Mengapa Perlu Memiliki (Sebagian) Emas

Ketakutan terhadap inflasi, dominasi fiskal, depresiasi dolar, perang, dan ketidakstabilan politik adalah alasan harga emas sudah naik begitu tinggi. Jika semua risiko itu sudah tercermin dalam harganya, mengapa membeli sekarang?

271
emas

(Vibiznews-Kolom) Ada beberapa alasan bagus untuk tidak berinvestasi dalam emas. Pertama, emas tidak menghasilkan dividen atau bunga. Kedua, kita tidak bisa menempatinya seperti halnya properti. Ketiga, harganya sudah berlipat ganda dalam beberapa tahun terakhir, jadi lupakan harapan membeli di titik terendah.

Meski begitu, tulisan ini akan menjelaskan mengapa seorang investor yang bijak dan terdiversifikasi sebaiknya mempertimbangkan untuk memiliki emas hari ini. Ini bukan soal potensi imbal hasil. Ini soal asuransi. Emas cenderung naik ketika hal-hal buruk terjadi, mulai dari inflasi dan utang pemerintah yang tak terkendali hingga perang dan ketidakstabilan politik. Hal-hal semacam itu tampaknya kini lebih mungkin terjadi dibandingkan dalam waktu yang lama.

Dalam sebuah laporan baru, Ashwin Thapar dari D.E. Shaw Investment Management berpendapat bahwa seiring bertambahnya kekayaan global, kepemilikan emas juga seharusnya meningkat. Ia memperkirakan sejak 1975, emas telah berkisar antara 1,8% hingga 7,3% dari kekayaan likuid pasar negara maju, dan belakangan ini posisinya sudah menembus kisaran tersebut.

Menurut JPMorgan Chase, emas yang baru ditambang hanya menambah pasokan global kurang dari 2% per tahun. Sisanya berasal dari kenaikan harga. Dalam jangka panjang, hal itu kemungkinan cukup untuk menyamai kinerja Treasury bills, tapi tidak dengan campuran saham dan obligasi biasa. Tujuan emas adalah meredam dampak ketika sesuatu menghantam saham, obligasi, atau dolar. Tantangannya adalah memahami apa sebenarnya sesuatu itu.

Inflasi adalah sahabat terbaik emas

Emas tampil terbaik ketika mata uang fiat—jenis uang yang diterbitkan bank sentral—kehilangan daya belinya. Harga emas melonjak di tahun 1970-an ketika saham dan obligasi terpuruk di tengah inflasi dua digit.

Inflasi AS, sekitar 3%, jelas bukan bencana. Dan Federal Reserve memperkirakan inflasi akan lebih rendah dalam setahun, sebagian karena pasar tenaga kerja yang melemah, itulah sebabnya bank sentral kemungkinan akan memangkas suku bunga pada hari Rabu. Namun, kekuatan struktural yang sebelumnya menekan inflasi di bawah target 2% The Fed sebelum 2020 kini berbalik arah. Globalisasi yang dulu membawa banjir barang murah ke Amerika kini digantikan tarif, proteksionisme, dan reshoring. Sebelumnya, imigrasi legal maupun ilegal membantu mengimbangi tenaga kerja yang menua. Kini arus itu terhenti, sementara tingkat kelahiran merosot ke titik terendah baru.

Tekanan struktural ini tidak serta-merta mendorong inflasi lebih tinggi. The Fed bisa memastikan inflasi tetap rendah dengan menaikkan suku bunga riil (suku bunga nominal dikurangi inflasi), yang melemahkan permintaan dan daya tawar harga. Seperti yang ditunjukkan D.E. Shaw, suku bunga riil yang lebih tinggi buruk bagi emas.

Namun, membuat keputusan sulit semacam itu menuntut The Fed tetap independen. Dan tak lama lagi, mungkin tidak demikian. Pada hari Selasa, Presiden Trump mengatakan kepada wartawan bahwa The Fed seharusnya independen, “tapi saya pikir mereka seharusnya mendengarkan orang pintar seperti saya.”

Ia mengambil langkah tanpa preseden untuk memastikan The Fed mendengarkan. Ia baru saja menempatkan ketua Dewan Penasihat Ekonomi-nya, Stephen Miran, sebagai gubernur The Fed; Miran akan tetap memegang jabatan di Gedung Putih saat duduk di The Fed.

Investor tampaknya tidak berpikir hal ini akan menyebabkan inflasi jangka panjang lebih tinggi, dan mungkin mereka benar. Tetapi berakhirnya independensi bank sentral adalah risiko sekali dalam satu generasi yang sulit dihitung oleh investor—dan di situlah emas berperan.

Di Indonesia, pengalaman pahit inflasi sudah sering dirasakan, terutama pada masa krisis ekonomi 1998 ketika rupiah terdepresiasi tajam. Dalam periode semacam itu, emas terbukti menjadi aset pelindung yang bisa mempertahankan daya beli masyarakat. Saat ini, inflasi Indonesia relatif terkendali, tetapi tekanan bisa datang dari harga pangan, energi, maupun pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Jika rupiah melemah, harga emas dalam rupiah hampir pasti ikut terdongkrak.

