Harga Minyak dan Ketahanan Fiskal Indonesia

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, menyatakan bahwa perkembangan geopolitik ini tetap menjadi perhatian utama pemerintah. Menurutnya, lonjakan harga di pertengahan Juni sempat menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya subsidi energi dan tekanan terhadap nilai tukar. Saat ini, meskipun harga telah kembali turun, pemerintah tetap bersiap dengan berbagai skenario untuk menjaga postur fiskal tetap seimbang.

603
harga minyak

(Vibiznews-Kolom) Harga minyak mentah dunia kembali menjadi sorotan utama setelah mengalami pergerakan tajam sepanjang pertengahan Juni 2025. Lonjakan yang sempat terjadi akibat eskalasi konflik antara Iran dan Israel kini mulai surut, menyusul terwujudnya gencatan senjata yang disponsori Amerika Serikat. Namun, meski harga sempat turun, ketidakpastian masih membayangi pasar global. Bagi Indonesia, dinamika ini tetap menghadirkan risiko serius, terutama dari sisi fiskal, nilai tukar, dan stabilitas ekonomi makro.

Setelah sempat menyentuh level USD 76 per barel pasca serangan Israel ke Teheran pada Jumat, 13 Juni 2025, harga minyak mentah dunia kini mengalami penurunan tajam. Pada Rabu, 25 Juni, kontrak berjangka minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) naik kembali lebih dari 1 persen ke atas USD 65 per barel, setelah sebelumnya anjlok hampir 13 persen dalam dua sesi berturut-turut—penurunan dua hari terbesar sejak 2022. Penurunan harga ini terjadi seiring membaiknya sentimen pasar terhadap gencatan senjata Iran-Israel, yang sejauh ini dinilai stabil oleh komunitas internasional.

Harga Minyak Mentah

Harga Minyak Mentah

Sumber : Trading Economics

Dalam perkembangan terbaru, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengambil langkah mengejutkan dengan menyatakan dukungannya terhadap Tiongkok—pembeli terbesar minyak mentah Iran—untuk melanjutkan impor minyak dari Tehran. Kebijakan ini mengisyaratkan pelonggaran sanksi minyak yang selama bertahun-tahun diberlakukan terhadap Iran. Pasar menanggapi langkah ini sebagai sinyal bahwa pasokan minyak global mungkin akan meningkat, sehingga menekan harga.

Namun, kehati-hatian tetap menyelimuti pasar. Laporan intelijen Amerika Serikat menunjukkan bahwa serangan militer AS ke tiga fasilitas nuklir Iran baru-baru ini hanya mampu menunda program nuklir negara tersebut selama beberapa bulan. Artinya, risiko geopolitik tetap ada dan bisa kembali meletus sewaktu-waktu. Selain itu, dinamika politik domestik di Israel dan Iran sendiri masih sangat cair, dengan tekanan dari kelompok-kelompok garis keras untuk melanjutkan konfrontasi.

Di tengah ketidakpastian ini, data dari US Energy Information Administration (EIA) memperlihatkan bahwa stok minyak mentah Amerika turun sebesar 5,836 juta barel dalam sepekan terakhir—jauh melebihi ekspektasi pasar yang memperkirakan penurunan hanya 0,75 juta barel. Ini merupakan penurunan mingguan kelima berturut-turut, mengindikasikan ketatnya kondisi pasokan di pasar energi global. Meskipun harga kini turun, sentimen jangka menengah tetap dibayangi risiko pengetatan pasokan.

Dampak dari dinamika ini jelas terasa hingga ke Indonesia. Sebagai negara importir minyak bersih, Indonesia sangat sensitif terhadap fluktuasi harga minyak global. Pada APBN 2025, asumsi dasar harga minyak atau Indonesian Crude Price (ICP) ditetapkan sebesar USD 82 per barel. Saat ini, harga pasar internasional berada di bawah asumsi tersebut, sehingga secara jangka pendek memberikan ruang fiskal. Namun volatilitas yang tinggi justru membuat perencanaan anggaran menjadi lebih sulit.

