BI Memangkas BI 7-DRRR ke 4,50%, Rilis 7 Langkah Kebijakan; Memitigasi Risiko COVID-19

2888
Filianingsih Hendarta Lulus Fit and Proper Test Calon Deputi Gubernur BI
Photo: Vibizmedia

(Vibiznews – Economy & Banking) – Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18-19 Maret 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,50%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5,25%.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menyatakan: “Kebijakan moneter tetap akomodatif dan konsisten dengan prakiraan inflasi yang terkendali dalam kisaran sasaran dan sebagai langkah pre-emptive untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi,” demikian disampaikan kepada media dari kantor Bank Indonesia, Kamis (19/3).

Selain itu, sebagai kelanjutan dari sejumlah stimulus kebijakan yang telah diumumkan pada RDG tanggal 18-19 Februari 2020 dan tanggal 2 Maret 2020, Bank Indonesia kembali memperkuat bauran kebijakan yang diarahkan untuk mendukung upaya mitigasi risiko penyebaran COVID-19, menjaga stabilitas pasar uang dan sistem keuangan, serta mendorong momentum pertumbuhan ekonomi melalui 7 (tujuh) langkah berikut:

  1. Memperkuat intensitas kebijakan triple intervention untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamental dan mekanisme pasar, baik secara spot, Domestic Non-deliverable Forward (DNDF), maupun pembelian SBN dari pasar sekunder.
  2. Memperpanjang tenor Repo SBN hingga 12 bulan dan menyediakan lelang setiap hari untuk memperkuat pelonggaran likuiditas Rupiah perbankan, yang berlaku efektif sejak 20 Maret 2020.
  3. Menambah frekuensi lelang FX swap tenor 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari 3 (tiga) kali seminggu menjadi setiap hari, guna memastikan kecukupan likuiditas, yang berlaku efektif sejak 19 Maret 2020.
  4. Memperkuat instrumen Term Deposit valuta asing guna meningkatkan pengelolaan likuiditas valuta asing di pasar domestik, serta mendorong perbankan untuk menggunakan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) valuta asing yang telah diputuskan Bank Indonesia untuk kebutuhan di dalam negeri.
  5. Mempercepat berlakunya ketentuan penggunaan rekening Rupiah dalam negeri (Vostro) bagi investor asing sebagai underlying transaksi dalam transaksi DNDF, sehingga dapat mendorong lebih banyak lindung nilai atas kepemilikan Rupiah di Indonesia, berlaku efektif paling lambat pada 23 Maret 2020 dari semula 1 April 2020.
  6.  Memperluas kebijakan insentif pelonggaran GWM harian dalam Rupiah sebesar 50bps yang semula hanya ditujukan kepada bank-bank yang melakukan pembiayaan ekspor-impor, ditambah dengan yang melakukan pembiayaan kepada UMKM dan sektor-sektor prioritas lain, berlaku efektif sejak 1 April 2020.
  7.  Memperkuat kebijakan sistem pembayaran untuk mendukung upaya mitigasi penyebaran COVID-19 melalui :
    1. ketersediaan uang layak edar yang higienis, layanan kas, dan backup layanan kas alternatif, serta menghimbau masyarakat agar lebih banyak menggunakan transaksi pembayaran secara nontunai.
    2. mendorong penggunaan pembayaran nontunai dengan menurunkan biaya Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), dari perbankan ke Bank Indonesia yang semula Rp600 menjadi Rp1 dan dari nasabah ke perbankan semula maksimum Rp3.500 menjadi maksimum Rp2.900, berlaku efektif sejak 1 April 2020 sampai dengan 31 Desember 2020; dan
    3. mendukung penyaluran dana nontunai program-program Pemerintah seperti Program Bantuan Sosial PKH dan BPNT, Program Kartu Prakerja, dan Program Kartu Indonesia Pintar-Kuliah.

“Berbagai langkah kebijakan Bank Indonesia tersebut ditempuh dalam koordinasi yang sangat erat dengan Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memitigasi dampak COVID-19 sehingga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga, serta momentum pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan,” jelas Gubernur Perry selanjutnya.

