Kondisi Ekonomi Indonesia Triwulan I 2025

Negara-negara berkembang dengan ketergantungan tinggi terhadap ekspor menjadi kelompok yang paling terdampak. Thailand mengalami koreksi pertumbuhan hingga 1,1% poin, Vietnam 0,9% poin, Filipina 0,6%, dan Meksiko 1,7%. Indonesia sendiri mengalami penurunan proyeksi sebesar 0,4% poin menjadi 4,7%.

6741
Resiliensi Ekonomi Indonesia

(Vibiznews-Kolom) Di tengah ketidakpastian global yang semakin kompleks, Indonesia menampilkan ketahanan ekonomi yang kuat. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner LPS, menyampaikan hasil rapat berkala kedua tahun 2025 pada 17 April lalu. Laporan tersebut mencerminkan bagaimana Indonesia terus berupaya menjaga stabilitas sistem keuangan dan memelihara pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan global yang meningkat.

Perang dagang dan ketidakpastian ekonomi

Memasuki awal 2025, perekonomian global masih dibayangi ketegangan perdagangan akibat kebijakan tarif Amerika Serikat. Pemerintahan Presiden Donald Trump memicu eskalasi perang dagang dengan kebijakan tarif resiprokal terhadap negara-negara mitra dagang, terutama Tiongkok. Ketegangan ini bukan hanya berdampak pada dua negara tersebut, tetapi juga mengguncang kestabilan sistem perdagangan global secara keseluruhan.

Baca juga : Kondisi Ekonomi Indonesia Dua Bulan Pertama 2025

International Monetary Fund (IMF) melalui World Economic Outlook edisi April 2025 menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini menjadi 2,8%, dari sebelumnya 3,3%. Sementara itu, proyeksi tahun 2026 juga turun menjadi 3% dari 3,3%. Penurunan tersebut mencerminkan kekhawatiran atas dampak kebijakan proteksionis dan ketegangan geopolitik terhadap aktivitas ekonomi internasional.

Negara-negara berkembang dengan ketergantungan tinggi terhadap ekspor menjadi kelompok yang paling terdampak. Thailand mengalami koreksi pertumbuhan hingga 1,1% poin, Vietnam 0,9% poin, Filipina 0,6%, dan Meksiko 1,7%. Indonesia sendiri mengalami penurunan proyeksi sebesar 0,4% poin menjadi 4,7%. Meski demikian, penurunan ini masih relatif kecil karena ekonomi Indonesia ditopang oleh permintaan domestik yang kuat dan keterkaitan perdagangan internasional yang lebih moderat dibanding negara lain.

Dampak kebijakan tarif dan respons internasional

Ketegangan dagang antara AS dan Tiongkok meningkat setelah kedua negara saling menaikkan tarif impor hingga lebih dari 100%. Beberapa negara memilih jalur diplomasi untuk merespons kebijakan AS, tetapi langkah retaliasi dari Tiongkok menciptakan tekanan tambahan terhadap prospek ekonomi global. Akibatnya, terjadi pelarian modal ke aset aman (safe haven assets) seperti emas dan surat utang negara-negara maju, serta pelemahan mata uang negara berkembang.

Di tengah gejolak ini, pemerintah AS akhirnya menunda pemberlakuan tarif resiprokal selama 90 hari untuk negara-negara yang tidak melakukan retaliasi. Namun, tarif dasar sebesar 10% tetap diberlakukan secara universal. Keputusan ini menciptakan ketidakpastian tambahan dalam perencanaan dan investasi lintas negara.

Ketahanan domestik dan prospek ekonomi Indonesia

Di tengah tekanan eksternal tersebut, Indonesia menunjukkan performa ekonomi yang tetap tangguh. Konsumsi rumah tangga tetap menjadi penggerak utama pertumbuhan, terutama didorong oleh belanja pemerintah menjelang Hari Raya Idulfitri 1446 H dalam bentuk Tunjangan Hari Raya (THR), bantuan sosial, dan insentif fiskal lainnya.

Investasi juga mengalami peningkatan, ditopang oleh keberlanjutan proyek strategis nasional dan keyakinan produsen yang tercermin dari aktivitas manufaktur yang masih berada di zona ekspansi. Khususnya, investasi nonbangunan seperti pengadaan alat berat dan mesin mendukung pertumbuhan ekonomi dari sisi suplai.

Ekspor nonmigas juga menunjukkan kinerja yang solid. Pada Maret 2025, ekspor komoditas seperti Crude Palm Oil (CPO), besi dan baja, serta peralatan listrik meningkat signifikan. Pemerintah secara aktif menjajaki pasar alternatif seperti ASEAN, BRICS, dan Eropa untuk memperluas pangsa ekspor Indonesia di tengah hambatan tarif Amerika Serikat.

Dengan mempertimbangkan berbagai indikator tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 diperkirakan akan tetap berada pada kisaran 5%.

Stabilitas rupiah dan kebijakan moneter yang responsif

Nilai tukar rupiah relatif stabil di tengah tekanan global. Pada 27 Maret 2025, rupiah tercatat pada level Rp16.560 per USD, menguat 0,12% dari posisi akhir Februari. Namun, saat pasar domestik tutup selama libur panjang Idulfitri, terjadi tekanan di pasar offshore non-deliverable forward (NDF). Bank Indonesia merespons dengan melakukan intervensi berkesinambungan di pasar Asia, Eropa, dan New York.

