Optimisme Wall Street Diuji oleh Realitas Fiskal

International Monetary Fund (IMF) telah memperingatkan bahwa ketidakpastian fiskal AS bisa memperburuk volatilitas pasar keuangan global dan mempersempit ruang kebijakan negara lain.

568
wall street Realitas Fiskal

(Vibiznews-Kolom) Pasar keuangan Amerika Serikat yang selama ini tampak tangguh mulai menunjukkan retakan. Kesenjangan antara narasi optimisme pasar saham dan kenyataan fiskal federal yang semakin rapuh kian mencolok. Para investor di Wall Street, yang beberapa bulan terakhir dihibur oleh laporan keuangan perusahaan yang solid dan ekspektasi bahwa Federal Reserve akan memangkas suku bunga, kini harus menghadapi kenyataan bahwa neraca fiskal AS bisa menjadi titik lemah yang menggoyahkan seluruh pondasi keyakinan tersebut.

Seperti dilaporkan oleh The Wall Street Journal, imbal hasil obligasi pemerintah AS jangka panjang, terutama Treasury 10 dan 30 tahun, telah melonjak dalam beberapa minggu terakhir. Kenaikan ini bukan hanya cerminan ekspektasi inflasi atau pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, melainkan sinyal kekhawatiran mendalam bahwa investor menuntut kompensasi lebih besar untuk memegang utang jangka panjang negara yang tampaknya semakin tidak disiplin secara fiskal. Lonjakan imbal hasil tersebut terjadi setelah AS kehilangan satu-satunya peringkat kredit triple-A yang tersisa dari lembaga pemeringkat utama.

Pemangkasan peringkat kredit AS oleh Fitch pada tahun lalu sempat menimbulkan kehebohan, namun kini S&P dan Moody’s telah mengikuti jejak tersebut. Terakhir, seperti dikutip oleh Bloomberg, Moody’s menurunkan prospek utang jangka panjang pemerintah AS dari stabil menjadi negatif, menyebut “ketidakpastian politik yang tinggi” serta “kurangnya jalur fiskal jangka panjang yang kredibel” sebagai penyebab utama. Keputusan itu datang di tengah melonjaknya utang nasional yang kini telah melampaui $34 triliun dan terus meningkat.

Kondisi ini menciptakan tekanan baru bagi pasar saham. Di satu sisi, indeks-indeks utama seperti S&P 500 dan Nasdaq masih menunjukkan performa solid, sebagian besar karena daya tarik teknologi besar seperti Microsoft, Apple, dan Nvidia. Namun, di sisi lain, para analis mulai mempertanyakan seberapa lama euforia ini dapat bertahan jika imbal hasil obligasi terus naik dan pemerintah tidak menunjukkan itikad memperbaiki defisit fiskalnya.

Financial Times mencatat bahwa perbandingan antara imbal hasil Treasury 10 tahun dan dividen rata-rata saham S&P 500 kini semakin tidak menguntungkan bagi saham. Jika investor bisa memperoleh pengembalian 4,6% atau lebih dari obligasi pemerintah yang relatif aman, minat terhadap saham yang lebih berisiko pun mulai luntur—terutama jika risiko fiskal dan geopolitik semakin nyata.

Para eksekutif perusahaan juga mulai berbicara lebih terbuka tentang risiko ini. Dalam panggilan pendapatan terbaru, CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon memperingatkan bahwa pasar belum sepenuhnya menghargai konsekuensi jangka panjang dari utang federal yang tidak terkendali. Dalam kutipannya yang disorot oleh CNBC, Dimon menegaskan bahwa “cepat atau lambat, kita akan membayar harga atas semua pemborosan ini, entah lewat inflasi, suku bunga tinggi, atau krisis kepercayaan.”

Masalah ini tidak berdiri sendiri. Ketegangan fiskal terjadi dalam konteks politik yang semakin kacau. Seperti dijelaskan dalam laporan Politico, pertarungan anggaran antara Partai Demokrat dan Partai Republik di Kongres belum menunjukkan tanda-tanda solusi jangka panjang. Agenda belanja besar seperti subsidi energi bersih, pengeluaran pertahanan, dan jaring pengaman sosial terus bertambah, sementara reformasi pajak struktural tak kunjung terjadi. Hasilnya adalah anggaran tahunan dengan defisit lebih dari $2 triliun, bahkan di tengah pertumbuhan ekonomi nominal yang cukup kuat.

Hal ini menciptakan ketegangan internal di pasar keuangan. Di satu sisi, kekuatan ekonomi AS masih terlihat dalam angka pengangguran yang rendah dan belanja konsumen yang stabil. Namun di sisi lain, lonjakan utang dan kenaikan tajam bunga pinjaman pemerintah menyedot sebagian besar likuiditas dari pasar dan berisiko menekan sektor swasta. Reuters mengutip analisis dari Goldman Sachs yang menyatakan bahwa jika tren ini berlanjut, biaya bunga atas utang federal bisa melampaui belanja pertahanan pada 2026 dan pendidikan pada 2028.

