(Vibiznews – Kolom) Wall Street Journal melaporkan bahwa sejumlah perusahaan besar mulai meninggalkan praktik panduan laba kuartalan, sebuah langkah yang mengindikasikan pergeseran paradigma di antara para CEO. Dalam lanskap market yang semakin dibentuk oleh tekanan jangka pendek, langkah ini terlihat tidak lazim, bahkan berisiko. Namun ketika dilakukan oleh raksasa seperti Walmart, pasar justru menyambut positif keputusan tersebut. Berbeda dengan Snap, yang sahamnya anjlok lebih dari 12% ketika melakukan hal serupa beberapa pekan sebelumnya.
Ketika sebuah perusahaan tidak lagi memberikan panduan kuartalan, banyak analis yang merasa kehilangan arah. Namun ada pula yang melihat ini sebagai isyarat bahwa para CEO tertentu merasa cukup percaya diri untuk mengabaikan ekspektasi jangka pendek Wall Street. Sebuah kepercayaan diri yang, seperti disampaikan Wall Street Journal, hanya dimiliki oleh segelintir CEO elite.
Salah satu figur legendaris yang paling sering dikaitkan dengan filosofi ini adalah Henry Singleton, pendiri dan CEO Teledyne, yang pada masa jayanya di tahun 1960-an hingga 1980-an dikenal sebagai ikon manajemen jangka panjang. Ia tidak hanya mengabaikan panduan laba, tetapi juga sering mengambil langkah yang bertentangan dengan arus pasar. Ketika harga saham Teledyne menurun di era 1970-an, ia mulai menjual sejumlah unit bisnis dan membeli kembali hampir seluruh saham perusahaannya, sebuah tindakan yang kini dikenal sebagai buyback dan sangat umum dilakukan. Pada saat itu, keputusan tersebut dianggap aneh. Namun hasilnya terbukti dengan pengembalian tahunan Teledyne melampaui 20%, jauh di atas rata-rata pasar.
Charlie Munger, wakil ketua Berkshire Hathaway, bahkan pernah menyebut Singleton sebagai “pengusaha paling cerdas yang pernah saya kenal.”
Figur-figur seperti Singleton nyaris tidak ditemukan dalam dunia korporasi modern, di mana insentif eksekutif sangat bergantung pada kinerja saham jangka pendek. Mayoritas paket kompensasi CEO kini berbentuk opsi saham, yang nilainya dapat anjlok jika perusahaan gagal memenuhi ekspektasi pasar. Akibatnya, banyak CEO memilih bermain aman dan terus memberikan panduan yang terukur kepada investor.
Namun para pemimpin sejati justru bertindak seolah mereka benar-benar pemilik perusahaan, meskipun kadang mereka hanya memiliki sebagian kecil saham. Mereka berani mengambil keputusan jangka panjang, bahkan jika itu berarti menghadapi kekecewaan investor jangka pendek.
Ketika Apple di bawah kepemimpinan Tim Cook, JPMorgan Chase bersama Jamie Dimon, dan Berkshire Hathaway yang dipimpin Warren Buffett memilih untuk berhenti memberikan panduan kuartalan, keputusan tersebut mencerminkan posisi mereka yang sangat aman. Ketiganya termasuk dalam kategori CEO elite, yang tidak mudah digoyang oleh tekanan analis atau komentar pasar. Buffett, yang baru-baru ini mengumumkan rencana pensiun setelah enam dekade memimpin Berkshire Hathaway, secara konsisten menolak memberikan panduan laba sejak awal.
Hal ini kontras dengan langkah United Airlines baru-baru ini. Alih-alih berhenti memberikan panduan, maskapai tersebut merilis dua skenario laba yang berbeda, satu untuk kondisi resesi, dan satu lagi untuk ekspansi. Pendekatan ini memang unik, tetapi tetap berada dalam kerangka keinginan untuk menyenangkan pasar.
Menghindari permainan ekspektasi jangka pendek bisa menjadi strategi sehat bagi lebih banyak perusahaan. Namun sayangnya, hanya sedikit yang cukup kuat untuk menanggung konsekuensinya. Sebab dalam banyak kasus, menyetop panduan laba bisa dianggap sebagai tanda kelemahan atau disorientasi, bukan keberanian.
Para eksekutif di generasi sebelumnya bahkan lebih radikal lagi. John Malone, salah satu tokoh besar di industri kabel dan hiburan, dikenal sering menjawab pertanyaan tentang laba dengan pernyataan mengejutkan. “Kalau Anda bertanya soal laba, mungkin Anda salah ruang rapat,” ujarnya suatu ketika. Alih-alih mengejar laba akuntansi, ia fokus pada arus kas, sebuah metrik yang kemudian menjadi populer berkat dirinya, terutama dalam bentuk EBITDA. Kini, EBITDA kerap digunakan oleh banyak perusahaan untuk menunjukkan performa operasional mereka, bahkan dalam kondisi ketika laba bersih tampak lemah.
