Peradaban Besar Bergantung pada Perdagangan

Perdagangan inilah yang membawa pengaruh budaya, agama, dan ilmu pengetahuan dari India, Arab, hingga Eropa, membentuk keragaman yang menjadi ciri khas Indonesia. Dari rempah-rempah yang mengubah peta perdagangan global, Indonesia menunjukkan bahwa kekayaan terbesar bukan hanya pada hasil bumi, melainkan pada perannya sebagai pusat pertukaran.

288
perdagangan
Vibizmedia Photo

(Vibiznews – Kolom) Jika ingin memahami apa yang membuat peradaban besar mungkin terjadi, cobalah berjalan di Monte Testaccio di pusat Roma. Bukit setinggi 35 meter ini sebenarnya adalah gundukan buatan, tersusun dari pecahan jutaan kendi tanah liat. Kendi-kendi itu dulunya berisi minyak zaitun yang diimpor dari Spanyol, Afrika Utara, dan Timur Tengah, lalu dibuang di sana setelah minyaknya dituang di pelabuhan terdekat.

Monte Testaccio, “bukit pecahan tembikar,” dibangun dari pertukaran internasional. Begitu pula Roma kuno. Sang orator Yunani, Aristides, pernah berkata bahwa untuk melihat semua produk dunia, hanya ada dua pilihan, berkeliling ke seluruh dunia atau cukup datang ke Roma. “Apa pun yang ditanam dan dibuat oleh setiap bangsa pasti ada di sini, selalu tersedia dan berlimpah,” tulisnya, “sehingga kota ini tampak seperti emporium bersama bagi dunia.”

Pengunjung mengatakan hal yang hampir sama tentang peradaban besar lainnya di masa lalu. Seorang pengamat abad pertengahan menggambarkan dunia Arab pada masa keemasannya, “Segala sesuatu yang dihasilkan dari bumi ada di sana. Gerobak membawa barang-barang tak terhitung banyaknya ke pasar, di mana semuanya tersedia dan murah.” Di Hangzhou, yang pernah menjadi ibu kota Dinasti Song di Tiongkok, Marco Polo menyaksikan pasar-pasar yang terhubung dengan kanal dan gudang yang “menyediakan segala barang yang bisa diinginkan.”

Demikian pula, pada akhir abad ke-17, seorang penulis Inggris terkagum pada kemakmuran Republik Belanda. Tanahnya, tulis dia, tidak menghasilkan “gandum, anggur, minyak, kayu, logam, batu, wol, rami, getah, atau hampir semua komoditas berguna lainnya; namun ternyata hampir tidak ada bangsa di dunia yang menikmati semua hal itu dalam kelimpahan yang lebih besar; dan semua ini hanya dari perdagangan.”

Perdagangan bukanlah hasil sampingan dari kebesaran, melainkan fondasinya. Banyak peradaban berpusat pada perdagangan bukan karena mereka kaya sumber daya, tetapi justru karena mereka kekurangan.

Athena kuno harus mengandalkan perdagangan karena tanahnya yang miskin tidak cukup untuk memberi makan penduduk. Namun tanah itu bisa menghasilkan minyak zaitun dan anggur, sehingga orang Athena membangun jaringan perdagangan luas untuk mengekspor produk tersebut dan mengimpor gandum dari wilayah Laut Hitam. Petani Belanda menghadapi kendala serupa: sebagian besar tanah mereka hilang karena laut, sehingga mereka berspesialisasi dalam peternakan dan berdagang untuk mendapatkan gandum dari Baltik.

Ketika Dinasti Song mengambil alih Tiongkok pada akhir abad ke-10, sistem feodal yang memberi kaum bangsawan kendali atas tanah dan petani sebagai imbalan untuk layanan militer mulai runtuh. Alih-alih mengandalkan kerja paksa, para penguasa memilih membayar pekerja. Karena pengadilan Song bergantung pada penerimaan pajak, mereka melonggarkan regulasi perdagangan dan secara aktif mendorong aktivitas niaga demi memaksimalkan pendapatan.

