High-Net-Worth Dorong Lonjakan Investasi Perhiasan Mewah

Lonjakan minat terhadap perhiasan mewah—baik di Amerika Serikat maupun Indonesia—menjadi cerminan arah baru ekonomi global yang semakin terpolarisasi. Di satu sisi, industri perhiasan menikmati pertumbuhan dari kelompok superkaya yang memandang emas, berlian, dan brand ikonik sebagai tempat aman untuk menyimpan kekayaan sekaligus simbol status.

121
High-Net-Worth

(Vibiznews-Kolom) Kesenjangan kekayaan di AS kini menjadi begitu lebar hingga bahkan merek-merek mewah pun ikut terbagi antara yang “punya” dan yang “tidak punya.”

Perusahaan mewah Swiss, Richemont, telah mencatat pertumbuhan penjualan lebih dari 10% secara tahunan di kawasan Amerika selama tujuh kuartal berturut-turut. Lonjakan permintaan di AS untuk merek perhiasan mereka seperti Cartier dan Van Cleef & Arpels menjadi pendorong utamanya.

Tiffany & Co., yang dimiliki oleh LVMH yang terdaftar di Paris, mengatakan penjualan perhiasan mewahnya secara global—kategori dengan harga tertinggi yang mereka produksi—mencapai rekor pada kuartal ketiga. Secara keseluruhan, perhiasan kini menjadi kategori dengan performa terbaik di pasar barang mewah AS dan melampaui penjualan tas tangan serta pakaian, menurut konsultan Bain & Co.

Para analis pasar yang mengikuti sektor barang mewah awalnya menduga konsumen AS membeli perhiasan untuk mengantisipasi tarif barang mewah impor. Kini mereka bertanya-tanya apakah pertumbuhan kuat ini mencerminkan perubahan yang lebih dalam dalam ekonomi AS.

Meski pasar saham sempat menurun belakangan ini, S&P 500 masih naik 16% tahun ini, menciptakan kekayaan saham tambahan senilai 7,9 triliun dolar AS. Kenaikan itu didorong oleh euforia terhadap AI.

Mereka yang sudah kaya adalah yang paling diuntungkan. Rumah tangga dengan penghasilan di atas 250.000 dolar AS per tahun memiliki 68% dari pasar saham, meski jumlahnya hanya 9% dari seluruh rumah tangga Amerika, menurut Edward Wolff, profesor ekonomi di New York University. Mereka yang berpenghasilan di bawah 100.000 dolar AS hanya memiliki 10,3% pasar saham, namun mencakup dua pertiga populasi rumah tangga AS.

Sebagian dari limpahan kekayaan saham itu mengalir ke butik-butik perhiasan kelas atas, tempat satu perhiasan unik dapat berharga 5 juta dolar AS atau lebih. CEO Richemont, Nicolas Bos, mengatakan bahwa konsumen superkaya berbelanja berdasarkan “aset mereka atau persepsi kekayaan mereka, dan pasar saham memang berperan.”

Tren serupa juga terasa di bagian lain ekonomi. Delta Air Lines mengatakan pendapatan dari kursi kelas satu dan kabin berharga tinggi akan segera melampaui pendapatan dari kursi kelas ekonomi untuk pertama kalinya dalam sejarah perusahaan.

Segmen teratas pasar seni kembali menyala setelah tiga tahun performa lesu. Sebuah lukisan Gustav Klimt terjual 236,4 juta dolar AS dalam lelang Sotheby’s di New York pekan lalu, menjadi karya seni termahal kedua yang pernah terjual di lelang.

Sementara itu, warga Amerika dengan kekayaan lebih rendah semakin terjepit. Biaya barang dan jasa di AS naik 25% sejak 2020, meski tingkat inflasi secara keseluruhan melambat. Perbedaan pengalaman antara konsumen kaya dan yang berpenghasilan rendah kini disebut sebagai ekonomi berbentuk K.

Kenaikan harga emas mungkin juga memberi efek pantulan pada perhiasan. Namun konsumen Amerika tampaknya tidak membeli perhiasan mewah murni karena nilai komoditasnya.

Sebagai contoh, gelang Cartier Love sepanjang 16 cm berharga 8.655 dolar AS termasuk pajak penjualan, dan mengandung sekitar 31 gram emas 18 karat. Konsumen hanya akan mendapatkan sekitar 3.000 dolar AS jika menjualnya berdasarkan berat emas dengan harga saat ini.

Meski begitu, pembeli menilai perhiasan mewah menawarkan nilai yang lebih baik dibandingkan pakaian atau tas tangan. Merek-merek besar menaikkan harga tas tangan lebih agresif dibanding perhiasan. Harga gelang Cartier Love meningkat rata-rata 4% per tahun sejak 2020, sementara tas Chanel classic flap naik 11,2% per tahun, dan Lady Dior naik 8,6% per tahun, menurut analisis Bernstein.

