Metode Terkenal untuk Menilai Saham Ini Menunjukkan Beberapa Tahun Sulit di Depan

Dalam dunia seperti itu, memahami valuasi bukan sekadar menghitung angka, melainkan mengenali siklus, risiko, dan waktu yang tepat untuk bersabar. Karena, sebagaimana yang diajarkan oleh Benjamin Graham, pasar saham pada akhirnya adalah alat transfer kekayaan dari mereka yang tidak sabar kepada mereka yang sabar.

388
saham
Vibizmedia Photo

(Vibiznews – Kolom) Ungkapan “wilayah yang belum dipetakan” sering terdengar di telinga para investor saat ini. Namun sesungguhnya, peta terbaru itu sudah ada—dan grafik-grafiknya menunjukkan masa-masa sulit yang mungkin akan datang.

Pertimbangkan salah satu ukuran paling jelas tentang seberapa besar kita membayar untuk sebagian dari indeks saham terbesar dan paling menguntungkan di dunia. Hingga pekan lalu, rasio harga terhadap penjualan (price-to-sales multiple) indeks tersebut berada di level tertinggi sepanjang sejarah—bahkan melampaui puncak gelembung saham teknologi awal tahun 2000-an.

Sebagian dari itu memang mencerminkan transformasi ekonomi Amerika Serikat. Microsoft, misalnya, memiliki margin operasi sekitar lima kali lebih tinggi dari Exxon Mobil dan sepuluh kali lebih tinggi dari pengecer Walmart. Perusahaan-perusahaan dengan model asset-light (yang tidak terlalu bergantung pada aset fisik) kini membentuk bagian yang jauh lebih besar dari indeks dibandingkan masa lalu, dan mereka menghasilkan laba yang jauh lebih tinggi dari setiap dolar penjualannya.

Namun alasan “perusahaan sekarang memang lebih baik” mulai kehilangan kekuatannya ketika ukuran valuasi paling klasik masuk dalam pembahasan. Alih-alih menggunakan rasio harga terhadap laba (price/earnings ratio) berbasis proyeksi analis yang bersifat forward-looking dan sering digunakan oleh para manajer dana, ukuran ini adalah versi yang disesuaikan secara siklikal—pertama kali diperkenalkan oleh mentor Warren Buffett, Benjamin Graham.

Ukuran ini mengirim sinyal yang jelas, bersiaplah untuk imbal hasil saham yang lesu dalam beberapa tahun ke depan.

Versi yang dipopulerkan oleh peraih Nobel Ekonomi, Robert Shiller, melihat rata-rata laba selama sepuluh tahun dan menyesuaikannya dengan inflasi untuk mencakup satu siklus bisnis penuh. Baru-baru ini, rasio itu menembus angka 40 untuk kedua kalinya dalam sejarah.

Pertama kali terjadi pada tahun 1999—dan tidak bertahan lama. Puncak siklikal rasio Shiller P/E telah berulang kali bertepatan dengan hasil investasi riil (disesuaikan inflasi) yang negatif untuk saham selama sepuluh tahun berikutnya, termasuk pada tahun 1929, 1966, dan 2000.

Argumen paling masuk akal untuk menolak kekhawatiran terhadap tingginya Shiller P/E saat ini adalah bahwa angka 40 sebenarnya tidak setinggi yang terlihat. Rata-rata jangka panjangnya sekitar 17.

Pengukuran Shiller dimulai sejak 1881, ketika Amerika Serikat masih lebih menyerupai negara berkembang dan pasar sahamnya sering dimanipulasi. Jika titik awalnya digeser ke tahun 1990—masa ketika komputer dan CNBC sudah hadir—maka hasilnya lebih adil. Sejak saat itu, rata-ratanya adalah sekitar 27 kali.

Namun argumen lain untuk mengabaikan rasio Shiller—yakni bahwa perusahaan akan terus menjadi semakin menguntungkan—tidak masuk akal. Pajak korporasi kini berada di level rendah, sementara porsi tenaga kerja dalam output ekonomi juga kecil. Dengan defisit anggaran pemerintah federal yang besar dan populasi yang menua, tren ini sulit dipertahankan dan mungkin justru berbalik arah.

Lalu bagaimana dengan teknologi ajaib masa kini? Jika kecerdasan buatan (artificial intelligence) benar-benar memicu keajaiban produktivitas, itu bisa memperbesar ukuran keseluruhan ekonomi.