Dengan spesialisasi di perdagangan, peradaban-peradaban ini menjadi beberapa yang terkaya dalam sejarah. Kekayaan Athena memungkinkan adanya pembagian kerja yang lebih dalam dan lahirnya profesi seperti filsuf, sejarawan, pemahat, arsitek, dramawan, dan aktor. Tiongkok era Song begitu sukses hingga beberapa sejarawan ekonomi berpendapat bahwa negeri itu hampir melahirkan revolusi industri empat abad sebelum Inggris. Dengan sumber daya yang berlimpah, Belanda berjuang dan berhasil meraih kemerdekaan dari Spanyol Habsburg, kekaisaran terkuat di dunia saat itu, sambil turut meluncurkan Zaman Pencerahan dan menciptakan seni modern. Orang asing terheran-heran melihat bahkan rumah tangga Belanda biasa memajang lukisan.

Kontribusi terpenting perdagangan adalah intelektual, memberi akses pada gagasan, metode, dan teknologi yang mustahil berkembang sendiri. Pertemuan terus-menerus dengan orang asing dengan pengalaman dan ide lain memperluas cakrawala tentang apa yang mungkin. Pola pikir Yunani kuno yang penuh rasa ingin tahu dan adaptif banyak berutang pada kehidupan di tengah ratusan negara kota tetangga dengan budaya berbeda. Ledakan kreativitas Italia pada masa Renaisans dipicu oleh perdagangan dengan dunia Muslim, tempat para pedagang belajar tentang sains, inovasi keuangan, dan angka Hindu-Arab. Paus memang sering mengutuk perdagangan dengan kaum kafir, tetapi sebagian orang Italia menjawab, “Perdagangan harus bebas dan tidak boleh terhalang.”

Namun perdagangan jarang dibiarkan bebas terlalu lama. Pemerintah sering berupaya keras membatasi perdagangan dengan pihak asing, karena perubahan dan inovasi yang dibawa perdagangan bisa mengganggu tatanan yang ada. Para pedagang bisa tiba-tiba memperoleh kekayaan yang menyaingi kaum bangsawan pemilik tanah, dan gagasan-gagasan asing bisa merongrong para elit intelektual. Negara-negara selalu takut akan persaingan dari luar, sama seperti yang kita alami hari ini.

Sebagaimana keterbukaan membuat bangsa kuat, isolasi membuat mereka rapuh. Kekaisaran Romawi akhir merusak ekonominya yang berbasis komersial melalui sentralisasi, regulasi, dan penurunan nilai mata uang. Khalifah Abbasiyah akhir memiliterisasi ekonominya demi merebut kendali dari para pedagang yang dominan. Setelah menghadapi tarif dari negara lain, Belanda akhirnya memberlakukan tarif mereka sendiri.

Pembalikan anti-globalisasi yang paling tajam terjadi di Tiongkok setelah Dinasti Ming berkuasa pada 1368, dengan janji memulihkan stabilitas apa pun biayanya. Perdagangan luar negeri dijadikan pelanggaran yang dapat dihukum mati, dan segera bahkan perdagangan pesisir pun dilarang. Armada terbesar dunia dibiarkan membusuk di pelabuhan, dan istana Tiongkok membakar peta agar pelayaran di masa depan tak bisa dilakukan.

Hasilnya memang stabilitas—tetapi juga berabad-abad stagnasi. Tiongkok berubah dari peradaban paling maju di dunia menjadi bangsa miskin. Pada abad ke-19, negeri itu diserang dan dipermalukan oleh kekuatan Eropa yang telah menjadi penguasa laut.

