahas kondisi ekonomi Indonesia saat ini serta langkah-langkah yang dapat diambil untuk memperbaikinya secara lebih komprehensif, dengan menyoroti strategi pemulihan dan peluang investasi.

Defisit APBN Rp31,2 Triliun

Pada periode yang sama tahun 2024, APBN masih mencatat surplus sebesar Rp26 triliun atau 0,11% dari PDB. Namun, pada tahun 2025, kondisi ini berubah drastis dengan defisit mencapai Rp31,2 triliun atau 0,13% dari PDB. Penyebab utama defisit ini adalah penurunan penerimaan pajak sebesar 20,8% secara tahunan, berbeda dengan tahun 2024 yang masih menunjukkan stabilitas dalam penerimaan pajak.

Penurunan penerimaan pajak juga dipengaruhi oleh implementasi sistem perpajakan Cortex yang diharapkan meningkatkan efisiensi administrasi pajak. Namun, dalam tahap awal penerapannya, terjadi beberapa kendala teknis yang menyebabkan perlambatan dalam pengumpulan pajak. Wajib pajak yang masih beradaptasi dengan sistem ini menghadapi kesulitan dalam pelaporan dan pembayaran pajak, yang pada akhirnya berdampak pada penerimaan negara. Pemerintah diharapkan segera mengatasi kendala ini melalui edukasi lebih lanjut dan optimalisasi sistem agar penerimaan pajak bisa kembali normal dalam waktu dekat.

Dalam konferensi pers yang digelar Kementerian Keuangan pada 18 Maret 2025, Menteri Keuangan menegaskan bahwa APBN tahun 2025 tetap dikelola sesuai amanat Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024. Pemerintah telah mendesain APBN dengan rancangan defisit 2,53% dari PDB, dan target ini akan terus dijaga dengan ketat.

Penerimaan pajak menjadi salah satu fokus utama pemerintah. Setelah mengalami tekanan pada Februari, penerimaan bruto pada 1-17 Maret 2025 menunjukkan pertumbuhan positif 6,6%, meningkat dari 3,8% pada Februari. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh perbaikan sistem perpajakan dan meningkatnya kepatuhan wajib pajak. Namun, faktor restitusi yang besar sebelumnya sempat menyebabkan fluktuasi dalam penerimaan negara.

Di sisi lain, harga komoditas utama seperti batu bara dan minyak sawit mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi global. Harga batu bara turun dari USD 200 per metrik ton pada 2024 menjadi USD 150 per metrik ton pada awal 2025, sementara harga CPO juga melemah dari USD 1.300 per metrik ton menjadi USD 1.100 per metrik ton. Penurunan harga ini berkontribusi terhadap berkurangnya pendapatan ekspor dan mempengaruhi keseimbangan transaksi berjalan.

Evaluasi Kondisi Ekonomi Menurut Survei LPEM FEB UI

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh LPEM FEB UI terhadap 42 ahli ekonomi, mayoritas (55%) menyatakan bahwa kondisi ekonomi saat ini memburuk dibandingkan tiga bulan lalu. Sebanyak 23 dari 42 ahli memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi pada periode berikutnya akan lebih rendah dari sebelumnya, dengan rata-rata skor ekspektasi sebesar -0.36, mengindikasikan kemungkinan kontraksi ekonomi. Meski demikian, ada 6 ahli yang masih optimis bahwa pertumbuhan ekonomi bisa meningkat.

Baca juga : Survei Ekonomi LPEM FEB UI 2025

Salah satu faktor yang menjadi sorotan dalam survei ini adalah ketidakpastian kebijakan fiskal dan moneter. Pemerintah masih menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan antara pengeluaran yang produktif dan defisit fiskal yang semakin melebar. Di sisi lain, kebijakan moneter yang lebih ketat akibat tekanan inflasi juga berpotensi memperlambat pertumbuhan kredit dan investasi di sektor riil. Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah berencana menerapkan kebijakan stimulus yang lebih selektif dan terarah, terutama dalam bentuk subsidi untuk sektor industri strategis dan insentif investasi bagi UMKM.

Performa PMI dan Sektor Industri

Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia pada Februari 2025 berada di angka 53,6, meningkat dari 51,9 pada Januari 2025. Kenaikan ini menunjukkan ekspansi sektor manufaktur yang berkelanjutan meskipun terdapat tantangan global dan domestik. Namun, peningkatan ini belum sepenuhnya mencerminkan peningkatan permintaan, karena beberapa produsen masih menghadapi kendala dalam menyerap pasokan akibat menurunnya daya beli masyarakat.

