(Vibiznews – Economy & Business) Masa depan salah satu hubungan dagang terbesar di dunia kini dipertaruhkan setelah Presiden AS Donald Trump meningkatkan perang tarif dengan China dengan menerapkan bea masuk tinggi atas impor dari negara tersebut. Hubungan dagang antara dua ekonomi terbesar dunia Amerika Serikat dan Tiongkok kini memasuki babak baru. Sebelum nya diawali dengan ketegangan meningkat setelah Presiden AS Donald Trump kembali mengobarkan perang tarif, yang menyebabkan ketidakpastian di pasar global dan berpotensi mengguncang rantai pasok internasional. Dengan volume perdagangan tahunan mencapai hampir $700 miliar, hubungan bilateral ini merupakan salah satu yang paling menentukan arah ekonomi global.
Pada 10 Mei 2025, negosiator senior dari kedua negara berkumpul di Swiss dalam upaya memulai kembali dialog yang sempat mandek. Delegasi AS dipimpin oleh Menteri Keuangan Scott Bessent dan Perwakilan Dagang Jamieson Greer, sementara China mengutus Wakil Perdana Menteri He Lifeng. Pertemuan ini menjadi pembicaraan tingkat tinggi pertama sejak Trump menjabat kembali dan langsung meningkatkan bea masuk atas produk-produk Tiongkok secara signifikan.
Namun, jalan menuju kesepakatan damai tidaklah mudah. Jika negosiasi gagal, dampaknya bisa sistemik: dari sektor manufaktur China yang sudah melambat hingga potensi lonjakan inflasi di AS akibat meningkatnya harga barang konsumsi.
Bagaimana AS dan Tiongkok Menjadi Mitra Dagang Utama?
Untuk memahami kedalaman krisis ini, penting untuk menengok sejarah hubungan dagang dua negara tersebut. Sejak Tiongkok memperoleh status “hubungan dagang normal permanen” dari AS pada tahun 2000, sebuah langkah kunci menjelang aksesi Tiongkok ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang berdampak pada perdagangan bilateral melonjak tajam.
Perusahaan-perusahaan AS dan multinasional global berbondong-bondong memindahkan lini produksinya ke Chins, memanfaatkan biaya tenaga kerja yang rendah dan efisiensi manufaktur yang tinggi. Fenomena ini mendukung munculnya China sebagai “pabrik dunia,” sekaligus menciptakan ketergantungan struktural dalam rantai pasok global. Di sisi lain, sektor manufaktur dalam negeri AS mengalami “China shock” yakni hilangnya jutaan lapangan kerja karena relokasi industri.
Seiring berjalannya waktu, AS menjadi pasar utama bagi berbagai produk China, mulai dari ponsel pintar, laptop, hingga baterai lithium-ion. Sebaliknya, AS mengekspor produk bernilai tinggi seperti gas cair, kedelai, dan mesin industri ke Tiongkok. Bahkan pada puncak pandemi global, ekspor Tiongkok ke AS mencetak rekor baru pada 2022.
Trump dan Strategi Tarifnya: Misi Mengakhiri Defisit
Presiden Trump menjadikan defisit perdagangan sebagai musuh utama. Ia berargumen bahwa Tiongkok telah “mencuri kekayaan AS” dan mengklaim akan mengembalikan pekerjaan manufaktur ke tanah Amerika. Selama masa jabatan pertamanya, ia memberlakukan tarif atas baja, aluminium, dan ribuan barang China lainnya. Presiden Joe Biden yang menggantikannya tidak membatalkan langkah-langkah tersebut, bahkan menambahkan pembatasan ekspor teknologi strategis ke China.
Pada tahun 2025, Trump kembali ke Gedung Putih dengan rencana tarif lebih agresif. Ia langsung menetapkan tarif umum 10% untuk semua impor dan tarif tambahan untuk negara-negara tertentu, kecuali China. Untuk mitra dagangnya yang satu ini, ia menaikkan tarif hingga 145%. Sebagai respons, China memberlakukan bea balasan sebesar 125%. Meskipun demikian, Beijing menolak untuk terus meningkatkan tensi dan menyebut tarif AS sebagai “lelucon.”
Dalam langkah mengejutkan, Trump memberikan pengecualian sementara untuk produk seperti ponsel, chip memori, dan komputer , yang sebagian besar diproduksi di China. Pengecualian ini disambut baik oleh pelaku industri, tetapi Trump menyatakan produk-produk tersebut tetap akan dikenai tarif khusus di masa depan.