Sebagaimana diketahui, Pemerintah telah menempuh sejumlah stimulus fiskal dan stimulus ekonomi untuk meringankan beban masyarakat dan perusahaan dari dampak COVID-19 serta menjaga tetap kondusifnya berbagai aktivitas perekonomian. OJK juga telah menempuh langkah-langkah untuk menjaga kesehatan perbankan dan lembaga keuangan non-bank, serta bekerjanya pasar modal.

“Kami akan terus memperkuat koordinasi dengan memonitor secara cermat dinamika penyebaran COVID-19 dan dampaknya terhadap Indonesia dari waktu ke waktu, serta langkah-langkah koordinasi kebijakan lanjutan yang perlu ditempuh baik oleh Pemerintah, Bank Indonesia, maupun OJK untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi,” tambah Gubernur BI.

Selanjutnya, BI melalui Deaprtemen Komunikasi menjelaskan bahwa penyebaran cepat COVID-19 ke banyak negara di luar Tiongkok telah memberikan tekanan kepada perekonomian dunia. COVID-19 sampai 18 Maret 2020 telah menyebar ke 159 negara, tidak hanya di kawasan Asia, tetapi juga ke Eropa dan Amerika Serikat. Perkembangan ini menyebabkan ketidakpastian yang sangat tinggi dan menurunkan kinerja pasar keuangan global, menekan banyak mata uang dunia, serta memicu pembalikan modal kepada aset keuangan yang dianggap aman.

Prospek pertumbuhan ekonomi dunia juga menurun akibat terganggunya rantai penawaran global, menurunnya permintaan dunia, dan melemahnya keyakinan pelaku ekonomi. Data Februari 2020 menunjukkan berbagai indikator dini global seperti keyakinan pelaku ekonomi, Purchasing Manager Index (PMI), serta konsumsi dan produksi listrik menurun tajam.

Dengan risiko ke bawah yang tetap besar, Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi global 2020 turun menjadi 2,5%, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi 2019 sebesar 2,9% dan juga proyeksi sebelumnya sebesar 3,0%. Pasca berakhirnya wabah COVID-19, perekonomian global diprakirakan kembali meningkat pada 2021 menjadi 3,7%, lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya 3,4%.

Ditambahkan BI, COVID-19 memberikan tantangan bagi upaya mendorong momentum pertumbuhan ekonomi domestik. Melambatnya prospek pertumbuhan ekonomi dunia menurunkan prospek pertumbuhan ekspor barang Indonesia, meskipun pada Februari 2020 meningkat didorong ekspor batu bara, CPO, dan beberapa produk manufaktur. Ekspor jasa terutama sektor pariwisata diprakirakan juga menurun akibat terhambatnya proses mobilitas antar negara sejalan dengan upaya memitigasi risiko perluasan COVID-19. Investasi nonbangunan berisiko melambat dipengaruhi menurunnya prospek ekspor barang dan jasa serta terganggunya rantai produksi.

Bank Indonesia mengapresiasi langkah stimulus fiskal Pemerintah dalam meminimalkan dampak COVID-19, yang bersamaan dengan rencana penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah serentak diprakirakan dapat menopang prospek pertumbuhan ekonomi.

Dengan perkembangan tersebut, Bank Indonesia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 dari 5,0-5,4% menjadi 4,2-4,6%. Pasca berakhirnya COVID -19, pertumbuhan ekonomi 2021 diprakirakan kembali meningkat menjadi 5,2-5,6%, antara lain dipengaruhi upaya Pemerintah memperbaiki iklim investasi melalui RUU Cipta Kerja dan Perpajakan.

Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan OJK untuk memonitor secara cermat dinamika penyebaran COVID-19 dan dampaknya terhadap Indonesia dari waktu ke waktu, serta langkah-langkah koordinasi kebijakan lanjutan yang perlu ditempuh untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik dan berdaya tahan.