Saham dan obligasi

Ketika suku bunga naik, harga obligasi turun, dan emas biasanya naik. Jadi emas bisa menjadi lindung nilai bagi obligasi. Namun, nilai lindung ini sangat bergantung pada alasan mengapa suku bunga naik. Dalam era inflasi rendah, suku bunga naik dan harga obligasi jatuh karena prospek ekonomi yang membaik, dan saham pun reli. Jadi, imbal hasil saham dan obligasi saling berkorelasi negatif dan bisa saling melindungi.

Namun pada masa inflasi meningkat, harga obligasi dan saham bergerak searah, naik dan turun bersama. Imbal hasil keduanya berkorelasi positif dan tak lagi saling melindungi. Hal ini membuat emas jauh lebih menarik karena bisa melindungi keduanya. Ada tanda-tanda hal itu mulai terjadi sekarang.

Kita bisa melindungi diri dari inflasi dengan Treasury Inflation-Protected Securities, atau TIPS. Namun bulan lalu, Trump memecat komisaris Biro Statistik Tenaga Kerja setelah lembaga itu melaporkan data pekerjaan yang tidak menguntungkan, lalu mencalonkan seorang pendukung partisan untuk menggantikannya. Investor kini harus mempertimbangkan risiko bahwa BLS akan mengubah indeks harga konsumen untuk menurunkan laporan inflasi. Itu akan melemahkan perlindungan yang ditawarkan TIPS, yang diindeks ke CPI. Emas tidak bergantung pada itu.

Utang dan dolar

Utang federal yang dimiliki publik diperkirakan naik dari hampir 100% produk domestik bruto sekarang menjadi 120% dalam satu dekade, melampaui rekor tertinggi selama Perang Dunia II, menurut Komite untuk Anggaran Federal yang Bertanggung Jawab. Tidak ada partai politik yang memiliki rencana kredibel untuk menghentikan kenaikan itu.

Utang tinggi menimbulkan dua risiko, yang keduanya membuat emas menarik. Risiko yang lebih kecil adalah pemerintah gagal bayar. Yang lainnya adalah “dominasi fiskal,” di mana bank sentral lebih memprioritaskan menjaga beban utang pemerintah tetap terkendali ketimbang inflasi. Faktanya, di Amerika, Trump secara teratur menyebut biaya utang sebagai alasan mengapa The Fed seharusnya memangkas suku bunga.

Emas juga bersaing dengan dolar sebagai aset cadangan bagi bank sentral, dana kekayaan negara. Namun, dolar telah kehilangan sebagian daya tarik cadangannya sejak awal 2022, ketika pemerintah Barat membekukan cadangan devisa Rusia karena invasi besar-besaran ke Ukraina. Goldman Sachs memperkirakan pembelian bank sentral menyumbang sebagian besar dari kenaikan harga emas dua kali lipat sejak saat itu. Perang dagang Trump tahun ini semakin memperburuk sentimen investor terhadap dolar, yang tentunya menguntungkan emas.

Jika inflasi tinggi, dominasi fiskal, atau hilangnya status cadangan mengancam dolar, kita bisa membeli mata uang asing. Tetapi negara lain juga memiliki utang tinggi dan ketidakstabilan politik. Kita tidak bisa yakin euro akan tetap ada dalam satu dekade, mengingat meningkatnya partai euroskeptis di Jerman dan Prancis. Emas menjadi lindung nilai terhadap hilangnya kepercayaan kolektif pada mata uang fiat.

Bagi investor Indonesia, emas juga menarik karena menjadi alternatif terhadap dolar AS. Selama bertahun-tahun, banyak individu dan institusi di sini menaruh kepercayaan pada dolar sebagai penyimpan nilai. Namun ketegangan global, perang dagang, hingga sanksi internasional terhadap beberapa negara besar membuat sebagian investor menilai emas lebih netral dan lebih aman dibandingkan hanya bergantung pada dolar.

Emas sebagai asuransi

Ketakutan terhadap inflasi, dominasi fiskal, depresiasi dolar, perang, dan ketidakstabilan politik adalah alasan harga emas sudah naik begitu tinggi. Jika semua risiko itu sudah tercermin dalam harganya, mengapa membeli sekarang? Argumen ini terdengar seperti apa yang biasanya Anda dengar di puncak pasar.

Namun, kasus emas tidak bergantung pada ke mana harganya akan bergerak, melainkan pada perannya dalam keseluruhan portofolio kita. Menurut D.E. Shaw, seseorang yang mengoptimalkan imbal hasil dan risiko mungkin akan mengalokasikan antara 0,5% hingga 9% portofolionya ke emas. Porsi ini lebih tinggi ketika saham dan obligasi berkorelasi positif, atau ketika bencana keuangan seperti kejatuhan pasar saham atau lonjakan inflasi menjadi kekhawatiran. Alokasi ini tentu tidak tepat untuk semua orang; tergantung pada toleransi risiko pribadi.

Dan bagaimana jika harga emas turun? Anggap saja itu seperti polis asuransi yang tak terpakai. Dan bersyukurlah rumah kita tidak terbakar.