(Vibiznews – IDX Stocks) – Kemarin, Rabu, (15/09), BPS merilis neraca perdagangan Indonesia kembali mencetak surplus pada Agustus 2021, seiring dengan menguatnya permintaan ekspor dan kenaikan harga komoditas. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan pada bulan tersebut sebesar, US$4,74 miliar.
Surplus ini lebih tinggi dari bulan Juli lalu sebesar US$2,59 miliar. Sebagai catatan, surplus neraca perdagangan pada bulan Juli 2021 merupakan surplus ke-16 kalinya sejak Mei 2020.
Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan pertumbuhan ekspor cukup tinggi ditopang oleh permintaan yang kuat dan kenaikan harga komoditas utama RI. “Surplus di Agustus, membukukan secara beruntun dalam 16 bulan terakhir,” kata Margo dalam paparan BPS, Rabu (15/9/2021).
Surplus sebesar US$4,74 miliar terutama berasal dari sektor nonmigas US$5,72 miliar. Sedangkan di sektor migas terjadi defisit US$0,98 miliar.
Seiring Pelonggaran PPKM Kinerja ekspor sepanjang Agustus 2021 tercatat tumbuh 64,10 persen menjadi US$21,42 miliar (year-on-year/yoy). “Ekspor kita cukup tinggi dibandingkan Agustus 2020 dan 2019,” paparnya. Ekspor Migas tumbuh 77,93 persen menjadi US$1,07 miliar dan nonmigas naik 63,43 persen menjadi US$20,36 miliar.
Berdasarkan sektornya, ekspor pertambangan dan lainnya tumbuh signifikan hingga 162,89 persen (yoy) menjadi US$3,64 miliar. Secara bulanan, pertumbuhannya mencapai 27,23 persen (month-to-month/mtm).
Searah dengan capaian pemerintah yang tercermin surplusnya Neraca Perdagangan pada bulan Agustus lalu. kinerja apik ditorehkan Grup MIND ID pada semester pertama 2021 terdorong membaiknya produksi dan penjualan, tren positif harga komoditas hingga pemulihan ekonomi yang berangsur-angsur membaik. MIND ID membukukan pendapatan konsolidasi sebesar Rp 39,2 triliun, naik 34% dibandingkan dengan semester pertama 2020 yang sebesar Rp 29,3 triliun.
Dari pendapatan itu, MIND ID mengantongi laba bersih sebesar Rp 4,7 triliun. Keuntungan ini berbalik dari rugi bersih Rp 1,8 triliun di semester pertama tahun lalu. Angka ini juga sudah melampaui realisasi perolehan laba bersih tahun 2020 selama setahun penuh Rp 1,8 triliun, maupun perkiraan awal kinerja laba bersih tahun 2021 yang diestimasi berkisar Rp 2 triliun-Rp 4 triliun itu.
CEO Group MIND ID Orias Petrus Moedak mengharapkan kinerja positif untuk laba bersih dapat berlanjut di sisa tahun ini. “Secara konservatif mestinya angka Rp 8,5 triliun-Rp 9 triliun tercapai. Kalau cuaca baik, produksi baik semua, harga seperti sekarang, bisa sampai Rp 10 triliun. Tapi tentu kita tidak perlu terlalu gegabah karena memang tambang ini sangat bergantung pada keadaan cuaca juga,” kata Orias baru-baru ini.
Berikut 3 emiten tambang BUMN yang toreh kinerja positif pada Semester I/2021 ini:
1. PT Bukit Asam Tbk (PTBA) membukukan pendapatan bersih senilai Rp 10,29 triliun atau naik 14,2% dari pendapatan di semester pertama 2021 sebesar Rp 9,01 triliun. Pendapatan bersih PTBA didominasi oleh penjualan batubara senilai Rp 10,14 triliun.
PTBA membukukan laba bersih senilai Rp 1,77 triliun, naik 38,04% dari laba bersih di periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp 1,28 triliun. Sekretaris Perusahaan Bukit Asam Apollonius Andwie mengungkapkan, produksi tahun ini diharapkan mencapai 30 juta ton. Per semester I 2021 produksi PTBA mencapai 13,27 juta ton.