PMI di atas angka 50 mencerminkan ekspansi sektor manufaktur, yang berarti sektor ini masih berkembang. Namun, jika dibandingkan dengan PMI di beberapa negara ASEAN lainnya seperti Vietnam (55,2) dan Malaysia (54,1), pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia masih relatif tertinggal. Ini mengindikasikan perlunya peningkatan produktivitas industri dan inovasi untuk meningkatkan daya saing manufaktur nasional di pasar global.

Pemerintah juga telah menerapkan berbagai kebijakan untuk mendorong pertumbuhan sektor manufaktur, termasuk insentif pajak bagi industri yang berorientasi ekspor serta subsidi energi bagi industri padat karya. Jika kebijakan ini berhasil, sektor manufaktur dapat menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi pada 2025. Selain itu, pemerintah sedang mengembangkan zona ekonomi khusus dan mempercepat pembangunan infrastruktur industri untuk menarik lebih banyak investasi asing dan domestik.

IHSG Anjlok 6,06% dalam Sehari

Pada 18 Maret 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami koreksi tajam sebesar 6,06%, turun 392,02 poin ke level 6.079,93. Dibuka pada 6.458,67, indeks terus mengalami tekanan hingga menyentuh level terendah 6.011,84 sebelum siang hari. Ini merupakan salah satu penurunan harian terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Penurunan ini dipicu oleh kombinasi faktor global dan domestik, termasuk ketidakpastian ekonomi, defisit APBN, serta penurunan daya beli masyarakat yang mulai tercermin dalam laporan keuangan perusahaan sektor konsumsi.

Sentimen negatif juga dipicu oleh aksi jual investor asing yang menarik dana mereka dari pasar Indonesia. Data menunjukkan bahwa investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp3,8 triliun dalam sehari, menunjukkan kekhawatiran akan perlambatan ekonomi nasional. Selain itu, tekanan terhadap nilai tukar rupiah yang melemah ke level Rp15.400 per dolar AS turut memperburuk kondisi pasar modal.

Baca juga : Penurunan Saham Mengancam Pilar Ekonomi

Meski demikian, beberapa analis melihat koreksi ini sebagai peluang investasi bagi investor jangka panjang. Saham-saham sektor perbankan, infrastruktur, dan manufaktur yang mengalami penurunan tajam berpotensi mengalami rebound jika fundamental ekonomi mulai membaik. Pemerintah dan otoritas keuangan diharapkan mengambil langkah-langkah stabilisasi, seperti intervensi pasar dan kebijakan moneter yang lebih akomodatif, untuk mengembalikan kepercayaan investor.

Kepercayaan Investor terhadap APBN dan Pergeseran Modal ke Surat Utang

Di tengah dinamika pasar keuangan yang cukup tinggi, lelang Surat Utang Negara (SUN) pada 18 Maret 2025 mencerminkan kuatnya kepercayaan investor terhadap pemerintah. Total incoming bid mencapai Rp61,75 triliun, atau 2,38 kali lipat dari target indikatif Rp26 triliun. Investor asing menyumbang Rp13,95 triliun, atau 22,59% dari total bid.

Fenomena ini mencerminkan flight to quality, yaitu peralihan modal dari aset berisiko tinggi seperti saham ke instrumen yang lebih stabil seperti obligasi pemerintah. Hal ini diperkuat dengan meningkatnya imbal hasil (yield) SUN tenor 10 tahun yang kini mencapai 7%.

Meskipun permintaan tinggi terhadap SUN mencerminkan kepercayaan investor, peningkatan Credit Default Swap (CDS) menunjukkan bahwa risiko ekonomi domestik juga meningkat. Hal ini menandakan bahwa meskipun investasi di surat utang masih diminati, ada kekhawatiran terhadap stabilitas ekonomi jangka panjang.

Ekspektasi Inflasi dan Pasar Tenaga Kerja

Survei LPEM FEB UI juga menunjukkan bahwa mayoritas ahli ekonomi memperkirakan inflasi akan meningkat dalam periode mendatang. Dari 42 ahli yang disurvei, 20 menyatakan bahwa tekanan inflasi akan bertambah, sementara hanya 8 yang memperkirakan inflasi akan tetap stabil. Rata-rata ekspektasi inflasi mencapai 0,29, menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan harga barang dan jasa di masa depan.