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, menyatakan bahwa perkembangan geopolitik ini tetap menjadi perhatian utama pemerintah. Menurutnya, lonjakan harga di pertengahan Juni sempat menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya subsidi energi dan tekanan terhadap nilai tukar. Saat ini, meskipun harga telah kembali turun, pemerintah tetap bersiap dengan berbagai skenario untuk menjaga postur fiskal tetap seimbang.

Menteri Keuangan Sri Mulyani juga telah mewanti-wanti bahwa selain konflik di Timur Tengah, kombinasi faktor global seperti perang dagang AS-Tiongkok dan kebijakan fiskal ekspansif di Washington turut memperparah tekanan terhadap ekspor Indonesia, nilai tukar rupiah, serta harga-harga komoditas global. Rupiah yang sempat melemah hingga mendekati Rp15.800 per dolar AS kini bergerak lebih stabil, tetapi tetap dalam posisi rentan terhadap tekanan global.

Lembaga-lembaga internasional pun turut angkat bicara. International Monetary Fund (IMF) dalam laporan terbarunya menyatakan bahwa kenaikan harga minyak sebesar USD 10 per barel dapat meningkatkan inflasi global hingga 0,4 persen. IMF juga memperingatkan bahwa negara-negara berkembang seperti Indonesia harus waspada terhadap lonjakan biaya subsidi dan pelemahan daya beli masyarakat.

World Bank, dalam publikasi Global Economic Prospects, memperkirakan bahwa bila ketegangan kembali memuncak dan menyebabkan gangguan pasokan di Selat Hormus, harga minyak bisa melonjak ke atas USD 100 per barel, yang akan mengurangi pertumbuhan ekonomi negara berkembang hingga 0,7 persen. Bank Dunia menilai bahwa meskipun Indonesia memiliki cadangan fiskal relatif baik, ketahanan tersebut bisa cepat terkikis jika tekanan eksternal terus berlanjut.

Sementara itu, International Energy Agency (IEA) menyoroti bahwa Selat Hormus tetap menjadi titik kritis. Meski gencatan senjata saat ini berlaku, jalur tersebut masih sangat rentan. IEA mencatat bahwa hampir 30 persen dari perdagangan minyak global melewati selat ini, termasuk pasokan ke Tiongkok, India, Jepang, dan negara-negara Asia lainnya. Gangguan sekecil apapun bisa mengacaukan pasar energi dan memperparah volatilitas harga.

Di Indonesia sendiri, sektor transportasi, industri, dan kelistrikan masih sangat tergantung pada energi berbasis minyak. Jika harga kembali melonjak secara tiba-tiba, maka subsidi BBM bisa membengkak, mengancam defisit anggaran. Alternatif seperti mempercepat transisi ke energi terbarukan dan kendaraan listrik masih dalam tahap awal dan belum bisa segera menggantikan ketergantungan pada minyak bumi.

Namun, harga yang lebih rendah dari ICP saat ini dapat digunakan pemerintah untuk memperkuat cadangan energi, menstabilkan inflasi, dan mempercepat reformasi subsidi. Momentum ini perlu dimanfaatkan sebaik mungkin, sembari tetap mengantisipasi lonjakan harga sewaktu-waktu. Pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen diharapkan tetap bijak dalam menyikapi dinamika harga energi global.

Dalam jangka panjang, situasi ini kembali menggarisbawahi pentingnya ketahanan energi nasional. Krisis geopolitik bisa datang kapan saja, dan Indonesia tidak boleh terus-menerus bergantung pada dinamika harga minyak dunia. Percepatan investasi energi hijau, diversifikasi sumber pasokan, dan optimalisasi cadangan strategis harus menjadi agenda utama ke depan.