Upaya tersebut berhasil menstabilkan rupiah yang kembali menguat menjadi Rp16.855 per USD pada 22 April 2025. Pergerakan nilai tukar rupiah masih sejalan dengan mata uang negara lain di kawasan dan didukung oleh fundamental ekonomi domestik yang kuat, inflasi yang rendah, dan imbal hasil aset keuangan yang menarik.

Inflasi terjaga dan strategi pengendalian harga

Tingkat inflasi Indonesia pada Maret 2025 tetap terkendali. Indeks Harga Konsumen (IHK) mencatat inflasi sebesar 1,03% secara tahunan (year-on-year), dengan inflasi inti sebesar 2,48%. Inflasi kelompok makanan bergejolak (volatile food) menurun menjadi 0,37%, sementara kelompok harga barang yang diatur pemerintah mengalami deflasi sebesar 3,16%.

Kinerja inflasi ini menunjukkan keberhasilan sinergi pengendalian harga antara pemerintah pusat dan daerah melalui Tim Pengendali Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID), serta program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP). Proyeksi inflasi untuk 2025 dan 2026 tetap dalam sasaran 2,5% ±1%, dengan ekspektasi inflasi yang masih terjangkar dan stabil.

Pasar surat berharga negara tetap menarik

Meskipun pasar keuangan global bergejolak, kinerja pasar surat berharga negara (SBN) Indonesia tetap terjaga. Yield SBN tenor 10 tahun sempat naik ke level 7,8% pada awal April 2025 pasca libur Lebaran, namun kembali turun ke 6,98% pada 22 April.

Investor asing mencatatkan net buy sebesar Rp12,78 triliun, meski proporsi kepemilikan mereka sedikit menurun dari 14,3% menjadi 14,25%. Stabilitas pasar SBN turut didorong oleh ekspektasi inflasi yang rendah dan prospek pertumbuhan ekonomi nasional yang positif.

APBN sebagai shock absorber ekonomi

Kinerja APBN triwulan I 2025 mencerminkan pengelolaan fiskal yang sehat. Defisit anggaran sebesar Rp104,2 triliun atau 0,43% dari PDB masih dalam batas aman. Sementara itu, keseimbangan primer mencatatkan surplus Rp17,5 triliun dan posisi kas negara menunjukkan SILPA sebesar Rp145,8 triliun.

Pendapatan negara dan hibah mencapai Rp516,1 triliun (17,2% dari target), sementara belanja negara sebesar Rp620,3 triliun (17,1%). Penerimaan perpajakan meningkat signifikan, mencapai Rp400,1 triliun, atau 16,1% dari target. Penerimaan pajak bulan Maret sendiri mencapai Rp134,8 triliun, menunjukkan rebound dari bulan sebelumnya sebesar Rp98,9 triliun.

Belanja negara dimanfaatkan secara efektif untuk menjaga daya beli masyarakat melalui subsidi energi, diskon tarif listrik, bantuan sosial seperti PKH dan JKN, serta insentif fiskal sektor-sektor padat karya. Pemerintah pusat telah merealisasikan belanja sebesar Rp413,2 triliun, dan transfer ke daerah sebesar Rp207,1 triliun.

Insentif dan stimulus untuk dorong pertumbuhan

Sejumlah insentif ekonomi dikeluarkan selama triwulan I 2025 untuk menjaga momentum pertumbuhan, antara lain:

  1. PPh 21 DTP untuk pekerja sektor padat karya.
  2. Diskon tarif listrik 50% untuk pelanggan rumah tangga daya <2200 VA.
  3. PPN DTP untuk rumah tapak dan rumah susun.
  4. PPnBM dan PPN DTP untuk kendaraan listrik berbasis baterai.
  5. Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) dan Tindakan Pengamanan (BMTP) untuk industri manufaktur.
  6. Diskon tiket pesawat 6% dan diskon tarif tol 20% selama mudik Idulfitri.

Insentif tersebut berhasil mendorong konsumsi domestik, mobilitas masyarakat, dan kegiatan ekonomi selama liburan Idulfitri.

Langkah diplomasi dan reformasi struktural

Dalam merespons kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat, Indonesia melakukan berbagai upaya diplomatik, termasuk negosiasi bilateral dan penyesuaian tarif bea masuk terhadap produk-produk dari AS. Selain itu, pemerintah meningkatkan impor barang-barang strategis dari AS seperti migas, mesin, dan produk pertanian.

Reformasi struktural juga dipercepat, seperti penyesuaian kebijakan non-tarif (TKDN, kuota impor, deregulasi pertek), dan penanggulangan banjir impor melalui trade remedies. Hal ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo untuk memperkuat daya saing nasional melalui deregulasi dan penyederhanaan perizinan lintas sektor.

Penguatan SDM dan akselerasi proyek strategis

Pemerintah terus fokus memperkuat kualitas sumber daya manusia sebagai bagian dari strategi pembangunan jangka panjang. Program prioritas seperti pemberian makan bergizi gratis, pembangunan sekolah unggulan, pemeriksaan kesehatan gratis, dan percepatan pengentasan kemiskinan ekstrem menjadi prioritas nasional.

Sementara itu, akselerasi proyek strategis nasional tetap dijalankan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja.