(Vibiznews-Kolom) Indonesia sedang berdiri di persimpangan sejarah. Dengan ambisi mencapai status negara berpenghasilan tinggi pada 2045, bangsa ini memerlukan transformasi besar dalam cara memproduksi nilai tambah. Laporan terbaru dari McKinsey Global Institute menegaskan bahwa kunci menuju tujuan tersebut adalah produktivitas—dan produktivitas bergantung pada satu hal yang konsisten di negara-negara yang berhasil: perusahaan yang besar, produktif, dan tersistem dengan baik.
Perjalanan ini bukan sekadar pertumbuhan angka makroekonomi. Ia membutuhkan loncatan struktural: dari dominasi usaha mikro informal ke perluasan perusahaan formal berskala menengah dan besar. Indonesia saat ini memiliki lebih dari 97 persen bisnis dalam bentuk mikro—dengan 59 persen tenaga kerja berada di sektor informal. Padahal, di negara seperti Polandia dan Brasil, proporsi tenaga kerja di perusahaan besar bisa mencapai lebih dari 35 persen. Di Indonesia, angka ini baru menyentuh 15 persen.
Untuk bisa menyamai negara-negara yang kini sudah menembus ambang penghasilan tinggi, Indonesia harus mampu melipatgandakan jumlah perusahaan menengah menjadi 200.000 dan perusahaan besar menjadi 40.000 pada 2045. Secara bersamaan, tingkat produktivitas di semua kelas perusahaan juga harus meningkat dua kali lipat. Ini bukan hanya tuntutan statistik, tapi fondasi bagi penguatan upah, penyerapan tenaga kerja formal, dan peningkatan investasi modal.
Pertumbuhan perusahaan besar dan produktif memiliki efek domino yang signifikan. Mereka tidak hanya meningkatkan output, tetapi juga menjadi jangkar dalam ekosistem usaha. UMKM yang bergabung dalam rantai pasok perusahaan besar memiliki akses terhadap pasar, teknologi, serta pelatihan. Perpindahan tenaga kerja dari sektor mikro ke perusahaan menengah dan besar juga menyumbang lebih dari seperempat peningkatan produktivitas nasional dalam skenario 2045 versi laporan ini.
Namun transformasi ini hanya mungkin terjadi jika disertai dengan pelipatgandaan modal. McKinsey memperkirakan bahwa untuk mencapai produktivitas yang dibutuhkan, kapital per pekerja non-pertanian harus naik dari USD 31.000 menjadi USD 100.000. Ini berarti peningkatan investasi non-pertanian dari sekitar USD 3,7 triliun menjadi lebih dari USD 14 triliun. Perusahaan besar akan menjadi penggerak utama dalam capital deepening ini, dengan pangsa modal meningkat dari 51 persen menjadi 65 persen.
Sektor jasa akan menjadi tulang punggung pertumbuhan, menyumbang sekitar 67 persen dari total PDB pada 2045. Namun jasa Indonesia saat ini masih banyak dijalankan oleh unit-unit informal dengan produktivitas yang rendah. Tiga langkah utama yang disarankan adalah modernisasi perdagangan ritel dan logistik, penguatan pariwisata berkelanjutan, dan perluasan layanan bernilai tambah tinggi seperti keuangan dan teknologi informasi. Penggunaan teknologi seperti AI generatif dalam perbankan, logistik, dan layanan pelanggan diperkirakan bisa memberikan dorongan produktivitas tahunan sebesar 2 hingga 4 persen di beberapa industri.
Di sisi lain, sektor manufaktur Indonesia mengalami penurunan kontribusi terhadap PDB dari 32 persen di 2002 menjadi 19 persen di 2023. Untuk membalik tren ini, Indonesia perlu memfokuskan diri pada produk dengan nilai tambah tinggi di sektor yang sudah unggul seperti nikel, makanan dan minuman, serta produk berbasis herbal. Selain itu, ada peluang untuk masuk ke rantai nilai global yang kini sedang berkonfigurasi ulang akibat ketidakpastian geopolitik, khususnya di bidang elektronik, tekstil, dan otomotif.