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) triwulan I 2020 diprakirakan tetap baik, meskipun aliran modal asing menurun dipicu ketidakpastian dampak COVID-19. NPI yang tetap baik ditopang potensi menurunnya defisit transaksi berjalan sejalan membaiknya neraca perdagangan, yang pada Februari 2020 tercatat surplus 2,34 miliar dolar AS, jauh membaik dibandingkan dengan capaian bulan lalu yang tercatat defisit 0,64 miliar dolar AS.

Sementara itu, aliran investasi portofolio yang masuk hingga Januari 2020 kemudian mengalami pembalikan modal dipicu meningkatnya ketidakpastian global akibat merebaknya COVID-19. Investasi portofolio masuk yang secara neto tercatat sebesar 5,1 miliar dolar AS hingga Februari 2020 kemudian menurun menjadi 365 juta dolar AS hingga 17 Maret 2020, lebih rendah dari perkembangan triwulan IV 2019 yang secara neto tercatat 6,59 miliar dolar AS.

Posisi cadangan devisa pada akhir Februari 2020 tetap tinggi sebesar 130,4 miliar dolar AS, atau setara dengan pembiayaan 7,7 bulan impor atau 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Ke depan, Bank Indonesia memprakirakan defisit transaksi berjalan pada 2020 dan 2021 dalam kisaran 2,5-3,0% PDB.

 

Departemen Komunikasi BI dalam kesempatan ini merangkan penyesuaian aliran masuk modal asing di pasar keuangan domestik pasca meluasnya COVID-19 menekan nilai tukar Rupiah sejak pertengahan Februari 2020. Berkurangnya aliran masuk modal asing akibat meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global, telah memberikan tekanan kepada nilai tukar Rupiah, yang melemah sejak pertengahan Februari 2020. Hingga 18 Maret 2020, Rupiah secara rerata melemah 5,18% dibandingkan dengan rerata level Februari 2020, dan secara point to point harian melemah sebesar 5,72%. Dengan perkembangan ini, Rupiah dibandingkan dengan level akhir 2019 terdepresiasi sekitar 8,77%, seiring dengan pelemahan mata uang negara berkembang lainnya.

Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamentalnya dan bekerjanya mekanisme pasar. Untuk itu, Bank Indonesia terus meningkatkan intensitas stabilisasi di pasar DNDF, pasar spot, dan pembelian SBN dari pasar sekunder. Untuk mendukung efektivitas kebijakan nilai tukar, Bank Indonesia terus mengoptimalkan operasi moneter guna memastikan bekerjanya mekanisme pasar dan ketersediaan likuiditas baik di pasar uang maupun pasar valas.

 

Sementara itu, inflasi tetap rendah dan mendukung stabilitas perekonomian. Inflasi IHK pada Februari 2020 tercatat 0,28% (mtm), lebih rendah dari inflasi bulan sebelumnya sebesar 0,39% (mtm). Perkembangan ini dipengaruhi oleh kelompok inflasi inti yang rendah, kelompok administered prices yang kembali mencatat deflasi, serta inflasi volatile food yang melambat.

Inflasi inti yang tetap rendah tidak terlepas dari konsistensi Bank Indonesia dalam mengarahkan ekspektasi inflasi, termasuk dalam menjaga pergerakan nilai tukar sesuai fundamentalnya. Deflasi kelompok administered prices berlanjut dipengaruhi oleh penurunan harga tarif angkutan udara dan Bahan Bakar Khusus. Inflasi volatile food yang melambat terutama disebabkan oleh deflasi bawang merah serta inflasi aneka cabai dan beras yang melambat, di tengah peningkatan inflasi bawang putih dan daging ayam ras.

Dengan perkembangan tersebut, secara tahunan inflasi IHK tercatat tetap rendah 2,98% (yoy), meskipun sedikit meningkat dibandingkan dengan inflasi Januari 2020 sebesar 2,68% (yoy). Ke depan, Bank Indonesia tetap konsisten menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk mengendalikan inflasi tetap rendah dan stabil dalam kisaran sasaran 3,0% ±1% pada 2020 dan 2021.