Namun dampaknya harus benar-benar bersifat transformasional dan bertahan lama hanya agar valuasi saham bisa kembali ke rata-rata historis.

Akan ada sesuatu yang harus berubah. Dan dengan rasio Shiller P/E kini lebih tinggi dibandingkan 99% dari seluruh periode dalam sejarah, penyesuaian itu kemungkinan besar akan terjadi pada huruf “P” (harga), bukan “E” (laba). Meski begitu, ada sedikit penghiburan: beberapa saham lain tampak lebih menjanjikan.

Pengembang indeks Research Affiliates memiliki model yang memproyeksikan imbal hasil masa depan berdasarkan rasio P/E yang disesuaikan secara siklikal. Model tersebut memberikan Amerika Serikat keuntungan dalam hal ukuran seperti pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan perhitungannya, saham-saham pertumbuhan besar AS—seperti kelompok “Magnificent Seven”—diperkirakan akan mencatat imbal hasil riil negatif sebesar 1,1% per tahun dalam satu dekade ke depan, sementara saham-saham bernilai besar (large value stocks) masih dapat menghasilkan keuntungan kecil sebesar 1,6%.

Gambaran menjadi lebih cerah bagi saham-saham kecil AS, yang diperkirakan mencetak imbal hasil riil sekitar 4,8%. Sementara itu, saham-saham Eropa dan pasar berkembang diprediksi memberikan hasil sedikit lebih tinggi—masing-masing sekitar 5% dan 5,4%.

Rasio Shiller P/E bukanlah alat penentu waktu (timing tool) yang pasti dan bisa tetap tinggi untuk waktu yang lama. Namun jika dilihat dari perspektif jangka panjang, ukuran ini terbukti cukup andal dalam membantu investor menghindari karang berbahaya di pasar saham.

Apakah Valuasi Saham Indonesia Sudah Terlalu Tinggi?

Ketika para analis di Wall Street mulai khawatir bahwa pasar saham Amerika Serikat telah memasuki wilayah valuasi berbahaya, pertanyaan yang sama mulai muncul di Indonesia, apakah pasar domestik juga menghadapi risiko yang serupa? Konsep seperti Shiller P/E ratio—ukuran klasik yang digunakan untuk menilai seberapa “mahal” saham dibandingkan potensi labanya dalam satu siklus ekonomi—memang lahir dari data pasar maju. Namun, di tengah meningkatnya minat investor ritel dan arus modal asing ke Bursa Efek Indonesia, gagasan ini layak diadaptasi dengan konteks yang lebih lokal.

Tantangan pertama muncul dari sifat dasar pasar Indonesia yang masih relatif muda dan belum memiliki kedalaman data historis seperti Amerika Serikat. Model seperti Shiller P/E memerlukan catatan laba perusahaan selama sepuluh tahun penuh, disesuaikan dengan inflasi. Di Indonesia, data semacam itu jarang lengkap atau konsisten, apalagi untuk emiten baru yang hanya memiliki rekam jejak lima tahun terakhir. Komposisi indeks utama seperti IHSG juga sangat didominasi oleh sektor perbankan, energi, dan komoditas. Ketimpangan ini membuat angka agregat sulit menggambarkan kondisi pasar secara menyeluruh. Karena itu, pendekatan valuasi siklikal di Indonesia sebaiknya diterapkan pada tingkat sektoral, bukan indeks gabungan.

Selain keterbatasan data, siklus ekonomi Indonesia juga dipengaruhi lebih besar oleh faktor eksternal ketimbang domestik. Kenaikan harga batubara, kelapa sawit, atau nikel dapat mendongkrak laba korporasi nasional dan mendorong IHSG ke rekor tertinggi, namun penurunan harga global atau kenaikan suku bunga Amerika bisa langsung menghapus euforia tersebut. Pola seperti ini membuat rasio valuasi di Indonesia sering kali naik turun bukan karena perubahan fundamental, melainkan karena sentimen global. Dengan kata lain, fluktuasi valuasi kita lebih merefleksikan arus modal dan siklus komoditas daripada siklus bisnis murni.