Perusahaan barang mewah membutuhkan tingkat ketidaksetaraan kekayaan tertentu untuk berkembang, dengan memberi konsumen sesuatu yang diidamkan. Selama 30 tahun terakhir, sebagian besar ekspansi industri ini datang dari kelas menengah yang membengkak—yang membeli tas Louis Vuitton dan jam tangan Rolex untuk mencoba “mengimbangi” para superkaya.

Namun jika kelas menengah melemah, entah karena inflasi yang berkelanjutan atau mungkin pengurangan pekerjaan white-collar akibat AI, akan sulit bagi sebagian merek mewah untuk tumbuh: 55% nilai penjualan barang mewah global berasal dari pembeli yang menghabiskan hingga 2.300 dolar AS per tahun untuk barang mewah, menurut Boston Consulting Group. Dalam industri mewah, merek-merek yang mengandalkan pembeli aspiratif dalam porsi besar bisnis mereka di AS termasuk Gucci, Burberry, dan Saint Laurent.

Perusahaan yang melayani kalangan superkaya—seperti pembuat tas Birkin Hermès serta perhiasan Cartier dan Van Cleef & Arpels—adalah pilihan terbaik di ekonomi yang timpang ini.Penjualan di AS semakin bergantung pada apa yang terjadi di pasar saham. Jika terjadi gelembung dan meledak, kilau perhiasan bisa cepat memudar.

Di Indonesia, dinamika pasar perhiasan mewah tidak sepenuhnya mengikuti lonjakan di Amerika Serikat yang saat ini didorong kekayaan pasar saham dan belanja kelas superkaya. Pertumbuhan permintaan di dalam negeri juga muncul dari kelompok dengan daya beli kuat, namun fokusnya cenderung pada perhiasan yang memiliki nilai lindung aset, terutama emas dan berlian. Kesenjangan pendapatan yang melebar turut menciptakan segmentasi pasar: butik perhiasan internasional berkembang melayani konsumen premium di Jakarta, Surabaya, dan Bali, sementara sebagian besar masyarakat masih menjadikan emas sebagai bentuk tabungan yang mudah dicairkan.

Dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan harga emas global menjadi pemicu konsumen Indonesia meningkatkan minat pada perhiasan berkualitas tinggi sebagai investasi jangka panjang. Hal ini memperkuat posisi pemain domestik seperti ANTAM serta toko perhiasan besar yang menawarkan sertifikasi dan buyback yang jelas. Namun bagi merek mewah yang bertumpu pada konsumen aspiratif, tekanan ekonomi seperti inflasi bahan pangan, pelemahan daya beli kelas menengah, hingga ancaman disrupsi tenaga kerja akibat digitalisasi dan AI dapat menghambat perluasan pasar secara signifikan.

Pemain industri perhiasan di Indonesia perlu memperkuat diferensiasi — baik melalui desain yang berkarakter Nusantara, kolaborasi dengan desainer lokal, hingga pemanfaatan platform digital untuk menjangkau konsumen muda. Jika tren ekonomi berbentuk K terus terjadi, maka pelaku pasar yang melayani segmen ultra-high-net-worth akan tetap tumbuh, tetapi keberlanjutan industri secara keseluruhan akan sangat bergantung pada kemampuan menarik konsumen kelas menengah yang menjadi fondasi utama pasar perhiasan nasional.

Lonjakan minat terhadap perhiasan mewah—baik di Amerika Serikat maupun Indonesia—menjadi cerminan arah baru ekonomi global yang semakin terpolarisasi. Di satu sisi, industri perhiasan menikmati pertumbuhan dari kelompok superkaya yang memandang emas, berlian, dan brand ikonik sebagai tempat aman untuk menyimpan kekayaan sekaligus simbol status. Di sisi lain, kelas menengah yang dulu menjadi motor utama penjualan barang mewah kini tertekan oleh inflasi dan ketidakpastian pekerjaan, membuat jurang konsumsi semakin nyata. Bagi merek-merek besar, kondisi ini mungkin terlihat menguntungkan dalam jangka pendek, namun keberlanjutan industri tetap bergantung pada kemampuan menjaga aspirasi dan keterjangkauan bagi kelompok konsumen yang lebih luas. Jika ekonomi terus berbentuk huruf K—menanjak bagi segelintir, menurun bagi mayoritas—maka kilau perhiasan mewah bisa menjadi pengingat kontras yang tajam antara mereka yang terus naik, dan mereka yang tertinggal.