Fenomena ini mengindikasikan adanya pergeseran dalam cara kepemimpinan perusahaan dipahami. Panduan laba bukan lagi tolok ukur utama untuk menilai kualitas CEO. Yang lebih penting adalah karakter, keberanian, dan kapasitas untuk menavigasi kompleksitas jangka panjang, bahkan jika itu berarti mengecewakan pasar sesaat.
Untuk investor, sinyal semacam ini patut diperhatikan. Jika CEO dari perusahaan yang Anda miliki sahamnya memutuskan untuk menghentikan panduan laba kuartalan, bisa jadi ia adalah pemimpin yang patut dipertahankan.
Di Indonesia, praktik memberikan panduan laba kuartalan belum menjadi standar yang mapan sebagaimana di Amerika Serikat. Sebagian besar emiten di Bursa Efek Indonesia masih mengandalkan laporan keuangan kuartalan sebagai alat utama komunikasi ke pasar, namun tanpa memberikan panduan eksplisit seperti yang biasa dilakukan perusahaan publik AS. Beberapa perusahaan besar seperti Bank Central Asia, Telkom Indonesia, atau Astra International memang rutin menyampaikan target pertumbuhan tahunan, tetapi tidak sampai pada detail kuartalan atau skenario berbasis kondisi makro.
Hal ini bukan karena manajemen Indonesia kurang transparan, melainkan lebih pada struktur pasar modal dan ekspektasi investor yang berbeda. Di bursa-bursa negara berkembang, termasuk Indonesia, investor institusi global yang dominan di Wall Street belum memiliki peran yang sama besar. Tekanan untuk memenuhi konsensus analis pun relatif rendah, memungkinkan direksi untuk lebih fleksibel dalam mengambil keputusan strategis tanpa terlalu khawatir pada fluktuasi harga saham jangka pendek.
Namun begitu, bukan berarti semua perusahaan lokal kebal dari tekanan ekspektasi. Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena peningkatan kepemilikan saham oleh investor ritel dan tingginya ekspektasi terhadap perusahaan teknologi seperti GoTo, Bukalapak, atau Traveloka—yang masih dalam tahap pertumbuhan—menciptakan dinamika tersendiri. Investor ritel sering kali menuntut kejelasan arah kinerja jangka pendek, dan hal ini justru dapat menjadi jebakan bagi manajemen untuk membuat janji jangka pendek yang pada akhirnya membatasi ruang inovasi jangka panjang.
Di sinilah relevansi strategi CEO elite seperti Tim Cook atau Jamie Dimon perlu dipertimbangkan ulang. Ketika perusahaan Indonesia mulai bergerak ke arah governance yang lebih matang dan terintegrasi secara global, pendekatan yang lebih berani seperti menghentikan panduan laba kuartalan bisa menjadi sinyal kekuatan, bukan kelemahan.
Namun tentu, hal ini hanya bisa dilakukan oleh CEO yang telah membangun kredibilitas jangka panjang. Keputusan untuk tidak lagi bermain dalam permainan ekspektasi jangka pendek harus dibarengi dengan rekam jejak kinerja konsisten dan komunikasi strategis yang mampu menumbuhkan kepercayaan pasar. Tanpa itu, keputusan seperti menghentikan panduan laba justru bisa disalahartikan sebagai tanda ketidakpastian atau potensi kegagalan bisnis.
Dalam konteks ini, perusahaan-perusahaan pelat merah di Indonesia seperti Pertamina atau PLN yang secara tradisional tidak memiliki kewajiban menyenangkan pasar saham, justru bisa menjadi pelopor dalam membangun narasi jangka panjang. Mereka memiliki kapasitas untuk menjelaskan strategi transisi energi atau digitalisasi secara menyeluruh tanpa terganggu oleh permainan kuartalan. Namun tentu dibutuhkan keberanian komunikasi publik yang kuat serta kepemimpinan manajerial yang visioner.
Dari sisi regulator, OJK dan BEI juga memiliki peran dalam mendorong perusahaan untuk tidak terjebak dalam praktik “earnings management” atau manuver akuntansi demi mengejar target laba jangka pendek. Alih-alih memaksa perusahaan untuk terus memberi panduan detail, dorongan terhadap pelaporan berbasis risiko, ESG (Environmental, Social and Governance), serta transparansi strategis jangka panjang justru lebih relevan dalam membentuk tata kelola pasar modal Indonesia yang sehat dan berdaya tahan.
Jika dunia korporasi Indonesia dapat bergerak ke arah manajemen jangka panjang—dimana direksi tidak lagi merasa wajib menyampaikan angka kuartalan semata—maka iklim investasi di dalam negeri bisa berkembang lebih dewasa. Investor pun akan lebih fokus pada nilai fundamental, bukan hanya pada kejutan angka laba sesaat.
Dengan demikian, pelajaran dari elite CEO dunia bukan sekadar soal menghentikan panduan laba, tetapi tentang bagaimana membangun otoritas dan kepercayaan yang cukup untuk membawa perusahaan bertumbuh tanpa harus terus-menerus menghibur pasar. Di tengah dunia yang makin tidak pasti, keputusan untuk bersikap diam bisa jadi bentuk paling berani dari kepemimpinan.