Konflik Iran-Israel mungkin telah mereda, tetapi pelajaran darinya masih relevan: ketika pasokan energi global terguncang, ekonomi negara berkembanglah yang pertama kali merasakan dampaknya. Oleh karena itu, respons Indonesia tidak cukup berhenti pada pengelolaan fiskal, tetapi juga harus menyentuh dimensi struktural—dari kebijakan energi hingga tata kelola cadangan nasional. Jika itu dilakukan, maka setiap turbulensi global tidak akan lagi menjadi ancaman besar, tetapi bisa dikelola sebagai tantangan yang diantisipasi.

Dalam konteks domestik, Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menghadapi gejolak harga minyak dunia. Pada tahun 2008, misalnya, ketika harga minyak melonjak hingga lebih dari 140 dolar AS per barel, pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM bersubsidi secara drastis, yang memicu inflasi tinggi dan demonstrasi besar-besaran. Kebijakan tersebut mengganggu daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan konsumsi domestik. Hal serupa juga terjadi pada tahun 2014 saat subsidi BBM mulai dikurangi secara bertahap. Meskipun kebijakan itu diapresiasi dalam jangka panjang karena lebih menyehatkan fiskal, efek langsungnya cukup terasa di kalangan menengah ke bawah.

Pada masa perang Rusia-Ukraina tahun 2022–2023, harga minyak kembali naik tajam hingga menembus 120 dolar AS per barel. Kala itu, Indonesia masih menerapkan skema subsidi energi yang besar. Pemerintah harus menyesuaikan anggaran untuk menambah dana kompensasi ke Pertamina dan PLN. APBN tahun itu mengalami pelebaran defisit, meski tertolong oleh windfall dari ekspor komoditas seperti batu bara dan CPO. Namun yang menarik, harga energi yang tinggi justru mempercepat pergeseran kebijakan menuju efisiensi energi dan percepatan kendaraan listrik. Hal ini menciptakan pelajaran penting bahwa setiap krisis energi bisa menjadi momen refleksi dan akselerasi kebijakan transisi energi nasional.

Kini, dengan harga minyak kembali fluktuatif akibat konflik Iran-Israel, risiko yang sama mengintai. Kementerian Keuangan perlu menyiapkan simulasi anggaran jika harga minyak kembali menyentuh 80, 90, bahkan 100 dolar AS per barel. Berdasarkan laporan internal tahun 2024, setiap kenaikan harga minyak dunia sebesar 10 dolar AS berpotensi menambah beban subsidi energi hingga Rp25–30 triliun per tahun. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, lonjakan itu bisa menggerus ruang fiskal, memaksa pemerintah menambah utang atau memangkas belanja lain, termasuk program perlindungan sosial.

Di tengah volatilitas itu, peran subsidi energi menjadi sorotan. Pemerintah Indonesia masih menanggung sebagian besar harga BBM untuk rakyat, terutama Pertalite dan Solar. Harga jual kepada konsumen tidak langsung mengikuti fluktuasi pasar internasional, melainkan disesuaikan berdasarkan asumsi harga ICP. Jika harga pasar lebih tinggi dari ICP, maka negara menanggung selisihnya. Situasi ini menjadi rapuh ketika harga minyak dunia melonjak tiba-tiba, seperti yang terjadi dalam minggu-minggu pasca serangan ke Teheran. Oleh karena itu, reformasi subsidi energi yang lebih terarah dan berbasis penerima manfaat (targeted subsidy) sangat dibutuhkan agar fiskal tetap sehat dan tidak membebani generasi mendatang.

Sementara itu, dari sisi ketahanan energi, Indonesia masih memiliki tantangan struktural. Rasio impor minyak terhadap konsumsi domestik masih tinggi. Produksi minyak nasional stagnan di kisaran 600–700 ribu barel per hari, sementara kebutuhan harian bisa mencapai lebih dari 1,5 juta barel. Artinya, hampir separuh kebutuhan dipenuhi dari luar negeri. Ketergantungan ini membuat Indonesia sangat rentan terhadap gejolak harga dan gangguan pasokan global. Pembangunan kilang dan penguatan cadangan strategis energi nasional belum berjalan optimal. Sementara itu, program transisi ke energi terbarukan dan kendaraan listrik masih dalam tahap awal adopsi.

Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah menargetkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) mencapai 23 persen pada 2025. Namun hingga akhir 2024, realisasinya baru sekitar 13 persen. Salah satu kendalanya adalah investasi yang masih kurang, serta hambatan regulasi dan infrastruktur. Oleh karena itu, kondisi pasar minyak dunia saat ini bisa menjadi momentum untuk mempercepat reformasi kebijakan energi dan menarik investasi ke sektor energi bersih.

Dari sisi masyarakat, fluktuasi harga minyak berpengaruh langsung ke biaya hidup dan daya beli. BBM adalah komponen penting dalam struktur harga transportasi dan logistik. Jika harga BBM naik, maka ongkos kirim barang ikut naik, yang pada akhirnya bisa mendorong inflasi bahan pokok. Bagi kelas menengah bawah, pengeluaran untuk transportasi merupakan salah satu komponen utama konsumsi bulanan. Maka wajar jika setiap kali harga minyak naik, konsumen langsung merasakan dampaknya dalam bentuk lonjakan harga dan penurunan daya beli.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada masa-masa harga minyak tinggi (seperti 2008 dan 2022), inflasi transportasi dan pangan selalu menjadi yang tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa volatilitas energi berdampak secara struktural pada stabilitas sosial ekonomi. Oleh karena itu, stabilitas harga energi bukan hanya soal fiskal, tetapi juga soal kesejahteraan rakyat dan perlindungan sosial.

Sektor usaha juga tidak luput dari dampak. Industri manufaktur, logistik, perikanan, dan pertanian sangat sensitif terhadap harga bahan bakar. Jika harga minyak dunia melonjak, biaya produksi naik, margin laba menyusut, dan harga jual produk ke konsumen ikut terkerek. UMKM yang tidak punya daya tawar dalam rantai pasok menjadi pihak paling terdampak. Beberapa pelaku usaha bahkan bisa mengalami likuiditas negatif jika kenaikan harga tidak bisa diimbangi dengan peningkatan produktivitas atau efisiensi energi.

Maka dari itu, respons pemerintah harus menyeluruh. Selain menyiapkan skenario fiskal dan ketahanan energi, diperlukan langkah-langkah mitigasi di sektor riil. Misalnya, pemberian insentif efisiensi energi bagi industri, subsidi bahan bakar untuk sektor strategis seperti nelayan dan petani, serta percepatan program konversi BBM ke listrik atau gas. Pelibatan daerah juga krusial karena dampak harga energi sangat terasa di luar Jawa, terutama daerah terpencil yang mengandalkan transportasi darat dan laut berbasis BBM.

Kita juga perlu mengakui bahwa kondisi geopolitik dunia saat ini jauh lebih kompleks daripada satu dekade lalu. Di tengah ketegangan Amerika Serikat-Tiongkok, perang Ukraina yang belum tuntas, serta perubahan arah kebijakan energi global, Indonesia tidak bisa lagi bergantung pada asumsi stabilitas harga minyak. Dunia sedang bergerak ke arah baru, dengan dinamika pasar energi yang lebih tidak terduga dan geopolitik yang lebih cepat berubah. Maka strategi nasional harus fleksibel, adaptif, dan antisipatif.

Meski harga minyak saat ini telah turun ke kisaran USD 65 per barel setelah sempat melonjak akibat konflik Iran-Israel, risiko ke depan masih tinggi. Stabilitas harga tidak serta-merta menghapus ketegangan geopolitik yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu, kebijakan energi Indonesia harus bergerak dari reaktif ke preventif. Kita tidak hanya perlu menjaga harga tetap terjangkau, tetapi juga membangun sistem energi nasional yang mandiri, bersih, dan tahan krisis. Dengan begitu, Indonesia tidak akan lagi menjadi korban setiap kali dunia menyalakan bara konflik di kawasan minyak.