Jika di Amerika Serikat perusahaan-perusahaan raksasa seperti Microsoft dan Apple menjadi contoh model bisnis asset-light dengan margin laba sangat tinggi, di Indonesia sebagian besar emiten besar masih bergantung pada aset fisik. Sektor energi, tambang, dan manufaktur masih menjadi tulang punggung bursa. Model bisnis seperti ini cenderung menghasilkan margin yang tipis dan rentan terhadap biaya produksi maupun harga global. Meski demikian, perubahan sedang berlangsung. Perusahaan teknologi, layanan keuangan digital, dan konsumsi premium mulai menjadi pilar baru dengan potensi pertumbuhan tinggi. Pergeseran ini mengindikasikan bahwa pasar Indonesia sedang berada di tahap transisi menuju struktur yang lebih efisien—meski belum sekuat Amerika dalam hal inovasi dan produktivitas.

Dari sisi makroekonomi, risiko jangka panjang Indonesia juga berbeda dengan yang dihadapi negara maju. Amerika Serikat menghadapi populasi menua dan defisit fiskal kronis, sedangkan Indonesia justru memiliki populasi muda dan pasar domestik yang masih berkembang. Namun bukan berarti kita bebas dari risiko. Defisit anggaran yang membesar karena kebutuhan subsidi energi dan pembiayaan infrastruktur tetap menjadi beban potensial bagi kestabilan makro. Laba korporasi di Indonesia pada akhirnya sangat bergantung pada daya beli masyarakat dan kemampuan pemerintah menjaga fiskal tetap terkendali.

Jika kita mencoba meminjam pendekatan Research Affiliates—yang memisahkan saham menjadi kategori growth dan value—hasilnya di Indonesia akan menunjukkan pola yang mirip. Saham-saham growth seperti emiten teknologi atau bank digital cenderung diperdagangkan dengan valuasi tinggi, bahkan terkadang tanpa dukungan laba yang solid. Sebaliknya, saham value seperti perbankan konvensional, telekomunikasi, dan energi sering kali dihargai murah namun memberikan dividen stabil. Dalam konteks pasar domestik, sejarah membuktikan bahwa periode valuasi rendah justru sering menjadi titik awal kebangkitan. Ketika investor asing kembali masuk dan likuiditas meningkat, saham-saham yang sempat diabaikan sering kali memberi imbal hasil terbaik.

Dengan keterbatasan data historis, investor Indonesia bisa mengadaptasi prinsip Shiller P/E dengan beberapa penyesuaian sederhana. Rata-rata laba lima tahun terakhir bisa digunakan sebagai pengganti periode sepuluh tahun penuh. Inflasi domestik perlu diperhitungkan secara hati-hati karena volatilitasnya lebih tinggi. Selain itu, perubahan regulasi dan pajak juga harus menjadi bagian dari analisis karena dapat memengaruhi laba bersih secara signifikan. Pendekatan sektoral juga penting, sebab dampak siklus komoditas bisa sangat berbeda dengan sektor konsumer atau perbankan.

Konsep seperti cyclically adjusted P/E ratio bukanlah alat ajaib yang bisa memprediksi waktu terbaik untuk membeli atau menjual saham. Namun sebagai panduan arah jangka panjang, ide ini memiliki nilai penting. Ia mengingatkan bahwa valuasi yang terlalu tinggi jarang diikuti oleh hasil investasi yang menggembirakan. Dalam konteks Indonesia, pesan itu sama relevannya: pasar saham bisa tampak murah atau mahal di permukaan, tetapi yang menentukan hasil akhir adalah kemampuan laba korporasi untuk tumbuh secara berkelanjutan.

Dengan populasi muda, ekonomi yang masih berkembang, dan sektor-sektor baru yang terus tumbuh, Indonesia belum berada di titik “berbahaya” seperti yang digambarkan dalam konteks Amerika. Namun kehati-hatian tetap diperlukan. Pasar keuangan global kini saling terhubung lebih erat daripada sebelumnya, dan perubahan sentimen di New York bisa bergema hingga ke Jakarta dalam hitungan jam. Dalam dunia seperti itu, memahami valuasi bukan sekadar menghitung angka, melainkan mengenali siklus, risiko, dan waktu yang tepat untuk bersabar. Karena, sebagaimana yang diajarkan oleh Benjamin Graham, pasar saham pada akhirnya adalah alat transfer kekayaan dari mereka yang tidak sabar kepada mereka yang sabar.