Inflasi yang meningkat terutama disebabkan oleh naiknya harga pangan dan energi, yang masih sangat bergantung pada faktor eksternal seperti harga minyak dunia dan rantai pasok global. Dengan ketergantungan impor yang cukup tinggi pada bahan pangan dan energi, Indonesia masih rentan terhadap gejolak harga di pasar internasional. Oleh karena itu, pemerintah mendorong peningkatan ketahanan pangan nasional melalui program diversifikasi pertanian, subsidi pupuk, serta investasi dalam teknologi pertanian modern.

Di sisi lain, kondisi pasar tenaga kerja dinilai memburuk, dengan mayoritas ahli (19 dari 42) menyatakan bahwa lapangan pekerjaan semakin terbatas. Bahkan, sebanyak 9 ahli menganggap kondisi tenaga kerja jauh lebih buruk dibandingkan sebelumnya, dengan skor rata-rata ekspektasi sebesar -0,86. Hal ini menandakan bahwa masih ada tantangan besar dalam menciptakan kesempatan kerja yang memadai bagi masyarakat.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah meluncurkan program pelatihan dan sertifikasi tenaga kerja guna meningkatkan keterampilan angkatan kerja dan memperbaiki daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar global. Selain itu, insentif bagi industri yang menciptakan lapangan kerja serta perbaikan regulasi ketenagakerjaan juga diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap tingkat pengangguran.

Target Pertumbuhan Ekonomi 8% dan Kebutuhan Investasi

Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8% pada tahun 2025, sebuah angka yang ambisius mengingat berbagai tantangan yang dihadapi. Untuk mencapai target ini, dibutuhkan investasi sekitar Rp10.000 triliun, jauh di atas kebutuhan investasi tahun sebelumnya yang hanya Rp6.900 triliun untuk pertumbuhan 5,2%. Tantangan utama dalam mencapai target ini adalah bagaimana menarik investasi yang cukup besar untuk menopang pertumbuhan ekonomi, sambil tetap menjaga stabilitas makroekonomi.

Strategi pemerintah dalam mencapai target ini mencakup peningkatan investasi di sektor infrastruktur, manufaktur, dan ekonomi digital. Dengan memberikan berbagai insentif pajak dan kemudahan regulasi, diharapkan investor baik domestik maupun asing akan lebih tertarik menanamkan modalnya di Indonesia. Selain itu, peningkatan daya saing tenaga kerja dan reformasi birokrasi juga menjadi kunci dalam mendorong efisiensi dan produktivitas ekonomi nasional.

Namun, beberapa tantangan tetap ada, seperti ketidakpastian global, tekanan inflasi, serta perlambatan permintaan global yang dapat mempengaruhi ekspor Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil langkah-langkah proaktif untuk memastikan bahwa target pertumbuhan ini dapat tercapai tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi jangka panjang.

Peran Danantara dalam Meningkatkan Investasi Asing

Untuk menarik investasi dalam jumlah besar, pemerintah telah meluncurkan Dana Anagata Nusantara (Danantara), sovereign wealth fund Indonesia dengan modal awal Rp1.000 triliun ($61 miliar). Dana ini diharapkan mampu menarik investor asing untuk berinvestasi di sektor-sektor prioritas, seperti energi terbarukan, infrastruktur, manufaktur maju, dan ekonomi digital.

Danantara dirancang untuk berfungsi sebagai instrumen investasi yang lebih fleksibel dibandingkan mekanisme investasi tradisional. Dengan pengelolaan yang lebih profesional dan transparan, diharapkan dapat menjadi magnet bagi investor asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia tanpa melalui proses birokrasi yang panjang.

Namun, keberhasilan Danantara dalam menarik investasi asing masih bergantung pada sejumlah faktor, seperti kestabilan regulasi, transparansi dalam pengelolaan dana, serta jaminan keamanan hukum bagi investor. Jika dikelola dengan baik, Danantara dapat menjadi motor penggerak investasi asing dan domestik, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Meskipun menghadapi tantangan besar, ekonomi Indonesia tetap memiliki potensi untuk bangkit dan tumbuh secara berkelanjutan. Dengan kebijakan yang tepat, reformasi perpajakan, peningkatan investasi, serta penguatan daya beli masyarakat, Indonesia dapat mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ambisius. Diperlukan sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil benar-benar memberikan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perekonomian Indonesia di tahun 2025 masih dalam proses pemulihan dari berbagai tantangan global dan domestik. Namun, dengan strategi yang terarah dan kebijakan yang adaptif, masih terdapat peluang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Pemerintah perlu terus berupaya menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif, meningkatkan efisiensi belanja negara, serta memastikan bahwa kebijakan fiskal dan moneter mampu mendukung pertumbuhan ekonomi secara optimal.