Apakah Emas Sedang Terjebak dalam Gelembung Spekulatif?

Emas tetap menjadi cermin dari emosi pasar—mencerminkan ketakutan, harapan, dan keyakinan manusia terhadap nilai yang abadi. Namun jika cermin itu mulai memantulkan lebih banyak bayangan euforia daripada pantulan realitas, maka bisa jadi kita sedang menyaksikan bukan lagi reli yang sehat, melainkan kilau berlebihan dari sebuah gelembung yang menunggu saatnya pecah.

440
harga emas

(Vibiznews – Kolom) Harga emas global kembali mencetak rekor baru pada Oktober 2025, menembus level US$4.000 per ounce untuk pertama kalinya dalam sejarah. Lonjakan ini tidak hanya menandai kekuatan daya tarik emas di tengah ketidakpastian ekonomi global, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah kenaikan harga tersebut masih didukung oleh fundamental yang kuat, atau justru merupakan tanda dari gelembung spekulatif yang tengah mengembang di pasar keuangan global?

Menurut laporan Reuters, harga emas telah melonjak lebih dari 50 persen sepanjang tahun berjalan, sebuah kenaikan yang jarang terjadi untuk kelas aset yang dikenal stabil. Lonjakan ini sebagian besar didorong oleh arus masuk besar ke dana berbasis emas atau exchange-traded funds (ETF), serta pembelian masif dari bank-bank sentral dunia, khususnya di Asia dan Timur Tengah. Data menunjukkan bahwa bank sentral China, India, dan Turki secara agresif menambah cadangan emas mereka, sebuah langkah yang dipandang sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat di tengah meningkatnya fragmentasi geopolitik.

Namun, di balik peningkatan permintaan institusional tersebut, muncul fenomena yang lebih mengkhawatirkan, arus investor ritel yang berbondong-bondong membeli emas karena dorongan rasa takut tertinggal atau FOMO (fear of missing out). Bloomberg melaporkan bahwa lonjakan transaksi emas dalam skala kecil di berbagai platform perdagangan daring menunjukkan bahwa banyak investor baru masuk bukan karena analisis fundamental, melainkan karena dorongan psikologis semata—yakni keyakinan bahwa harga akan terus naik tanpa batas. Pola perilaku seperti ini identik dengan fase awal terbentuknya gelembung spekulatif.

Beberapa analis memperingatkan bahwa kenaikan emas kali ini memiliki kemiripan dengan reli yang terjadi pada akhir 1970-an dan awal 2010-an. Pada masa itu, harga emas melonjak cepat karena inflasi yang tinggi dan kekhawatiran terhadap stabilitas global, namun kemudian jatuh tajam ketika suku bunga meningkat dan inflasi mulai terkendali. The Guardian mencatat bahwa reli emas saat ini berlangsung dalam kondisi yang sedikit berbeda, di mana inflasi memang masih tinggi tetapi mulai menunjukkan tanda-tanda moderasi, sementara suku bunga riil perlahan meningkat di beberapa negara maju. Kombinasi ini menciptakan kondisi yang paradoksal, alasan fundamental untuk membeli emas mulai melemah, tetapi minat investor justru semakin kuat.

Sebagian besar pelaku pasar menilai bahwa faktor utama di balik reli emas tahun ini adalah kebijakan moneter global yang masih longgar, ketidakpastian geopolitik yang meningkat, serta kekhawatiran terhadap keberlanjutan utang publik di negara maju. Dalam konteks tersebut, emas dilihat sebagai perlindungan nilai terhadap pelemahan mata uang dan risiko sistemik. Namun, laporan Bloomberg menunjukkan bahwa sekitar dua pertiga dari kenaikan harga emas dalam enam bulan terakhir tidak didorong oleh permintaan fisik seperti perhiasan atau industri, melainkan oleh permintaan finansial dari spekulator dan investor institusional jangka pendek. Ketidakseimbangan antara permintaan fisik dan finansial ini sering kali menjadi tanda bahwa harga mulai terlepas dari realitas ekonomi.

Salah satu indikator yang memperkuat dugaan adanya gelembung adalah meningkatnya korelasi antara harga emas dan aset berisiko lainnya seperti saham dan kripto. Secara tradisional, emas dianggap sebagai aset yang bergerak berlawanan arah dengan pasar saham karena fungsinya sebagai safe haven. Namun Reuters mencatat bahwa dalam beberapa bulan terakhir, emas justru naik bersamaan dengan indeks saham utama dan bahkan mengikuti pola volatilitas pasar kripto. Hal ini menandakan bahwa sebagian investor memperlakukan emas bukan lagi sebagai aset pelindung, melainkan sebagai instrumen spekulatif yang mengikuti arus modal global.

Spekulasi yang meningkat juga terlihat dari aktivitas margin trading di pasar berjangka. Volume transaksi di bursa COMEX dan Shanghai Futures Exchange melonjak signifikan, dengan banyak investor menggunakan leverage tinggi untuk memanfaatkan fluktuasi harga jangka pendek. Dalam laporannya, Reuters menulis bahwa tingkat leverage di pasar emas kini mendekati titik tertinggi sejak 2011, ketika harga emas terakhir kali mencapai puncak sebelum anjlok hampir 40 persen dalam dua tahun berikutnya. Kondisi ini memperlihatkan betapa rapuhnya reli harga saat ini: sebuah koreksi kecil dapat memicu aksi jual berantai akibat margin call.