Pasar obligasi, yang sering kali dijuluki sebagai “lebih pintar” dibanding pasar saham dalam membaca risiko jangka panjang, kini mengirimkan sinyal waspada. Imbal hasil Treasury jangka panjang mencerminkan ketidakpastian fiskal dan ekspektasi bahwa inflasi bisa kembali menguat jika pemerintah terus berbelanja tanpa penyeimbangan yang memadai. Dalam laporan The New York Times, para ekonom menyebut fenomena ini sebagai “premi fiskal”—kenaikan imbal hasil karena risiko ketidakstabilan fiskal, bukan karena fundamental ekonomi yang membaik.

Situasi ini juga memengaruhi strategi Federal Reserve. Meskipun inflasi utama telah menurun dari puncaknya di tahun 2022, The Fed belum bisa dengan yakin memangkas suku bunga. Ketua The Fed Jerome Powell menyebut bahwa “kondisi fiskal yang tidak terkendali membuat tugas kami semakin sulit,” dalam sebuah pernyataan yang dikutip oleh MarketWatch. Ini mengisyaratkan bahwa The Fed mungkin harus mempertahankan suku bunga lebih tinggi lebih lama, bukan hanya demi menjaga inflasi tetap rendah, tetapi juga agar dolar tetap kuat di tengah lonjakan pasokan surat utang.

Di level global, kondisi fiskal AS mulai memicu pembicaraan tentang shifting kepercayaan terhadap utang dolar. Sejumlah negara mitra dagang besar, termasuk China dan Jepang, telah memangkas kepemilikan mereka atas Treasury AS. Menurut laporan Nikkei Asia, total kepemilikan obligasi AS oleh bank sentral China kini berada pada titik terendah dalam 14 tahun terakhir, sebuah tren yang mengindikasikan diversifikasi portofolio menuju emas, aset berbasis yuan, atau mata uang negara berkembang lain.

Namun tidak semua pihak memandang situasi ini dengan pesimisme. Beberapa analis pasar menganggap kekhawatiran fiskal bersifat jangka pendek dan terlalu dibesar-besarkan. Dalam opini yang diterbitkan oleh Barron’s, disebutkan bahwa selama dolar tetap menjadi mata uang cadangan utama dunia, permintaan terhadap obligasi AS akan tetap tinggi. Mereka menekankan bahwa AS masih memiliki ruang pajak dan kapasitas ekonomi yang besar untuk memperbaiki kondisi fiskal jika ada kemauan politik.

Masalahnya adalah justru di “kemauan politik” itu. Dengan pemilu presiden 2024 semakin dekat, baik kubu Demokrat maupun Republik enggan mengambil langkah fiskal yang tidak populer seperti menaikkan pajak atau memangkas belanja. Sejumlah proposal untuk mengatur ulang anggaran, seperti penghapusan pemotongan pajak era Trump atau revisi tunjangan sosial, menghadapi kebuntuan di Kongres. Menurut Axios, ini berarti bahwa konsolidasi fiskal kemungkinan besar akan tertunda hingga 2026, jika tidak lebih lama lagi.

Sementara itu, pasar akan terus hidup dalam ketidakpastian. Investor institusional mulai merestrukturisasi portofolio mereka, mengurangi durasi obligasi dan meningkatkan eksposur terhadap aset riil seperti infrastruktur dan properti sewaan. Di sisi ritel, dana pasar uang terus mencatat arus masuk besar karena investor mencari perlindungan dari volatilitas obligasi jangka panjang.

Implikasi global dari krisis fiskal AS juga tidak bisa diabaikan. Karena Treasury AS digunakan sebagai acuan likuiditas dan penilaian risiko global, fluktuasi besar dalam imbal hasil dan persepsi risiko fiskal bisa berdampak luas—dari pasar pinjaman di Eropa hingga penetapan suku bunga di negara berkembang. International Monetary Fund (IMF) telah memperingatkan bahwa ketidakpastian fiskal AS bisa memperburuk volatilitas pasar keuangan global dan mempersempit ruang kebijakan negara lain.

Untuk saat ini, Wall Street mungkin masih dalam suasana positif, ditopang oleh teknologi besar dan optimisme makro. Namun bayangan fiskal kian membesar, dan cepat atau lambat, akan menguji apakah pasar benar-benar bisa mengabaikan kenyataan bahwa fondasi fiskal negara adidaya ini mulai rapuh. Dengan imbal hasil Treasury yang terus naik, pemangkasan peringkat kredit, dan beban bunga utang yang membengkak, para pelaku pasar akan diuji, apakah mereka masih percaya bahwa Amerika Serikat bisa keluar dari jebakan fiskal ini tanpa konsekuensi besar?

Jika tidak, euforia saham dan pertumbuhan bisa segera berubah menjadi kehati-hatian dan perlambatan, memaksa investor untuk kembali mempertimbangkan risiko yang selama ini ditutup dengan optimisme berlebih.