Mengapa China Jadi Target Utama?
China adalah negara dengan surplus dagang terbesar terhadap AS, yakni sebesar $295 miliar pada 2024. Meski perjanjian dagang 2020 mengharuskan China untuk meningkatkan pembelian produk AS, realisasinya hanya mencapai 63% dari target. Ditambah lagi, ketegangan geopolitik, isu Taiwan, dan kekhawatiran soal penguasaan teknologi menjadikan hubungan ini semakin tegang.
AS telah membatasi ekspor chip semikonduktor dan mesin pembuat chip ke China. Sebaliknya, China memperketat kontrol atas ekspor logam tanah jarang dan mineral penting seperti grafit dan galium yang merupakan komponen vital untuk industri militer dan medis.
Tarif Baru dan Dampaknya terhadap China
Tarif sebesar 145% membuat banyak produk China hampir mustahil untuk bersaing di pasar AS. Menurut Bloomberg Economics, ekspor langsung China ke AS bisa hilang hampir sepenuhnya. Bahkan sebelum tarif diberlakukan penuh, ekspor China ke AS sudah turun 21% pada April. Jumlah kapal kargo yang berlayar dari pelabuhan China ke AS juga turun drastis.
Sementara itu, tarif balasan China menghambat ekspor AS, seperti kedelai dan gas cair. Namun, dampak terhadap China lebih besar karena ketergantungan ekonominya pada ekspor, terutama di tengah kondisi domestik yang melemah. Aktivitas manufaktur China menyusut tajam, dan bank sentral China merespons dengan menurunkan suku bunga serta mengucurkan stimulus senilai $291 miliar.
Respons Eksportir China: Strategi Bertahan di Tengah Badai
Eksportir China menghadapi pilihan sulit.
- China bisa memindahkan produksi ke negara seperti Vietnam atau Thailand.
- China menekan harga bahan baku, strategi yang berisiko memperparah deflasi pabrik.
- China dapat mengalihkan ekspor ke kawasan lain, tetapi ini bisa menimbulkan resistensi dari negara tujuan karena membanjirnya produk murah.
Apa Dampak Tarif Trump terhadap AS?
Tarif bukan tanpa konsekuensi bagi AS. Harga barang-barang konsumen melonjak. Di platform e-commerce seperti Temu dan Shein, harga produk-produk dari Tiongkok naik tajam. Produk kecantikan, mainan, dan peralatan rumah tangga mengalami inflasi signifikan. Karena tarif baru mencakup hampir semua produk. Jadi bukan hanya barang industri tetapi tekanan inflasi terhadap konsumen kini jauh lebih besar daripada perang dagang sebelumnya.
Dampaknya juga terasa di sektor pertanian. China adalah pasar ekspor utama untuk kedelai, kapas, dan produk agrikultur lainnya dari AS. Petani AS bisa kembali mengalami kerugian besar, seperti pada 2018–2019 ketika pemerintah harus mengucurkan bantuan $28 miliar untuk mengompensasi kerugian.
Kini, dengan China telah mendiversifikasi sumber pangan dari Brasil, Rusia, dan mitra non-Barat lainnya, daya tawar AS terhadap China juga melemah.
Arah Masa Depan: Menuju Pemisahan Strategis?
Apakah dunia sedang menuju “decoupling” yakni pemisahan strategis antara dua ekonomi raksasa? Sebagian penasihat Trump mendorong ke arah itu, namun realitas ekonomi menunjukkan sebaliknya. Integrasi ekonomi yang terjalin selama puluhan tahun tidak bisa diurai dengan mudah tanpa mengorbankan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi global.
Dampak dari perang dagang ini akan dirasakan oleh pelaku usaha kecil hingga konglomerat multinasional. Rantai pasok global akan mengalami guncangan, sementara konsumen dunia terpaksa menanggung biaya ketidakpastian geopolitik dalam bentuk harga yang lebih tinggi dan pilihan produk yang berkurang.
Dengan perundingan baru yang sedang berlangsung di Swiss, dunia menanti: apakah diplomasi bisa mengalahkan proteksionisme, atau apakah kita akan melihat babak baru dari konflik ekonomi yang mendefinisikan abad ke-21?