(Vibiznews-Kolom) Kondisi pasar modal Indonesia tengah menjadi sorotan setelah terjadi tekanan pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), pelemahan nilai tukar rupiah, serta kebijakan suku bunga yang ditahan oleh Bank Indonesia (BI). Salah satu pertanyaan besar yang muncul adalah mengapa dana asing masih terus keluar meskipun pemerintah berupaya menjaga stabilitas ekonomi?
Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi, meskipun rupiah melemah hingga menembus angka Rp16.500 per dolar AS. Keputusan BI ini bertujuan untuk meredam volatilitas di pasar modal, termasuk di sektor saham, obligasi, dan pasar valuta asing.
Jika BI menurunkan suku bunga saat volatilitas sedang tinggi, maka risiko pelemahan rupiah dapat meningkat dan menyebar ke sektor lainnya. Oleh karena itu, fokus BI saat ini adalah menjaga stabilitas jangka pendek terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan pelonggaran moneter lebih lanjut.
Salah satu penyebab utama pelemahan rupiah adalah pola musiman menjelang bulan Ramadan dan Lebaran. Pada periode ini, permintaan dolar AS meningkat karena adanya peningkatan impor barang konsumsi dan bahan bakar minyak (BBM).
Lebih lanjut, sekitar 30% dari permintaan dolar di pasar berasal dari impor BBM, yang mencapai 2 hingga 3 miliar dolar AS per bulan. Tekanan ini semakin meningkat ketika memasuki periode Mei dan Juni, di mana terjadi repatriasi dividen dan pembayaran utang luar negeri oleh perusahaan-perusahaan Indonesia.
Selain faktor musiman, situasi global juga berperan besar. Fenomena “strong dollar” akibat arus modal yang beralih ke Amerika Serikat karena ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat membuat mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah, tertekan.
Meskipun nilai tukar rupiah saat ini mencapai level yang mendekati angka krisis 1998, ekonom menegaskan bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini sangat berbeda dibandingkan masa lalu. Dibandingkan dengan tahun 1998, PDB Indonesia saat ini sekitar 10 kali lebih besar. Bank Indonesia memiliki cadangan devisa yang jauh lebih besar dibandingkan era krisis, sehingga lebih mampu mengintervensi pasar. Pemerintah lebih disiplin dalam mengelola kebijakan fiskalnya.
Oleh karena itu, pelemahan rupiah saat ini lebih disebabkan oleh faktor eksternal dan musiman, bukan indikasi krisis seperti yang pernah terjadi di masa lalu.
Dalam beberapa hari terakhir, IHSG mengalami koreksi cukup tajam, bahkan sempat turun hingga lebih dari 7% dalam satu hari. Namun, ekonom menjelaskan bahwa koreksi ini lebih bersifat teknikal dan bukan karena adanya aksi jual besar-besaran oleh investor asing.
Apa yang terjadi di pasar saham adalah aksi “margin call” dan “force liquidation”, yang menyebabkan kepanikan di kalangan investor ritel. Beberapa saham konglomerasi yang sebelumnya mengalami kenaikan signifikan akhirnya mengalami aksi ambil untung (profit taking), yang kemudian berlanjut dengan aksi jual lanjutan oleh investor lainnya.
Menariknya, investor asing justru tidak terlalu banyak melakukan aksi jual dalam jumlah besar. Data menunjukkan bahwa pada saat IHSG terkoreksi 7%, aksi jual asing hanya sekitar Rp300 miliar di saham BBRI, angka yang tergolong kecil dibandingkan dengan kapitalisasi pasar BBRI yang mencapai lebih dari Rp500 triliun.
Dengan demikian, pelemahan IHSG lebih disebabkan oleh aksi spekulatif di kalangan investor domestik dibandingkan dengan keluarnya dana asing secara masif.
Dalam konteks perekonomian Indonesia, kebijakan fiskal memiliki peran yang lebih dominan dibandingkan kebijakan moneter. Hal ini karena ekonomi Indonesia lebih bergantung pada stimulus dari belanja pemerintah dibandingkan dengan suku bunga BI.
Kredit perbankan terhadap PDB Indonesia hanya sekitar 40%, jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Singapura, di mana rasio ini mendekati 100%. Oleh karena itu, meskipun BI menurunkan suku bunga, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak akan sebesar efek dari kebijakan fiskal yang dikelola oleh Kementerian Keuangan.
Kebijakan BI lebih berfokus pada stabilitas pasar keuangan, sementara pertumbuhan ekonomi lebih bergantung pada belanja pemerintah dan kebijakan fiskal.
Pemerintah terus berupaya mengejar pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dengan meningkatkan investasi, mendorong hilirisasi industri dan pengembangan energi terbarukan. Target investasi nasional mencapai Rp13.032 triliun dalam lima tahun ke depan, naik signifikan dari Rp9.000 triliun dalam sepuluh tahun terakhir.
Namun, tantangan tetap ada, termasuk dalam hal regulasi dan transparansi investasi. Salah satu kendala utama adalah perbedaan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah, yang kerap membuat investor menghadapi ketidakpastian. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya menyelaraskan regulasi agar iklim investasi lebih kondusif.
Untuk memperkuat ekosistem investasi, pemerintah membentuk Danantara, sebuah holding yang akan mengelola seluruh aset BUMN. Konsolidasi ini diharapkan tidak hanya meningkatkan efisiensi tetapi juga kepercayaan publik terhadap tata kelola aset negara. Dengan prinsip utama transparansi, tata kelola yang baik, serta manajemen risiko yang kuat.
Salah satu tujuan utama Danantara adalah memastikan bahwa aset negara dikelola secara optimal, sekaligus membuka ruang yang lebih besar bagi dunia usaha untuk berpartisipasi dalam investasi. Fokus utama investasi Danantara mencakup hilirisasi, energi terbarukan, kesehatan, serta ekonomi digital.
Sebagai kesimpulan, kondisi sekarang ini, BI menahan suku bunga untuk menjaga stabilitas jangka pendek, bukan karena kondisi ekonomi yang buruk. Pelemahan rupiah lebih disebabkan oleh faktor musiman dan global, bukan karena ketidakstabilan ekonomi. IHSG terkoreksi akibat aksi jual spekulatif, bukan karena keluarnya dana asing dalam jumlah besar. Kebijakan fiskal lebih berperan dalam pertumbuhan ekonomi, sementara kebijakan moneter lebih berfokus pada stabilitas keuangan. Pemerintah terus mendorong investasi langsung dan memperbaiki regulasi untuk meningkatkan daya tarik investasi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 8%. Danantara dibentuk sebagai langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi pengelolaan aset BUMN.Meskipun tekanan terhadap rupiah dan IHSG terjadi, kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih cukup kuat untuk menghadapi tantangan ini. Dengan strategi kebijakan yang tepat, stabilitas ekonomi dapat tetap terjaga.