Menyayat hati membaca catatan para pelancong yang tiba di Roma, Baghdad, kota pelabuhan Tiongkok, atau kota Belanda hanya beberapa tahun terlambat, setelah represi dan hilangnya perdagangan menghancurkan mereka. Seorang Inggris yang berkunjung ke Belanda mencatat dengan terkejut, “Bangsa pedagang ini pasti dalam keadaan sangat buruk. Sebagian besar kota utama mereka menyedihkan dan membusuk.” Demikian pula, seorang pelancong ke kota pesisir Tiongkok mengamati: “Sejak larangan perdagangan maritim… semua jejak kejayaan masa lalu telah lenyap.”

Di abad sekarang, Amerika Serikat sejak awal berdiri menunjukkan bagaimana perdagangan bisa membentuk sebuah bangsa. Setelah merdeka, negara baru ini memanfaatkan jalur laut Atlantik dan perdagangan antarbenua untuk memperluas pengaruhnya. Pelabuhan-pelabuhan seperti New York dan Boston berkembang pesat karena keterbukaan terhadap arus barang dan ide dari Eropa maupun Karibia. Seiring waktu, keterlibatan aktif dalam perdagangan global memungkinkan Amerika menjadi pusat inovasi teknologi, keuangan, dan budaya. Dari era industrialisasi hingga dominasi ekonomi digital, keterhubungan dengan dunia menjadikan Amerika bukan hanya pasar raksasa, tetapi juga motor penggerak ekonomi global.

Singapura adalah contoh modern paling jelas tentang bagaimana sebuah negara kecil bisa menjadi besar lewat perdagangan. Dengan wilayah yang terbatas dan hampir tanpa sumber daya alam, Singapura menempatkan dirinya sebagai pusat pelayaran dan logistik sejak abad ke-19 di bawah jalur strategis Selat Malaka. Setelah merdeka, pemerintahnya menjadikan keterbukaan ekonomi dan efisiensi pelabuhan sebagai fondasi pembangunan. Hasilnya, Singapura tumbuh menjadi salah satu hub keuangan dan perdagangan paling penting di dunia, membuktikan kembali bahwa perdagangan bukan sekadar jalan menuju kemakmuran, tetapi juga sumber daya strategis yang melampaui keterbatasan geografis.

Indonesia, dengan posisinya yang strategis di jalur pelayaran antara Samudra Hindia dan Pasifik, sejak lama menjadi simpul perdagangan dunia. Sejak abad ke-7, kerajaan-kerajaan maritim seperti Sriwijaya menguasai jalur Selat Malaka dan menjadikannya pusat distribusi rempah, emas, dan hasil bumi Nusantara. Perdagangan inilah yang membawa pengaruh budaya, agama, dan ilmu pengetahuan dari India, Arab, hingga Eropa, membentuk keragaman yang menjadi ciri khas Indonesia. Dari rempah-rempah yang mengubah peta perdagangan global, Indonesia menunjukkan bahwa kekayaan terbesar bukan hanya pada hasil bumi, melainkan pada perannya sebagai pusat pertukaran.

Di era modern, Indonesia tetap bergantung pada perdagangan sebagai salah satu penggerak utama ekonominya. Ekspor komoditas seperti batu bara, minyak kelapa sawit, dan nikel menjadikan Indonesia pemain penting dalam rantai pasok global. Namun, tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan perdagangan tidak sekadar untuk menjual bahan mentah, tetapi juga mendorong industrialisasi dan inovasi. Jika keterbukaan dan diversifikasi perdagangan terus dikelola dengan bijak, Indonesia berpotensi mengikuti jejak negara-negara yang menjadikan perdagangan sebagai pondasi peradaban dan kesejahteraan jangka panjang.

Pelajarannya jelas proteksionisme mungkin tampak seperti perisai, tetapi dengan mudah berubah menjadi kurungan. Itu adalah cara memutus suatu bangsa dari otak dan keterampilan dunia, melepaskan bukan hanya kekayaan tetapi juga energi dan pembaruan terus-menerus yang membuat peradaban bersinar. Yang tersisa hanyalah kenangan yang memudar tentang masa keemasan—dan pecahan kendi yang dibuang.