(Vibiznews-Economy) Pada minggu ketiga April 2020, selama dua hari berturut-turut sekelompok saham di bursa Cina bergerak naik sangat tajam sampai membuat perdagangan dihentikan sejenak.
Kelompok saham ini adalah saham-saham yang berhubungan dengan matauang digital. Lonjakan yang sangat tajam yang terjadi tiba-tiba ditengah-tengah turunnya saham-saham lainnya karena kasus coronavirus. Hal yang membuat kenaikan saham matuang digital ini adalah berita bahwa setelah melakukan antisipasi selama bertahun-tahun, pemerintah Cina merilis jadwal waktu untuk mulai memberlakukan matauang digital yang baru dari pemerintah pada 4 kota.
Pada bulan Mei ini, para pegawai pemerintah yang bekerja di ke 4 kota tersebut akan mulai menggunakan aplikasi smartphone untuk menerima paling tidak sebagian dari gaji mereka di dalam bentuk pembayaran digital.
Mulai tahun 2014, Cina melihat matauang digital sebagai cara untuk menggeser matauang dolar AS. Sejak itu Cina telah banyak mengembangkan tehnologi matauang digital sebagai suatu kunci tujuan strategi nasional.
Rencana ekonomi nasional Cina pada tahun 2016 menyebutkan kemajuan “blockchain” sebagai tehnologi dibalik matauang yang popular seperti Bitcoin.
Presiden Xi Jinping mengatakan pada Politbiro-nya di bulan Oktober 2019 bahwa Cina harus mempercepat perkembangan “blockchain”.
Mengapa Uang Digital Cina Ini Akan Gagal?
Trauma “Crypto Currencies Crash”
Banyak pemerintah dan pebisnis telah menyingkirkan inisiatif untuk membuat bisnis “crypto” dan “blockchain” setelah keruntuhan pasar pada tahun 2018, karena ketidak yakinan akan tehnologi yang baru lahir ini.
Tahun 2018 terjadi “cryptocurrency crash” yang dikenal juga dengan nama “Bitcoin crash” atau “Great crypto crash”, dimana terjadi aksi jual besar-besaran terhadap kebanyakan dari “cryptocurrencies” sejak bulan Januari 2018. Setelah terjadi “booming” yang belum pernah dialami sebelumnya pada tahun 2017, harga Bitcoin jatuh sebanyak 65 persen selama 6 Januari sampai 6 Februari 2018. Kemudian, dari sejak bulan Desember 2017 sampai Januari 2018, hampir semua “crypto currencies” naik sampai ke puncak, dan kemudian mereka mengikuti jejak dari Bitcoin. Pada bulan September 2018, semua “cryptocurrencies” jatuh sebanyak 80% dari angka puncak mereka di bulan Januari 2018, membuat keruntuhan “crypto currency” tahun 2018 menjadi lebih buruk daripada keruntuhan dari “bubble dot-com” sebanyak 78% (dengan jauh lebih sedikit uang yang diinvestasikan). Dan pada tanggal 26 November, Bitcoin jatuh lagi lebih dari 80% dari posisi puncaknya, mengalami kerugian hampir sepertiga dari nilainya di minggu sebelumnya.
Trauma dari cryptocurrency crash” atau “Bitcoin crash” atau “Great crypto crash”, membuat tidak akan mudah negara-negara lain mau mengikuti jalur yang dibuat oleh Cina dengan matauang digitalnya.
“Cybersecurity”
“Cybersecurity” tetap menjadi problem yang terus meningkat bagi infrastruktur tehnologi pada saat memasuki tahun 2020. Para “hackers” tidak segan-segan menyerang infrastruktur dan sistem pemerintah di masa lalu. Tidak juga di masa yang akan datang. Negara yang mau mengusahakan matauang digital akan harus berurusan dengan banyak hal yang harus diperhatikan. Network matauang digital yang diselenggarakan oleh pemerintah harus bisa memastikan bahwa usaha “cybersecurity” mereka benar-benar hebat sehingga bisa mencegah terjadinya kompromi dari network mereka. Network yang didesentralisasi dari matauang digital seperti Bitcoin tetap aman hanya karena insentif yang berdasarkan kepercayaan saja.
Dalam hal masalah keamanan nasional, pada bulan Juli tahun lalu Sekretaris Keuangan AS Steven Mnuchin berkata di dalam suatu “briefing” di Gedung Putih bahwa “cryptocurrencies” telah dieksploitasi untuk mendukung aktifitas miliaran dolar yang terlarang.
Kebanyakan Negara Cenderung Menolak
Apabila Cina mau menggantikan supremasi matauang dolar AS, Cina harus memaksa negara lain untuk membuat matauang digitalnya sendiri. Model dari Cina mungkin bisa bekerja di beberapa negara, namun negara lain kemungkinan membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan melihat kekuatan dan kelemahan di negaranya masing-masing.