Meski begitu, tidak semua analis sepakat bahwa kenaikan emas kali ini adalah gelembung. Beberapa ekonom melihat bahwa faktor struktural yang menopang harga emas kini jauh lebih kuat dibanding dekade lalu. Bloomberg Economics menyoroti meningkatnya de-dolarisasi, terutama di kalangan negara-negara BRICS, sebagai salah satu pendorong utama pembelian emas oleh bank sentral. Mereka melihat bahwa emas kini berfungsi bukan hanya sebagai aset lindung nilai, tetapi juga sebagai instrumen geopolitik dalam tatanan keuangan global yang semakin terfragmentasi. Dengan demikian, sebagian dari kenaikan harga emas masih memiliki dasar rasional yang kuat.

Namun demikian, bahkan faktor rasional dapat dengan mudah berubah menjadi spekulatif jika pasar mulai bergerak berdasarkan ekspektasi berlebihan. Fenomena ini terlihat jelas ketika lembaga keuangan besar mulai mengeluarkan proyeksi ekstrem. HSBC Global Research, misalnya, baru-baru ini memperkirakan bahwa harga emas dapat mencapai US$5.000 per ounce pada 2026 jika ketegangan geopolitik berlanjut dan bank sentral terus menambah cadangan logam mulia tersebut. Proyeksi ambisius seperti ini, meski berbasis pada skenario makro, sering kali memperkuat sentimen euforia di kalangan investor ritel dan mendorong harga naik lebih cepat dari seharusnya.

Kenaikan harga emas yang ekstrem juga menciptakan risiko baru bagi stabilitas keuangan global. The Guardian menulis bahwa beberapa bank besar di Eropa mulai memperingatkan kemungkinan koreksi tajam jika kondisi pasar berubah mendadak. Dalam konteks ekonomi makro, penurunan mendadak harga emas dapat memicu kerugian besar bagi dana investasi dan portofolio yang terlalu bergantung pada emas sebagai aset pelindung. Fenomena ini bukan hal baru; pada 2013, ketika ekspektasi kenaikan suku bunga The Federal Reserve meningkat, harga emas jatuh lebih dari 25 persen dalam beberapa bulan, mengguncang pasar komoditas global.

Di sisi lain, para pembeli fisik—terutama di Asia—mulai menunjukkan tanda kelelahan. Reuters melaporkan bahwa permintaan emas perhiasan di India dan China mulai menurun karena harga yang terlalu tinggi, sementara para pedagang mengeluhkan margin yang semakin tipis akibat volatilitas ekstrem. Ketidakseimbangan ini memperlihatkan bahwa pasar emas kini digerakkan lebih banyak oleh modal spekulatif daripada oleh konsumsi riil. Jika tren ini berlanjut, gelembung yang terbentuk akan semakin besar dan semakin sulit dikendalikan.

Meski demikian, banyak pihak berpendapat bahwa bahkan jika harga emas mengalami koreksi, penurunan tersebut tidak akan menghapus daya tarik emas dalam jangka panjang. Aset ini memiliki sejarah panjang sebagai penyimpan nilai, dan dalam dunia yang diwarnai ketegangan politik, ketidakpastian fiskal, serta ketimpangan ekonomi, emas tetap dianggap sebagai tempat berlindung alami bagi kekayaan. Namun pertanyaan utamanya bukan lagi tentang relevansi emas, melainkan tentang sejauh mana harga saat ini mencerminkan nilai yang realistis dibandingkan dengan antusiasme pasar.

Dalam konteks Indonesia, tren global ini memiliki implikasi penting. Harga emas dalam rupiah tidak hanya dipengaruhi oleh harga internasional, tetapi juga oleh pergerakan nilai tukar. Jika rupiah menguat terhadap dolar, kenaikan harga emas global bisa teredam, tetapi jika rupiah melemah, dampak kenaikan emas dunia akan terasa lebih besar bagi investor domestik. Selain itu, masyarakat Indonesia cenderung membeli emas dalam bentuk fisik sebagai tabungan atau warisan, bukan instrumen spekulasi. Namun jika harga terus naik terlalu cepat, daya beli masyarakat terhadap emas bisa menurun, sementara risiko koreksi harga justru meningkat.

Perdebatan tentang apakah emas kini berada dalam gelembung spekulatif pada akhirnya kembali pada satu hal, hubungan antara harga dan realitas. Bila kenaikan harga terutama digerakkan oleh permintaan spekulatif, leverage tinggi, dan ekspektasi kenaikan tanpa batas, maka kemungkinan besar pasar emas memang telah masuk ke wilayah gelembung. Namun jika sebagian besar kenaikan disebabkan oleh faktor fundamental yang berkelanjutan, seperti perubahan struktural dalam sistem moneter global, maka reli ini masih bisa bertahan.

Sejarah pasar keuangan menunjukkan bahwa batas antara rasionalitas dan euforia sering kali sangat tipis. Sama seperti tulip di Belanda abad ke-17, saham teknologi pada akhir 1990-an, atau kripto pada dekade terakhir, emas pun tidak kebal terhadap dinamika psikologi kolektif manusia. Ketika rasa takut berubah menjadi keserakahan, dan keinginan melindungi kekayaan berubah menjadi ambisi mengejar keuntungan cepat, maka logam mulia itu bisa kehilangan kilau rasionalnya. Kenaikan harga yang luar biasa memang menggoda, tetapi sebagaimana yang ditulis Bloomberg dalam laporannya, “setiap reli yang tampak terlalu aman justru sering kali menyembunyikan risiko yang paling besar.”

Emas tetap menjadi cermin dari emosi pasar—mencerminkan ketakutan, harapan, dan keyakinan manusia terhadap nilai yang abadi. Namun jika cermin itu mulai memantulkan lebih banyak bayangan euforia daripada pantulan realitas, maka bisa jadi kita sedang menyaksikan bukan lagi reli yang sehat, melainkan kilau berlebihan dari sebuah gelembung yang menunggu saatnya pecah.