Apollonius memastikan, selain peningkatan produksi PTBA juga menargetkan ekspansi pasar global. Dia menambahkan, Bukit Asam pun tetap mengupayakan sejumlah program hilirisasi batubara demi mendorong keberlanjutan pertambangan.
PTBA juga sudah menyiapkan diri untuk bertransformasi menjadi perusahaan energi dan kimia kelas dunia yang ramah lingkungan. “PTBA bukan sekadar perusahaan tambang batubara lagi, tapi menjadi perusahaan energi. Ini dibuktikan dengan sederet program hilirisasi PTBA,” terang Apollonius kepada media akhir pekan lalu.
Sejumlah proyek hilirisasi yang kini tengah dilaksanakan antara lain Pembangunan PLTU Sumsel 8 yang menggunakan teknologi super critical, gasifikasi batubara serta hilirisasi batubara menjadi urea.
2. PT Timah Tbk (TINS) memperbaiki kinerja bottom line pada paruh pertama tahun ini. Pada semester I 2021 ini, TINS membukukan laba tahun berjalan sebesar Rp 270,09 miliar, berbalik dari kerugian bersih Rp 390,07 miliar di semester pertama tahun lalu.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko TINS, Wibisono mengatakan bahwa TINS terus berbenah memperbaiki kinerjanya pada semester pertama di tahun 2021.
“Hal ini terlihat dari membaiknya performa finansial yang terus tumbuh dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya,” kata Wibisono.
Bottom line TINS membaik di tengah penurunan volume produksi. Produksi bijih timah Timah mencapai 11.457 ton di semester pertama 2021, turun 54% dibanding realisasi semester pertama tahun lalu yang mencapai 25.081 ton.
Produksi logam timah TINS juga turun sekitar 57% secara tahunan atau year-on-year (yoy) dari semula 27.833 ton menjadi 11.915 ton. Volume penjualan timah TINS juga turun sekitar 60% dari semula 31.508 ton menjadi 12.523 ton.
Sedangkan harga jual rata-rata Timah naik 69% dari semula US$ 16.461 per metrik ton di semester I 2020 menjadi US$ 27.858 per metrik ton di semester I 2021. Namun, mengutip laporan keuangan interim perusahaan, pendapatan usaha TINS menyusut dari semula Rp 8,03 triliun menjadi Rp 5,87 triliun.
“Peningkatan permintaan logam seiring meredanya pandemi Covid-19 mendorong stabilnya harga logam yang berdampak juga berkembangnya industri hilir logam timah, diharapkan menjadi salah satu motor pendongkrak kinerja TINS di tahun pemulihan ini,” kata Wibisono.
3. PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) berkomitmen menjaga volume penjualan emas untuk mengkompensasi penurunan harga. ANTM menargetkan volume penjualan terjaga di level 22.000 kilogram.
“Kalau pun ada penurunan, kami upayakan volume penjualan hingga akhir tahun ini tidak sampai di bawah kisaran 22.000 kilogram (kg) emas,” kata Sekretaris Perusahaan ANTM Yulan Kustiyan, Kamis (9/9).
Sepanjang semester pertama produksi emas unaudited ANTM mencapai 719 kg dengan penjualan sebesar 13.341 kg. Realisasi produksi ini lebih rendah dari periode sama tahun sebelumnya yang mencapai 845 kg. Kendati demikian, penjualan di paruh pertama tahun ini meningkat ketimbang semester pertama 2020 yang hanya sebesar 7.915 kg.
Terkait komoditas feronikel, volume produksi unaudited feronikel ANTAM pada semester I 2021 tercatat sebesar 12.679 ton nikel dalam feronikel (TNI), relatif stabil jika dibandingkan capaian pada semester I 2020. ANTAM membukukan penjualan feronikel unaudited pada paruh pertama tahun ini sebesar 12.068 TNI, dimana sepenuhnya diserap oleh pasar ekspor di luar negeri.
Antam meraih laba bersih senilai Rp 630,37 miliar di kuartal pertama 2021. Bottom line Antam pun membaik dari kerugian bersih Rp 281,84 miliar pada tiga bulan pertama tahun lalu.