Jika usaha suatu negara gagal untuk membuat matauang digital, hal ini akan mengakibatkan biaya operasional yang besar yang harus ditanggung oleh bank-bank dan institusi keuangan nasional. Mengikuti jalurnya Cina secara buta bukanlah pendekatan yang terbaik untuk setiap negara. Saat ini, bank-bank sentral dunia masih menentang pergerakan untuk memakai uang melewati uang fisik. Kebanyakan bank sentral saat ini bereaksi terhadap munculnya matauang digital, dengan kombinasi antara kecemasan dengan kecurigaan yang mendalam.
Ketidak Percayaan Pasar
Para pebisnis juga banyak yang menghindari diri untuk masuk ke dalam bisnis “crypto currencies” karena dua hal. Pertama, bisa terjadinya pencurian sebagai akibat dari kebocoran keamanan di dalam perdagangan “crypto currencies”. Kedua, karena karena harganya sangat volatil. Volatilitas dari harga Bitcoin bisa bergerak antara 50% sampai dengan 150%, dibandingkan dengan kebanyakan dari matauang utama dunia yang dipasangkan dengan dolar AS dalam “fiat currencies”, yang berfluktuasi dengan stabil dalam rentang hanya sekitar 10 persen.
Dengan kondisi perdagangan “crypto currencies” yang seperti diatas, maka sulit bagi mata uang digital untuk bisa menggantikan supremasi dolar AS. Untuk bisa menggantikan supremasi dolar AS dibutuhkan kepercayaan pasar. Kepercayaan pasar membutuhkan baik rasa aman dari segala kemungkinan pencurian atau kegagalan sistem, maupun pergerakan harga dengan volatilitas yang hanya sekitar 10 persen. Tidak seperti “crypto currencies” yang harganya bisa bergerak sampai lebih dari 100%. Pergerakan harga yang seperti ini hanya ada di tempat-tempat perjudian. Sepanjang sejarah, tidak ada masyarakat yang percaya pada perjudian.
Safe-Haven Demand
Supremasi dolar AS di dalam ekonomi global tidak perlu dipertanyakan lagi. Hampir 90 persen transaksi internasional pada tahun 2019 memakai dolar AS, dan sekitar 60 persen dari semua cadangan forex dunia berbentuk dolar AS, dibandingkan dengan Yuan Cina yang hanya terdiri dari 2 persen cadangan dan pembayaran global.
Sebagai akibatnya dolar AS menjadi “the land of the last resort” dimana apabila terjadi kegoncangan ekonomi atau geopolitik atau kekacauan lainnya, orang akan bergegas memborong dolar AS sebagai tempat penyimpanan yang paling aman di dunia. Dolar AS adalah assets “safe-haven” yang paling dipercaya para investor dan trader di seluruh dunia, selain Yen Jepang.
Bahkan pada awal meledaknya Covid-19, pada saat Covid-19 mengamuk dengan ganasnya di Korea Selatan, Iran dan merambat ke negara-negara Eropa, di sekitar bulan Maret, orang tidak lagi memburu emas yang biasanya menjadi “assets safe-haven” yang dipercaya. Pada saat itu para trader dan investor emas menjadi bingung karena harga emas turun terus ditengah kondisi yang biasanya orang mencari emas apabila terjadi malapetaka seperti keadaan perang atau gempa bumi atau ada wabah yang merebak. Ternyata pada saat masyarakat panik, mereka masih lebih memilih uang kas, dalam hal ini dolar AS, dibandingkan memegang emas.
Ada pepatah tua di pasar perdagangan yang mengatakan bahwa ketika keadaan menjadi benar-benar mencekam dan ketakutan sangat tinggi, kita tidak lagi menjual apa yang ingin kita jual, kita akan menjual apa saja yang bisa kita jual. Pada saat pasar sedang ada di dalam kekacauan, orang biasanya menjual bahkan emas sekalipun untuk mendapatkan likuiditas – uang kas untuk menutupi margin, yang dalam hal ini adalah dolar AS. Itulah sebagian dari alasan mengapa emas yang “safe-haven” mengalami tekanan harga turun yang besar pada bulan Maret yang lalu.
Kalau emas saja tidak dipercaya dalam kondisi seperti ini, apalagi “crypto currency” yang dalam kondisi normal saja tidak dapat dipercaya. Bagaimana pula “crypto currency” bisa menggantikan supremasi dolar AS sebagai matauang cadangan dunia (world reserve currency).
Ricky Ferlianto/VBN/Managing Partner Vibiz Consulting
Editor: Asido