Selanjutnya, terkait transmisi pelonggaran kebijakan moneter disebutkan BI tetap berjalan baik dengan kecukupan likuiditas perbankan yang terjaga. Likuiditas di pasar uang dan perbankan memadai, tercermin pada rerata harian volume PUAB Februari 2020 tetap tinggi sebesar Rp14,05 triliun serta rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tetap besar yakni 21,47% pada Januari 2020. Transmisi suku bunga ke pasar uang berjalan cukup baik, tercermin pada penurunan suku bunga PUAB O/N sebesar 126 bps menjadi 4,58% dan suku bunga JIBOR tenor 1 minggu sebesar 141 bps menjadi 4,83% sejak akhir Juni 2019, sebelum penurunan BI7DRR pada Juli 2019.

Sementara itu, transmisi ke suku bunga perbankan juga berlanjut. Sejak akhir Juni 2019, rerata tertimbang suku bunga deposito turun 67 bps menjadi 6,16% pada Februari 2020, sementara suku bunga Kredit Modal Kerja turun 35 bps menjadi 10,07% pada posisi yang sama. Pertumbuhan uang beredar dalam arti sempit (M1) dan uang beredar dalam arti luas (M2) pada Januari 2020 bergerak sejalan dengan pola pertumbuhan ekonomi, yakni masing-masing 7,76% (yoy) dan 7,09% (yoy). Ke depan, Bank Indonesia akan terus memastikan kecukupan likuiditas dan meningkatkan efisiensi di pasar uang, serta memperkuat transmisi bauran kebijakan yang akomodatif.

Demikian juga, stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, meskipun fungsi intermediasi perbankan terus menjadi perhatian. Stabilitas sistem keuangan terjaga tercermin dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan Januari 2020 yang tinggi yakni 22,74%, dan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) yang tetap rendah yakni 2,77% (gross) atau 1,08% (net).

Sementara itu, pertumbuhan kredit masih perlu mendapat perhatian, tercermin dari angka pertumbuhan kredit pada Januari 2020 sebesar 6,10% (yoy), sedikit meningkat dari 6,08% (yoy) pada Desember 2019. Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) mulai meningkat dari sebesar 6,54% (yoy) pada Desember 2019 menjadi 6,80% (yoy) pada Januari 2020. Ke depan, fungsi intermediasi akan terus didorong sehingga dapat menopang pertumbuhan ekonomi.

Kredit pada 2020 diprakirakan tumbuh dalam kisaran 6-8%, menurun dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya pada kisaran 9-11% sejalan dengan revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020. Pertumbuhan kredit 2021 diprakirakan kembali meningkat pada kisaran 9-11% didorong oleh kenaikan pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan itu, DPK pada 2020 dan 2021 diprakirakan tumbuh masing-masing dalam kisaran 6-8% dan 8-10%.

Bank Indonesia tetap menempuh kebijakan makroprudensial yang akomodatif dan memperkuat koordinasi dengan otoritas terkait sehingga dapat tetap menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendorong fungsi intermediasi perbankan.

 

BI juga menyatakan kelancaran Sistem Pembayaran, baik tunai maupun nontunai, tetap terjaga. Posisi Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD) per Februari 2020 tumbuh 5,44% (yoy), sementara transaksi nontunai menggunakan ATM, Kartu Debit, Kartu Kredit, dan Uang Elektronik (UE) posisi Februari 2020 turun 1,02% (yoy). Transaksi UE tetap tumbuh cepat, mencapai 145,47% (yoy), mengindikasikan tingginya preferensi masyarakat terhadap pembayaran digital.

Ke depan, Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan Sistem Pembayaran, termasuk kepada upaya memitigasi dampak COVID-19 dengan memastikan operasional Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah (SPPUR) berjalan secara penuh (orderly functioned) melalui keandalan dan kelancaran sistem pembayaran.

Dalam kaitan ini, Bank Indonesia akan terus mendorong penggunaan pembayaran nontunai serta mendukung program-program pemerintah dalam menyalurkan dana bantuan sosial melalui pembayaran nontunai.

Alfred Pakasi/VBN/MP Vibiz Consulting

Editor: Asido

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here