Emiten logam mulia ini membukukan pendapatan bersih senilai Rp 9,21 triliun, naik 77,04% dari realisasi pendapatan di periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya Rp 5,20 triliun. Secara rinci, pendapatan ANTM didominasi oleh penjualan emas yakni mencapai Rp 6,58 triliun atau naik 65% secara year-on-year. Disusul oleh segmen feronikel dan bijih nikel sebesar masing-masing Rp 1,23 triliun dan Rp 950 miliar.
Harga sejumlah komoditas mineral mengalami kenaikan di 2021, misalnya saja nikel. Melansir Grafik Harga Mineral Acuan di laman resmi KESDM pada September (13/9) harga nikel sudah menyentuh US$ 19.239 per dry metrik-ton (DMT) dari yang sebelumnya di Januari 2021 di level US$ 16.541 per dmt.
Demikian juga dengan harga tembaga, mengalami kenaikan yang signifikan jika dibandingkan dengan awal tahun. Rinciannya, pada Januari 2021 posisi harga tembaga US$ 7.607 per dmt, kemudian pada September 2021 di level US$ 9.448. Sebelumnya harga tembaga sempat menyentuh angka tertingginya yakni di US$ 10.031 pada Juni 2021.
Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA), Djoko Widajatno memaparkan fenomena naiknya harga sejumlah komoditas saat ini didorong oleh beberapa persoalan salah satunya menipisnya pasokan global dan kuatnya permintaan dari sejumlah sektor industri terhadap komoditas mineral tertentu.
Harga komoditas bergantung kepada pasokan dan permintaan, keadaan banjir di China dan Australia, Jerman dan lainnya turut menghambat produksi komoditas tertentu.
Djoko memberikan gambaran lebih rinci dan merujuk pada satu komoditas, yakni tembaga. Menipisnya pasokan tembaga global terjadi karena produsen tembaga nomor dua dunia, Peru melaporkan penurunan produksi. Djoko memaparkan, Kementerian Energi dan Pertambangan setempat menyatakan, penurunan produksi tembaga di Peru disebabkan oleh pandemi virus corona yang menghambat kegiatan pertambangan.
Turunnya produksi tentu berdampak pada harga komoditasnya karena untuk mengembalikan tingkat produksi seperti semula membutuhkan waktu. Seiring dengan lemahnya pasokan tembaga, terjadi permintaan yang kuat dari sejumlah sektor industri seperti manufaktur, konsumer, infrastruktur dan otomotif pada paruh pertama tahun 2021.
“Ditambah dengan kebijakan dari partai Demokrat USA untuk mendorong pertumbuhan industri di sana dan investasi sehingga optimisme investor terhadap kemunculan paket stimulus dari Amerika Serikat memberikan katalis positif terhadap permintaan global,” kata Djoko.
Mengacu pada kondisi di dalam negeri, realisasi produksi sejumlah komoditas mineral di sepanjang 2020 tidak mencapai target akibat pandemi Covid-19, kecuali produksi nikel.
Djoko memaparkan, di 2020 realisasi produksi tembaga sebesar 268.600 ton atau hanya mencapai 92% dari target. Lalu produksi emas tercatat 66,2 ton atau 93%dari target. Untuk perak realisasi produksinya tercatat 338,1 ton atau 99% dari target. Produksi timah bahkan hanya memenuhi 75% dari target yakni 52.600 ton.
Hanya satu komoditas yang mampu melampaui target, yakni olahan nikel sebanyak 2.316.500 ton atau 120% dari target. Yang terdiri dari Feronikel 1.462.300 ton dan Nickel Pig Iron sebanyak 860.500 ton.Sedangkan produksi nikel matte sebanyak 91.700 ton atau 127% dari target.
Djoko memproyeksikan, harga komoditas mineral Indonesia akan mengalami kenaikan di 2021 seiring pergerakan di negara industri serta penemuan teknologi untuk memenuhi kebutuhan kendaraan listrik dan kesehatan dalam menangani pandemi.
Dampak positif kenaikan harga komoditas bagi industri tentu dapat meningkatkan pendapatan serta membantu pelaku usaha merestrukturisasi pinjaman.
Bagi produk hilir yang menggunakan bahan baku mineral yang harganya sudah naik adalah biaya produksi yang membengkak, yang dapat dilihat dari naiknya harga produk bahan bangunan seperti besi, alumunium, baja ringan, plat nikel baja, dan lainnya.
Selasti Panjaitan/Vibiznews
Editor : Asido Situmorang