Pertanian, meskipun tidak lagi menjadi pusat ekonomi masa depan, tetap vital. Dengan 99 persen petani merupakan pemilik lahan kecil (kurang dari 0,6 hektar), modernisasi menjadi sulit tanpa konsolidasi lahan dan investasi peralatan. Saat ini, adopsi e-commerce dan teknologi pertanian seperti drone masih sangat rendah. Indonesia perlu mendorong penggunaan benih hibrida, memperkuat lembaga penyuluhan, dan memfasilitasi mekanisasi untuk mempercepat produktivitas pertanian sekaligus memperlancar transisi demografis ke kota.
Urbanisasi akan menjadi medan tempur penting lainnya. Sekitar 70 juta orang diperkirakan akan berpindah ke kota pada 2045. Namun tanpa pendidikan dan keterampilan yang memadai, mereka akan terjebak dalam pekerjaan informal berupah rendah. Solusinya bukan hanya memperluas infrastruktur fisik seperti jalan dan transportasi umum, tetapi juga membangun kota yang layak huni dan ramah pekerja. Konsep seperti 20-minute city dan 45-minute city yang telah diterapkan di Barcelona dan Singapura dapat menjadi inspirasi untuk merancang kota-kota yang efisien, ramah lingkungan, dan inklusif.
Selain reformasi struktural, laporan ini menggarisbawahi lima jenis modal utama yang harus dikembangkan serempak: modal keuangan, modal manusia, modal institusional, modal infrastruktur, dan modal kewirausahaan. Meski Indonesia memiliki tingkat tabungan domestik yang tinggi (38 persen PDB), penyalurannya ke sistem keuangan formal masih terbatas. Rasio aset keuangan terhadap PDB hanya 72 persen, jauh lebih rendah dari Brasil yang mencapai 194 persen. Hal ini menunjukkan potensi besar dari dana domestik yang belum dioptimalkan menjadi investasi jangka panjang.
Dalam bidang pendidikan, skor siswa Indonesia dalam PISA dan HLO masih menurun, dengan partisipasi sekolah menengah atas yang rendah dan ketidaksesuaian antara keterampilan dan kebutuhan industri. Bahkan dua pertiga pengangguran Indonesia adalah lulusan vokasi atau sarjana yang tidak terserap oleh dunia kerja. Maka, kolaborasi sektor publik dan swasta dalam pelatihan berbasis kebutuhan nyata menjadi kunci.
Di tingkat kelembagaan, Indonesia menghadapi hambatan birokrasi dan tumpang tindih kebijakan digital antar-lembaga. Waktu yang dibutuhkan untuk mendirikan bisnis masih rata-rata 43 hari, dengan biaya sekitar USD 1.300. Untuk membangun ekosistem bisnis yang sehat, dibutuhkan lembaga yang independen namun responsif, sistem perizinan yang efisien, dan tata kelola yang transparan.
Infrastruktur fisik juga menjadi isu mendesak. Biaya logistik di Indonesia mencapai 24 persen dari PDB, hampir dua kali lipat Thailand. Peningkatan konektivitas melalui proyek strategis nasional, penguatan pelabuhan, dan perluasan jaringan internet adalah bagian dari prasyarat tumbuhnya bisnis skala besar dan integrasi pasar domestik yang lebih dalam.
Yang tidak kalah penting adalah menciptakan iklim kewirausahaan yang sehat. Saat ini, Indonesia hanya mencatat 0,3 perusahaan formal baru per 1.000 penduduk usia kerja per tahun—jauh lebih rendah dari Brasil yang mencapai 5,1. Untuk memperbaiki ini, pemerintah dapat memperluas akses ke pendanaan tahap awal, memperkuat inkubator bisnis, dan mendorong kolaborasi antara startup dengan perusahaan besar. Teknologi seperti AI bisa mempercepat proses validasi ide bisnis dan membantu pelaku usaha kecil melakukan ekspansi lebih cerdas dan cepat.
Laporan ini menutup dengan satu pesan kunci: Indonesia telah mencapai banyak kemajuan, tetapi untuk mewujudkan mimpi 2045, dibutuhkan tindakan yang berani, sistematis, dan terukur. Dari transformasi perusahaan mikro menjadi skala menengah, dari petani kecil menuju produsen modern, dari kota padat menuju urbanisasi cerdas—semua berpangkal pada kemampuan kolektif Indonesia membangun enterprising archipelago. Negara kepulauan yang tidak hanya kaya secara geografis, tapi juga produktif secara ekonomi.



